“Beri aku uang, visa, dan tiket. Sekali jalan. Aku tak mau pulang,” ucap seorang perempuan kepada iblis, kekasihnya. Ia menginginkan petualangan, perjalanan yang seru, dan tidak mau menetap di Indonesia. Umurnya sudah 28 tahun dan sepanjang hidupnya ia belum pernah pergi ke luar negeri sama sekali. Setelah membuat perjanjian, perempuan tersebut bertualang ke berbagai tempat di seluruh negeri dengan sepatu merah pemberian iblis itu.
Kisah di atas merupakan penggalan dari novel “Gentayangan: Pilih Sendiri Petualangan Sepatu Merahmu” yang ditulis oleh Intan Paramaditha. Karya penulis kelahiran Bandung ini diluncurkan di Yogyakarta pada salah satu rangkaian acara “Buka Studio 7 Hari 7 Malam” yang diselenggarakan oleh Teater Garasi (18-01). Sebelumnya, buku ini telah diluncurkan di Jakarta dan Bali.
Dalam novel ini, Intan menggunakan sudut pandang orang kedua yang digambarkan dengan “kau” sebagai karakter utama novelnya. Tokoh ini adalah seorang perempuan kelas menengah yang bekerja sebagai guru bahasa inggris. Ia merasa bosan karena meski bekerja sebagai guru bahasa inggris, ia tidak pernah ke negara yang berbahasa inggris. “Novel ini bercerita tentang perempuan naif yang ingin melakukan petualangan. Untuk mewujudkan itu, ia bersekutu dengan iblis,” kata Intan.
Demi memberi pengalaman yang lebih interaktif, Intan mengajak pembacanya untuk memilih konsekuensi dan akhir kisahnya sendiri melalui lima belas alur cerita yang ia sediakan. Dalam format ini, pembaca diberi pilihan yang mengarahkannya pada halaman tertentu dan melewati petualangan yang berbeda di setiap akhir perjalanan. Ia mengaku bahwa format cerita “pilih sendiri petualanganmu” terinspirasi dari serial buku Anne of Green Bables karya L. M. Montgomery.
Sama seperti buku-buku Intan sebelumnya (antologi cerpen “Sihir Perempuan” dan karya kolaborasi bersama Eka Kurniawan dan Ugoran Prasad berjudul “Kumpulan Budak Setan”), “Gentayangan” berusaha mengangkat hal sehari-hari yang kerap diterima begitu saja. Lewat gagasan mengenai petualangan, Intan mengajak pembaca untuk mempertanyakan konsep perjalanan yang selama ini dianggap tidak bermasalah. Ia bermaksud mengganggu pembaca dengan menyinggung kehidupan kelas menengah yang dihubungkan dengan konsep rumah dan kepergian, juga batas-batas di dunia yang semakin runtuh. “Buat saya, kelas menengah itu harus ‘didampingi’ karena mereka sering kali memiliki asumsi, aspirasi, dan sikap yang cenderung untuk melanggenggkan status quo serta tidak kritis,” ungkap Intan.
Intan mengatakan bahwa ia juga ingin berbicara soal akses dan keistimewaan melalui penggambaran tokoh utamanya. Menurutnya, perjalanan merupakan salah satu bentuk akses dan keistimewaan yang hanya dapat dilakukan oleh mereka yang memiliki modal. Ia membandingkan kontrasnya akses satu kelompok yang mampu bertualang ke luar negeri, sedangkan yang lainnya tidak. “Pemegang paspor Indonesia misalnya, sebagai warga negara berkembang, kita tidak memiliki akses yang sama dengan pemilik paspor dari Belanda,” kata Intan.
Tidak hanya gagasan mengenai akses dan keistimewaan, beberapa resensi yang ditulis baik oleh wartawan maupun pembaca “Gentayangan” juga membahas adanya ide feminisme dalam novel baru Intan. Tokoh utama dalam novel ini dianggap feminis karena menginginkan kebebasan dengan bertualang ke luar negeri. Slogan novel ini yang berbunyi “cewek baik masuk surga, cewek bandel gentayangan” juga dianggap sebagai penguatnya.
Menanggapi hal tersebut, Intan mengatakan bahwa tokoh utamanya bukanlah seorang feminis. Alih-alih menyebutnya sebagai feminis, Intan lebih tertarik menunjukkan transformasi tokohnya dari seorang yang naif menjadi petualang. “Dalam perjalanannya, tokoh ini menemukan hal-hal yang membuatnya kritis terhadap lingkungannya, dan dia percaya akan hal tersebut,” kata Intan.
Intan juga menjelaskan bahwa ia tidak mau membuat tokoh yang stereotipikal. Ia mengaku lebih tertarik menceritakan negosiasi yang terjadi daripada membuat dikotomi antara tokoh yang feminis dan konservatif. Intan mencontohkan karakter saudara perempuan dari tokoh utama. Meski diceritakan sebagai muslim konservatif, tokoh ini menolak poligami. Dalam buku ini, Intan berusaha menunjukkan bahwa tokoh-tokohnya terus bernegosiasi dengan lingkungan sekitar mereka.
Dengan konsep penulisan yang dapat memilih alurnya sendiri, respon dari pembaca pun bermacam-macam. Abdul Hadi, salah satu pengunjung acara peluncuran buku, mengatakan bahwa dirinya pernah merasa bosan meski baru membaca satu alur cerita. Abdul juga mengatakan ia justru ingin menciptakan alur ceritanya sendiri. Menyambut keluhan tersebut, Intan mengatakan bahwa dengan struktur buku petualangan, bosan adalah salah satu efek yang diharapkan dari pembacaan novel ini. “Penting bagi saya bila pembaca merasa bosan, dengan begitu kita bisa sadar ada hal-hal yang lebih menyenangkan ketika telah memilih jalur tertentu,” ucap Intan sambil tertawa.
Penulis : Citra Maudy
Editor : Sultan Abdurrahman