Selama rezim orde baru berkuasa, orang Tionghoa menempati posisi yang terliyankan. Berbagai perlakuan diskriminatif kerap mereka alami. Namun demikian, Dr. Oen merupakan salah satu sosok yang terus berusaha mempertahankan identitas Tionghoa dan Indonesianya.
Judul Dr. Oen, Pejuang dan Pengayom Rakyat Kecil
Penulis Ravando
Penerbit Kompas
Tebal Buku xxxii + 272 halaman
Waktu Terbit 2017
Matahari pagi mulai merekah, rumah sakit yang didominasi oleh cat warna hijau itu belum memulai jam pelayanannya. Meski begitu, para pasien sudah berdatangan untuk mengantre. Demikian suasana Rumah Sakit Dr. Oen di pagi hari. Di antara calon pasien yang mengantre pagi itu, seorang pria paruh baya bernama Imam datang untuk memeriksakan tungkai kakinya. Ditemani oleh sang istri, ia rela menempuh perjalanan sejauh 400 km demi kesembuhan tungkainya. Kunjungan pertamanya ke Rumah Sakit Dr. Oen ini didasari oleh saran beberapa rekan sejawatnya. “Rumah Sakit Dr. Oen adalah rumah sakit legendaris yang mampu menyembuhkan berbagai macam penyakit,” ujar Imam.
Dr. Oen, sapaan Oen Bong Ing, bukanlah tanpa arti menjadi nama rumah sakit di bilangan Kandang Sapi, Surakarta. Dr. Oen adalah dokter keturunan Tionghoa yang berjuang tanpa pamrih bagi misi kemanusiaan lewat poliklinik yang didirikannya. Melalui buku Dr. Oen, Pejuang dan Pengayom Rakyat Kecil pembaca diajak menyelami lebih jauh perjalanan hidup sang dokter. Selain itu, buku biografi ini juga menceritakan perjuangan Dr. Oen dalam kancah revolusi Indonesia.
Ravando menyusun buku biografi ini dengan literatur yang cukup lengkap, terbukti dengan melibatkan arsip dari berbagai zaman, mulai dari masa Hindia Belanda, Pendudukan Jepang, Revolusi, Orde Lama, Orde Baru, hingga Reformasi. Hal ini dilakukan untuk menulusuri riwayat hidup Dr. Oen secara utuh, mulai dari masa kecil, masa dewasa, hingga akhir hayatnya. Dengan arsip yang lengkap ini, pembawa diajak untuk melihat peran Dr. Oen sebagai seorang Tionghoa yang turut mewujudkan cita-cita luhur Pancasila, yaitu kemanusiaan yang adil dan beradab.
Dr. Oen adalah sosok yang berbeda dari orang Tionghoa yang biasanya diceritakan berkiprah dalam bidang ekonomi dan bisnis. Dalam buku ini, Dr. Oen disebutkan sebagai dokter yang totalitas. Ia memulai jam praktiknya pada pukul 03.00 dini hari. Satu persatu pasien ia tangani dengan sabar. Pasien yang datang berobat padanyapun berasal dari berbagai latar belakang ekonomi. Dr. Oen juga tidak pernah menetapkan besaran tarif pada pasiennya. Bahkan, ia rela memberi pengobatan secara gratis bagi mereka yang tidak mampu membayar. Hingga akhir hayatnya, Dr. Oen teguh menjalankan prinsipnya bahwa tugas seorang dokter adalah menyembuhkan orang sakit, tiada yang lain.
Selain itu, dalam buku ini, Dr. Oen juga diceritakan menjadi antitesis atas penulisan sejarah Indonesia yang kerap menjadikan orang Tionghoa sebagai pelengkap sejarah bangsa. Jarang di antara historiografi Indonesia yang membicarakan peran orang Tionghoa dalam bidang sosial dan revolusi. Bahkan, tidak jarang orang Tionghoa kerap ditampilkan sebagai sosok yang anti revolusi, kolabolator penjajah, bahkan korban atas berbagai peristiwa politik.
Ricklef (1998) dalam bukunya berjudul Sejarah Indonesia Modern mencatat orang-orang Tionghoa dalam masa kolonial masuk dalam golongan “orang timur asing”. Pelabelan ini muncul pada masa VOC. Sebagai golongan “tengah”—yang terletak di antara orang eropa dan pribumi—maka orang Tionghoapun berperan sebagai penghubung antara dua golongan ini. Pada masa itu orang Tionghoa berperan untuk mengumpulkan pajak bagi penguasa kolonial. Oleh sebab itu tidak heran bila terbentuk sentimen orang Tionghoa sebagai kolabolator penjajah.
Pada masa Orde Baru, orang Tionghoa hidup di tengah situasi dan kondisi sosial politik yang tidak menguntungkan. Pasca meletusnya Gerakan 30 September, marak merebak aksi anti Tionghoa di berbagai wilayah Indonesia. Orang-orang Tionghoa dituduh sebagai antek-antek Partai Komunis Indonesia. Tindakan intoleransi kerap dilakukan terhadap orang Tionghoa mulai dari penyitaan aset, penyiksaan, sampai tidak adanya perlindungan serta ganti rugi dari negara terhadap mereka.
Pelabelan orang Tionghoa sebagai “korban” semakin menguat pada akhir rezim otoriter orde baru. Hal ini terjadi lantaran Orang Tionghoa dianggap sebagai penyebab timbulnya krisis moneter. Akibatnya, toko-toko mereka dijarah, dan wanita Tionghoa diperkosa. Dalam tulisannya berjudul, Exit Voise and Loyalty: Indonesian Chinese after the Fall of Soeharto, Ignatius Wibobo (2001) menganalisis bahwa kebencian tersebut timbul lantaran dugaan kedekatan konglomerat Tionghoa dengan Soeharto.
Tidak hanya itu, bila ditilik dari sejarah peranakan Tionghoa di Indonesia, mereka menempati posisi yang dilematis terlebih pada masa pasca kemerdekaan. Mereka dihadapkan pada pilihan antara menjadi warga negara Tiongkok atau Indonesia. Persoalan dwi-negara tersebut sempat dibahas dalam Konferensi Asia-Afrika pada tahun 1955 di Bandung. Konferensi ini berujung pada munculnya perjanjian Sino-Indonesian Dual Nationality Treaty. Melalui perjanjian tersebut disepakati bahwa baik Indonesia maupun Tiongkok keduanya akan menghormati urusan dalam negeri dan berusaha mencari jalan terbaik bagi isu dwi kewarganegaraan. Perjanjian ini pada akhirnya memutuskan bahwa orang Tionghoa yang memiliki kewarganegaraan ganda berhak memilih menjadi warga negara Tiongkok atau Indonesia.
Di antara pilihan dwi-kewarganegaraan dan situasi yang tidak menguntungkan tersebut, Dr. Oen memantapkan dirinya untuk menjadi warga Tionghoa sekaligus Indonesia. Selama masa revolusi fisik tahun 1945-1950, Dr. Oen selalu sigap untuk bertugas ke medan pertempuran guna mengobati tentara Republik yang terluka. Oleh karena minimnya tenaga dan alat medis, pada zaman itu ia mendapatkan julukan sebagai “dokter ahli segalanya”. Ia merangkap sebagai dokter bedah, internis, atau membantu pasien melahirkan. Tidak hanya itu, di balik perang gerilya yang dilakukan oleh Jendral Soedirman, ada peran Dr. Oen. Penisilin berfungsi guna menyambung hidup sang jenderal. Dr. Oen berperan dalam menyuplai penisilin yang pada waktu itu jumlahnya sangat terbatas.
Selain kedekatannya dengan pejuang serta rakyat kecil, Dr. Oen juga memiliki kedekatan dengan Puro Mangkunegaran. Ia dipercaya untuk menangani kesehatan keluarga besar Mangkunegaran, mulai dari putra sentana hingga pegawai Mangkunegaran. Kedekatan yang terjalin ini bukanlah hubungan profesional semata, tetapi juga emosional. Saking dekatnya, perayaan ulang tahun Dr. Oen pada tangal 3 Maret selalu dilaksanakan di Puro Mangkunegaran. Untuk menghormati jasa-jasa Dr. Oen, Puro Mangkunegaran menganugerahi beliau dengan gelar “Kandjeng Raden Mas Toemenggoeng Hario Obi Darmohusodo” (KRMT).
Sebagai kesimpulan, buku ini patut dibaca terlebih bagi mereka yang ingin mengetahui peran penting orang Tionghoa dalam pembangunan bangsa. Selama rezim Orde Baru, orang Tionghoa mendapat posisi yang mendiskreditkannya dari masyarakat. Kebijakan yang dibuat pemerintah orde baru seringkali merenggut hak asasi mereka sebagai warga negara Indonesia dan sebagai manusia. Meski zaman penjajahan telah lama berlalu, gaung pribumi dan non pribumi masih terdengar hingga saat ini.
Penulis: Arif Budi Darmawan
Editor: Citra Maudy