Dari 9.000 mahasiswa baru yang diterima setiap tahun di UGM, mereka tidak mencapai 1% dari total mahasiswa baru. Akan tetapi setiap tahun mereka selalu saja ada, selalu ada di antara mereka yang mampu lolos dari ketatnya seleksi penerimaan mahasiswa baru. Tidak ada kuota khusus untuk mereka. Mereka bersaing dengan soal yang sama dengan cara pengerjaan berbeda. Siapakah mereka? Mereka adalah mahasiswa difabel Kampus Biru.
Terlepas dari hiruk-pikuk lini masa LINE, mulai dari tempat air minum menjadi wastafel sampai boikot BEM-KM; isu ini mungkin tidak terpikirkan oleh teman-teman sekalian. Namun, hal ini sangatlah penting, karena cita-cita sebuah kampus yang ingin menjadi kelas dunia ini lupa akan keberadaan mahasiswa penyandang difabel di lingkungan kampusnya sendiri. Saya akan memberikan contoh, teman saya bernama Fahmi mahasiswa Sekolah Vokasi (SV) ‘16, selama satu semester penuh Fahmi memerlukan bantuan rekan-rekan seangkatannya untuk mengangkat dia dengan kursi rodanya ke lantai dua gedung SV agar Fahmi dapat mengikuti kuliah. Tapi untung saja, pihak akademik SV baru menyadari masalahnya dan sekarang akhirnya Fahmi bisa selalu kuliah di lantai satu.
Di lain tempat, pernahkah kalian berkunjung ke perpustakaan pusat UGM? Sebelah utara GSP yang sering menjadi tempat parkir anak-anak ekonomika!? Tempat publik yang bisa dikunjungi mahasiswa se-UGM-raya, untuk sekali saja cobalah tengok kamar mandi lantai satu, ada ruangan yang dikhususkan untuk penyandang difabilitas membuang hajat. Namun, pernahkah kalian iseng menyalakan lampu? Atau menghidupkan air? Kedua hal yang disebutkan tadi tidak berfungsi dengan baik. Mungkin sedang rusak, tapi mengapa terus-menerus rusak? Padahal kamar mandi lain normal-normal saja kok.
Awalnya saya berasumsi, hal tersebut karena minimnya kawan-kawan tunadaksa yang datang ke perpustakaan pusat, sehingga kebutuhannya tidak diperhatkan. Namun, setelah saya cross check data, tunadaksa yang berada di area kluster sosiohumaniora memang sangat sedikit dan yang menggunakan kursi roda baru masuk tahun ajaran 2017. Apabila yang sering datang adalah Tio, seorang penyandang tunanetra mahasiswa Fakultas Hukum ’16, saya rasa apabila dia menggunakan toilet normal atau berkebutuhan khusus, hal itu tak masalah, tidak ada bedanya dalam hal berdinamika di dalam kamar mandi difabel maupun non-difabel.
Entah kenapa saya melihat perpustakaan pusat sebagai representasi kesiapan UGM sebagai ruang publik para akademisi dalam menerima mahasiswa difabel. Namun, marilah kita coba tengok kluster sosiohumaniora sebagai rumah yang berisi mayoritas mahasiswa difabel bernaung untuk belajar. Sepanjang taman sosiohumaniora yang memiliki jalan pemandu hanya di depan Fakultas Psikologi. Hanya terletak di sana dan terhenti tak ada kelanjutannya; hanya berakhir masuk ke Fakultas Psikologi lagi. Melihat hal tersebut saya ingat bahwa Kampus Biru memiliki Grand Design pembangunan sampai tahun 2000-sekian. Pembangunan taman dilakukan tanpa memperhatikan ketersediaan jalur pemandu untuk rekan tunanetra ditambah jalan yang berliku-liku mampu melatih keahlian nge-drift pemakai kursi roda sangat jelas membuat saya pesimis dengan term kampus educopolis, apalagi cita-cita menjadi world class university.
Proyek pembangunan yang akhir-akhir ini sudah selesai, yaitu Plaza Bank Indonesia, secara konseptual memang sangatlah menarik untuk kita yang tidak berkebutuhan khusus untuk berkumpul, bercanda, tertawa, atau berbagi wacana. Namun, di sana tidak terlihat ramp di sekitar plaza untuk tunadaksa atau tidak adanya jalan pemandu untuk tunanetra membuat saya kecewa lagi dengan Grand Design pembangunan UGM. Pembangunan yang terletak di area sosiohumaniora tempat enam mahasiswa berkebutuhan khusus yang terdiri dari tunanetra dan tunadaksa, terhambat canda dan tawanya di Plaza Bank Indonesia yang katanya dirancang oleh arsitek yang luar biasa mahalnya. Di manakah wajah Si Kampus Biru ketika sudah menjadi universitas kelas dunia ketika salah seorang penguji akreditasi dari luar negeri adalah seorang penyandang tunadaksa dan ingin menyantap hidangan di Plaza Bank Indonesia?
Hal-hal yang nampak sepele seperti ramp atau jalan pemandu membuat saya bingung ketika ditanya oleh seorang pendaftar jalur Ujian Mandiri, “Mas, yang sudah aksesibel untuk pengguna kursi roda seperti saya di mana?” Jujur saja, saya hanya bingung mau menjawab apa adanya atau berbohong; membuat dia semangat atau aku menamparnya dengan realitas. Sebuah keberuntungan saja fakultas yang dia pilih memiliki aksesibilitas yang cukup.
Ia memilih Fisipol UGM, dan FEB UGM. Walaupun ia memilih secara buta kompleks fakultas tanpa tahu ketersediaan fasilitasnya bagi difabel, namun dewi fortuna menyertainya. Fisipol sudah memiliki aksesibilitas yang sangat cukup. Sudah ada ramp, dan bahkan hal sepele seperti lift sudah tersedia. Kalau boleh kecewa, yang saya sayangkan adalah ramp yang berada di selasar barat terlalu curam, sebab kemiringan sebuah ramp tidak boleh lebih dari tujuh derajat dengan panjang mendatar tak boleh lebih dari 900 cm.
Di FEB sendiri kondisinya sebelas-dua belas dengan Fisipol. Sepengamatan saya, fasilitas bagi difabel di FEB sudah cukup baik, hanya akses di lantai tiga bagi penyandang tunadaksa cukup sulit. Kawasan fakultas yang luas juga membuat rekan tunanetra harus dituntun jika ingin berpindah-pindah. Saya tak berani berbicara banyak mengenai FEB, karena saya selalu ditolak pihak satuan kemanan kampus setiap ke FEB akibat cara saya berpakaian tidak sesuai peraturan mereka.
Selain kedua fakultas tadi, fakultas paling aksesibel bagi difabel menurut saya adalah Fakultas Psikologi. Di kawasan bagian gedung baru yang menghadap ke Fakultas Filsafat sudah memiliki ramp untuk pengguna kursi roda yang memungkinkan dia bisa mendorongnya sendiri naik. Di sana juga telah tersedia jalan pemandu, lift, dan toilet untuk penyandang difabilitas yang sudah sesuai standar ketinggian.
Pada dasarnya, rekan-rekan difabel menginginkan kemandirian. Mereka tidak ingin bergantung terhadap bantuan orang lain. Fasilitas inilah syarat adanya kemandirian tersebut. Semoga dengan adanya kompleks lingkungan yang sudah inklusif di UGM seperti di beberapa fakultas tersebut, akan ada efek domino ke fakultas lain. Menengok kembali infrastruktur yang tersedia di UGM, masih belum terlambat untuk melakukan revisi Grand Design demi mewujudkan universitas kelas dunia. Universitas yang mengejar cita-citanya menjadikan universitas dengan atmosfer inklusif. Kapan? Pada saatnya di mana pertanyaan, “Mas, fakultas yang sudah aksesibel untuk pengguna kursi roda seperti saya di mana?” Bisa dijawab dengan, “Semuanya sudah akses kok, dari perpustakaan hingga pengajaran di ruang kelas. Sampai jumpa di UGM, dik.”
Salam Inklusi!
Antonius Harya F. W.
Wakil Ketua UKM Peduli Difabel UGM
Hanya mahasiswa biasa Kampus Biru
Foto dari zeevveez via VisualHunt / CC BY