Senin (4-12), Paguyuban Warga Penolak Penggusuran Kulon Progo (PWPP-KP) dan relawan penolak pembangunan New Yogyakarta International Airport (NYIA) mengadakan aksi menolak penggusuran 38 rumah warga yang telah direncanakan oleh PT. Angkasa Pura I. Sebelumnya, pihak PT. Angkasa Pura I memaksa warga Desa Palihan untuk mengosongkan rumah mereka di daerah proyek pembangunan bandara sebelum tanggal 4 Desember 2017. Massa aksi bergerak dari Masjid Al-Hidayah menuju kantor PP yang berada di Desa Palihan, Kecamatan Temon, Kabupaten Kulon Progo. Aksi ini dimulai dengan orasi oleh beberapa warga dan relawan dilanjutkan dengan salat dan membaca doa bersama yang dipimpin oleh Muhammad Al-Fayyadl.
Hermanto, anggota PWPP-KP, merasa dirinya sudah nyaman hidup di Desa Palihan. Ia mengaku desanya memiliki air yang bersih dan tidak pernah kebajiran meskipun hujannya besar. Meski tanah miliknya sudah sering didatangi oleh tim penilai (appraisal) tanah untuk ganti rugi lahan, Hermanto tetap menolak untuk memberikan tanahnya kepada PT. Angkasa Pura I. Selain itu, ia tidak mengakui konsinyasi yang dilakukan oleh PT. Angkasa Pura I. “Maka mau tidak mau kita bertahan, jika nanti kami tetap digusur berarti itu perampasan,” tambah Hermanto.
Senada dengan Hermanto, Heronimus Heron, relawan aksi, menyatakan bahwa dirinya menolak pembangunan NYIA di Kulon Progo. Menurutnya, tanah yang digunakan untuk pembangunan bandara merupakan lahan pertanian produktif dalam menghasilkan buah dan sayur. Roni menyatakan hasil bumi dari lahan itu mampu mencukupi memenuhi kebutuhan buah dan sayuran di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) dan Jawa Tengah. Ia menambahkan bahwa pihak PT. Angkasa Pura I juga tidak mampu memberikan jaminan pekerjaan baru bagi warga yang digusur. “Saya kira mereka sudah sejahtera dengan tanahnya, mereka berdaulat dengan tanahnya sendiri,” tegas Roni.
Pernyataan yang sama dilontarkan oleh Muhammad Al-Fayyadl, aktivis Front Nahdliyin untuk Kedaulatan Sumber Daya Alam. Ia mengungkapkan bahwa lahan pertanian yang ada di Kulon Progo jika dialihfungsikan mengakibatkan warga kehilangan pekerjaan. Gus Fayyadl, panggilan akrab dari Muhammad Al-Fayyadl menambahkan bahwa sekarang telah terjadi perampasan tanah-tanah milik petani yang dialihfungsikan menjadi tanah selain kepentingan pertanian. “Pembangunan bandara bukan untuk kepentingan bagi warga desa Palihan di Kulon Progo, melainkan investor,” tambah Gus Fayyadl.
Mengenai pengadaan bandara, Gus Fayyadl berasumsi bahwa DIY dan Jawa Tengah tidak memerlukan bandara baru. Ia menyatakan bahwa pembangunan NYIA merupakan kesalahan mengingat program kedaulatan pangan yang dicanangkan oleh pemerintah. “Kalau kita sepakati DIY merupakan sebuah lumbung pangan, maka pembangunan bandara baru ini merupakan suatu upaya bunuh diri dari pemerintah daerah,” tutupnya.
Enam hari setelahnya, Minggu (10-12), warga dan relawan masih menetap di Desa Palihan untuk menjaga rumah jika sewaktu-waktu terjadi penggusuran oleh aparat. Pada hari itu juga, bertepatan dengan hari Hak Asasi Manusia diadakan acara Solidaritas untuk warga penolak NYIA di Masjid Al-Hidayah, Temon, Kulon Progo. Acara tersebut diisi oleh Kalesang, Kepal SPI, Pejalan Bergerak, Perpustakaan Jalanan DIY, Predator, dan Yasir Dayak. “Lemah ilang petani ra isoh mangan, lemah ilang kowe yo ra isoh mangan!” tutup vokalis Kepal SPI.
Penulis: Muhammad Irfan Hafidh
Editor: Luthfian Haekal