Kuntowijoyo merupakan salah satu akademisi yang mempunyai peran signifikan dalam bidang sejarah. Kunto, panggilan akrab Kuntowijoyo, telah menerbitkan beberapa buku di antaranya Dinamika Sejarah Umat Islam (1985), Radikalisasi Petani (1993), Politik dan Budaya Birokrasi (1995), dan Metodologi Sejarah. Guru Besar Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada ini juga terus menulis beberapa karya seperti kumpulan esai sejarah, sosial-politik, dan juga sastra selama hidupnya.
Salah satu kontribusi penting Kunto adalah membuka upaya akademis terhadap perkembangan studi historiografi Islam Indonesia. Historiografi resmi saat itu menetapkan abad ke-20 sebagai tonggak Indonesia modern yang ditandai dengan kelahiran Budi Utomo. Akan tetapi, berbeda dengan versi resmi tersebut, Kunto mematok akhir abad ke-16 sebagai kategori penting sejarah Indonesia dengan menetapkan periferalisasi Islam. Kunto bermaksud membuat periodisasi sendiri dengan basis yang lebih luas hingga mencakup masa pra-nasional, bahkan pra-kolonial. Dengan usaha-usahanya itu, Kunto disebut-sebut sebagai sejarawan pertama yang membagi periodisasi sejarah umat Islam Indonesia menurut kategorisasi latar historisnya. Kategorisasi latar historis yang ia buat adalah periode mitos, periode ideologi dan periode ide/ilmuâpada saat mana umat bergerak dari posisi sebagai kawulo, wong cilik, dan warga negara.
Tepat hari ini, tiga belas tahun silam, Kunto menutup usianya. Ia meninggal karena komplikasi penyakit sesak napas, diare, ginjal dan peradangan otak yang dideritanya selama beberapa tahun. Dalam rangka mengenang seorang Kuntowijoyo, BALAIRUNG ingin menceritakan sedikit pandangannya tentang transformasi kehidupan masyarakat yang disebabkan oleh industrialisasi. Â Melalui tulisan ini, BALAIRUNG menerbitkan kembali wawancara yang pernah kami lakukan dengannya di tahun 1995 (Majalah BALAIRUNG No.21/TH IX/1995). Mengingat kondisi kesehatannya kala itu, BALAIRUNG melakukan wawancara dengan Kunto secara tertulis. Berikut adalah petikan wawancaranya.
Anda memprediksi bahwa bangsa Indonesia akan memasuki periode baru yaitu periode Pasca-Nasional jika cita-cita ekonomi koperasi sesuai Pancasila dijalankan. Dalam periode ini (babak Nasionalisme Baru) akan terjadi transformasi dari formasi sosial kapitalisme menuju formasi pasca-kapitalisme dan yang diperlukan bukan lagi integrasi nasional, tetapi sistemisasi nasional sesuai dengan asas Pancasila menuju sebuah sistem yang koheren. Secara singkat, apakah yang anda katakan sebagai sistemisasi nasional itu?
Artinya, Pancasila itu harus dilihat sebagai kata kerja aktif, supaya ada koherensi antara sila-sila, dan korespondensi antara realitas dan Pancasila.
Faktor apa saja yang sekarang dianggap menjadi penghambat yang paling mendasar menuju ke sana?
Faktor yang menghambat ialah kelas. Maukah kelas yang beruntung melepas keuntungannya?
Peran intelektual akan menjadi menonjol (tidak hanya berasal dari disiplin akademik formal). Apakah iklim pendidikan di perguruan tinggi saat ini (adanya peraturan-peraturan di seputar NKK/BKK) kondusif untuk melahirkan intelektual yang siap dengan tantangan zaman ini?
Kapan saja pasti ada mahasiswa yang pasif (sekarang karena NKK, kalau tidak ada NKK, ada hedonisme, atau alasan lain). Pemimpin itu tidak bisa dimatikan hanya oleh NKK. Saya lihat bahwa dengan keterbatasan di kampus, banyak mahasiswa yang aktif di masyarakat, misalnya melalui Lembaga Swadaya Masyarakat.
Cita-cita ekonomi nasional yang bersifat non-kompetitif dan kooperatif merupakan modifikasi dari âsemangatâ yang diambil dari zaman pranasional yang mempunyai formasi sosial prakapitalis. Pada periode itu basis ekonomi masyarakat adalah pertanian. Apakah ide ekonomi seperti itu masih relevan dan realistis, sedangkan ekologi sosial-budaya masyarakat sudah jauh meninggalkan bentuk prakapitalis? Kalau kita berasumsi bahwa bangsa ini sekarang berada pada fase kapitalis ataupun transisi menuju pasca-kapitalis, maka dimanakah ada pintu kemungkinan guna merealisasikan cita-cita ekonomi tersebut?
Ekonomi prakapitalis itu pada dasarnya bersifat sosial. Jadi untuk mengkompromikannya dengan ekonomi pasar, ada mixed economy. Kooperasi itu sokoguru dalam Ekonomi Pasar Sosial, jangan disamakan peranan kooperasi dalam ekonomi kapitalis. Dalam ekonomi pasca-kapitalis, misalnya koperasi perusahaan dapat menjadi alat supaya karyawan dapat âmemilikiâ perusahaan. Jadi, justru pada ekonomi pasca-kapitalis, kooperasi itu diperlukan. Kita sudah bosan dengan ekonomi kapitalis dan ekonomi komando. Kapitalisme itu bukan satu-satunya realitas, masih ada kemungkinan lain. Biarkan sejarah terbuka.
Para tokoh Budi Utomo yang dikatakan sebagai organisasi pelopor gerakan bangsa Indonesia melawan kolonial yang bersemangat nasional mempunyai latar belakang pendidikan dan peradaban Eropa. Latar belakang mereka âyang terdidikâ ini berimplikasi pada organisasi tersebut; Budi Utomo memiliki formasi dan strategi perlawanan yang lebih teroganisasi dan assosiasional. Adakah latar belakang Budi Utomo tersebut ikut menentukan pola-pola pergerakan yang bersifat oposisi bagi negara maupun kebijakan-kebijakan sosial budaya yang diambil oleh negara itu sendiri?
Budi Utomo tidak oposan terhadap negara, alias afirmatif. Kalau Budi Utomo afirmatif secara politis, tidak demikian halnya secara kultural. Dengan tidak mengurangi arti pentingnya, kebanyakan anggota Budi Utomo itu priayi atau pegawai negeri, jadi tidak mungkin mengambil sikap menentang negara. Kebudayaan itu adalah milik orang umum, wong cilik, maka Budi Utomo bersikap kritis. Misalnya, soal gugon tubon, pemborosan, dan pakaian. Gugon tubon mengenai gejala-gejala alam, seperti gerhana bulan, firasat seperti kedbuten, dan keajaiban seperti pohon berasap, digantikan oleh ilmu alam atau ilmu kodrat. Pemborosan, seperti berlomba-lomba memberi uang banyak pada tledback pada pesta tayub. Pakaian, seperti tidak pantasnya orang Jawa tanpa mencopot kacamata hitam waktu ketemu orang Jawa yang lebih terhormat.
Golongan menengah Indonesia pada mulanya memiliki kejelasan ideologi yang bersifat altruistik dan egaliter. Peran mereka amat menentukan dalam mengendalikan jalannya sejarah bangsa. Namun setelah masa kemerdekaan, mereka tanggalkan ideologi mereka satu per satu terutama setelah logika kekuasaan melakukan intervensi pada golongan ini. Masih adakah peran yang bisa kita harapkan diambil oleh golongan menengah kita untuk sebuah transformasi dalam kehidupan bermasyarakat?
Sekarang memang golongan menengah itu tidak bisa diharapkan. Tetapi peranan itu tidak hanya dari golongan menengah. Demokratisasi juga mengharapkan peran dari masyarakat bawah, pedagang kecil, petani, dan buruh.
Berdasarkan kategori agama ada sebutan âgolongan menengah muslimâ yang sementara ini dikenal hedonistik. Ada fenomena menarik bahwa beberapa simbol dan ritual agama telah menjadi simbol dan status golongan ini. Apa komentar Anda? Dalam konteks yang lain, adakah mereka memiliki karateristik dan sekaligus potensi tersendiri yang lain dari golongan âmenengah umumâ dalam kehidupan sosial-politik di Indonesia?
Apa betul golongan menengah muslim itu hedonistik? Saya justru melihat sebaliknya. Baik yang jadi pegawai negeri, pegawai swasta, pengusaha, semuanya hemat, rajin, kerja keras, tidak foya-foya. Tentu ada yang hedonistik, itu lumrah. Mungkin kita harus berhenti berbicara mengenai kelas menengah muslim. Selain ada pendekatan antar sub-kultur, juga kita melihat bahwa ada proses priayinisasiâbarangkali ini yang nampak sebagai budaya hedonistik, karena kemudahan dan kemakmuranâdi semua lapisan menengah. Tetapi ini bisa dimengerti, bekerja itu lebih mudah sekarang. Sudah ada mesin yang menggantikan manusia, sehingga pengertian mengenal pekerjaan halus dan kasar juga berubah. Priayi tidak perlu mengotori tangannya dengan lumpur bila ia menjadi petani. Ada agrobisnis, ada petani berdasi. Coba, apa kotornya untuk bekerja dalam sektor ekspor-impor, komputer, manager, dan artis?
Indonesia mengalami kelambatan selama kurang lebih 100 tahun dalam mematuhi era kapitalisme industrial dibanding negara-negara Barat. Namun proses globalisasi dan universalisasi membuat perjalanan sejarah Indonesia semakin cepat, seperti sebuah kenyataan yang âdipaksakanâ. Superstruktur masyarakat terutama, dan perangkat-perangkat masyarakat lainnya âgagapâ menerima perubahan yang terlalu cepat. Kondisi ini bisa membuat proses perjalanan sejarah masyarakat yang tidak sehat. Berdasarkan asumsi tersebut, langkah antisipatif apa yang menduduki prioritas utama yang harus diambil yang berbeda dengan proses di negara Barat seharusnya oleh bangsa Indonesia?
Liberalisasi dan harus disertai demokratisasi. Demokrasi politik, demokrasi sosial, dan demokrasi ekonomi. Prioritasnya ialah pembangunan Sumber Daya Manusia.
Industrialisasi Madura adalah sebuah proyek besar yang sedang dikerjakan pemerintah. Proyek besar secara kuantitas, juga proyek besar karena melihat realitas sosial budaya masyarakat Madura ketika dihadapkan pada industrialisasi. Pola kehidupan masyarakat yang kental berbasis pada nilai-nilai tradisionalisme keagamaan menjadikan Madura protektif terhadap industrialisasi yang membawa konsekuensi berupa rasionalisasi dan sekularisasi. Apakah pemerintah harus menunda proyek tersebut guna menghindari korban kemanusiaan yang terlalu besar? Jalan apakah yang paling efektif khusus bagi Madura untuk mengusahakan perubahan kesadaran masyarakat dalam menghadapi industrialisasi?
Ya, beri waktu Madura untuk berbenah diri, supaya tidak perlu mendatangkan tenaga dari luar, jangan sampai industrialisasi tidak menguntungkan Madura. Kalau tidak bisa ditunda harus ada perencanaan, supaya orang Madura tetap jadi tuan di tanahnya sendiri. Ini tidak berarti âanasionalâ, tetapi agar jadi baik akhrinya. Mengenai modal dan tanah, harus diupayakan supaya ada pengaturan yang adil, jangan sampai orang Madura tidak mendapat apa-apa setelah tanahnya dipakai oleh industri.
Pernah Anda sebutkan bahwa pendekatan keamanan mungkin diperlukan pada tahap awal industrialisasi di Indonesia. Mengapa? Apakah karena bangsa Indonesia berada di bawah pemerintahan militer (sistem pemerintahan dari atas ke bawah)?
Keamanan itu diperlukan pada tahap awal industrialisasi. Amerika yang demokratis itu juga kadang-kadang menggunakan kekuatan militer kalau ada pemogokan misalnya pemogokan buruh tambang batu baru. Tapi kekuasaan militer jangan terlalu lama dan hanya setempat jangan secara nasional. Kepastian hukum juga dapat memberikan rasa aman.
Kebudayaan biroktaris (kebudayaan yang muncul di bawah bayang-bayang birokrasi) Anda sebut sebagai sebuah kemunduran sejarah kebudayaan nasional. Beberapa sarjana asing dan domestik seperti Anderson dan Magnis Suseno melihat kebudayaan birokratis sebagai sebuah gejala masuknya budaya jawa dalam budaya politik Indonesia. Hal tersebut antara lain ditandai oleh kecenderungan refeodalisasi sistem sosial. Apakah Anda juga tidak sependapat dengan mereka? Lalu apa yang terjadi antara sistem birokrasi kita dalam kebudayaan jawa? Suatu perubahan pada sistem politik kita akan membawa gejala refeodalisai akan hilang. Perubahan seperti apakah yang Anda maksudkan?
Ya, saya belajar sejarah. Sejarah itu ilmu tentang perubahan. Kebudayaan jawa selalu dihubungkan dengan birokrasi. Itu barangkali kalau kita membaca buku-buku klasik. Realitas sejarah sudah berubah setidaknya sejak pergerakan nasional Syarekat Islam (SI) mempunyai budaya politik kritis. SI sudah melancarkan gerakan anti-feodal sejak 1918, yaitu gerakan Kromo Dipo, bahasa Jawa tanpa tingkatan. Dengan demokratisasi, feodalisme akan runtuh.
Dalam salah satu makalah Anda, pernah Anda sebutkan bahwa dengan terbentuknya sebuah masyarakat industrial maka di situlah sebuah peradaban besar dapat dibangun. Secara garis besar apa yang Anda maksudkan dengan peradaban besar (barang kali dalam persepektif sosio-historis)?
Peradaban global, peradaban tanpa batas negara, agama, budaya, ras dan sejarah.
Dalam kehidupan sosial sebuah masyarakat industri diperlukan âetika industrialâ, dan budaya merupakan sumber etika. Dalam konteks industrialisasi di Indonesia kita ingat bahwa sebenarnya budaya kita berlatar belakang budaya agraris yang masih tersisa dalam kesadaran kolektif masyarakat. Sedang antara budaya agraris dan budaya industrialis terdpat perbedaan yang ekstrem; kekuasaan menghasilkan kekayaan di pihak lain. Bagaimana komentar Anda terhadap kenyataan tersebut yang bisa mengakibatkan ketertinggalan budaya?
Kita memang dalam era transformasi. Tidak seperti politik, transformasi budaya itu makan waktu lama dan unsurnya lebih banyak. Katakanlah waktu yang diperlukan ialah 50 tahun, dan kita sudah dapat 25 tahun, ini kalau kita menghitung berdasar Pembangunan Jangka Panjang.
Agama sebagai sebuah kekuatan sosial-budaya tersendiri yang mengiringi jalannya peradaban manusia mendorong terbentuknya perilaku tertentu dalam masyarakat, misalnya terbentuknya lembaga perkawinan, keluarga umat dan lain sebagainya. Di sini agama telah membentuk ikatan-ikatan primordial yang mendasarkan diri tidak pada fungsi-fungsi rasional murni, tetapi berdasar pada rasional nilai. Dalam masyarakat industrial yang selalu memiliki kecenderungan rasionaliasi murni kehidupan sosial budaya masyarakat oleh adanya teknostruktur masyarakat yang pada dasarnya memang rasional. Dalam konteks ini apa yang bisa diandalkan agama dalam melawan kecenderungan rasioanlitas murni?
Manusia itu sebuah misteri. Pada waktu ada rasionalisasi (murni) ia memerlukan yang non-rasional atau rasional berdasarkan nilai. Planet yang semata-mata rasional murni tidak babitable bagi manusia. Dunia yang serba rasional murni itu tidak indah, sebab ia kehilangan misteri. Dunia seperti itu dunia robot, bukan dunia manusia.
Salah satu tulisan Kunto yang menarik adalah gagasannya mengenai ilmu-ilmu sosial profetik. Gagasan ini pada mulanya muncul sebagai hasil interaksi Kunto dengan gagasan Muslim Abdurrahman tentang teologi pembebasan yang merupakan inti dari apa yang dikemukannya sebagai teologi transformatif. Gagasan itu muncul karena dalam asumsi Kunto, ilmu-ilmu sosial sekarang hanya berhenti pada penjelasan gejala-gejala sosial belaka. Padahal, demikian Kunto mengatakan, keperluan kita lebih dari itu. Menurut Kunto, ilmuâseperti hasil kemanusiaan yang lainâselain menjelaskan juga harus dapat mengubah, dan memberi arah perubahan itu. Oleh karena itu, yang diperlukan adalah epistemologi (dasar pengetahuan) baru, etika (dasar penilaian) baru dan teleologi (tujuan) baru dari pemahaman kita terhadap simbol dan realitas. Dengan pretensi semacam ini, Kunto merasa perlu untuk menambahkan istilah profetik dalam jenis ilmu sosial yang dimaksudkannya.
Ilmu sosial profetik yang Anda ajukan, bisa dikatakan sebagai langkah maju dari âideâ teologi transformatifâ. Dalam Islam Anda sebutkan  cita-cita tersebut sebagai humanisasi, liberasi, dan transendensi. Apa pengaruh âparadigmaâ ini pada toleransi kehidupan beragama di Indonesia yang mempunyai keberagaman agama?
Saya penganut pluralisme positif. Indonesia dapat terdiri dari bermacam-macam agama, ini pluralisme. Setiap pemeluk agamanya, ini positifnya. Jadi jelasnya saya tidak setuju bila karena pluralisme dengan mudah orang berganti agama, seperti orang berganti baju. Itu bukan cuma pluraslisme, tetapi pluralisme negatif.
Civil Religion yang lebih berarti âkeyakinan bersama masyarakatâ mempunyai kemungkinan tumbuh di Indonesia. Secara umum, kondisi seperti apakah yang mendorong terbentuknya âCivil Religionâ dalam suatu masyarakat?
Bila hukum berjalan, bila budaya tertib berlaku, bila orang mengerjakan semua tanggung jawabnya, bila orang mengerjakan semua tanggung jawabnya, bila kemerdekaan orang lain dan diri sendiri menjadi hak.
Penulis: Aship A. H.
Ditulis ulang dengan penyuntingan oleh: Citra Maudy dan Kenny Setya Abdiel