Awal perkenalan saya dengan buku ialah kebosanan saya dengan hingar-bingar. Ingin sekali saya keluar dari rasa jengah dikejar-kejar akan banyak hal dan rasa was-was akan masa depan. Singkatnya saya ingin mengakrabkan diri dengan sunyi. Saya mencoba banyak hal untuk kabur dari perasaan yang inheren dalam diri manusia tersebut.
Membaca bisa dilakukan di mana saja kita sukai, bahkan ketika sambil buang air besar sekalipun. Membaca juga bisa memberikan jalan keluar atas keinginan saya untuk berdamai dengan sunyi. Tentu saja kesunyian yang saya maksud bukanlah suasana eksternal yang sepi ataupun suasana batin yang tenang. Kesunyian yang saya maksud adalah kesunyian dari sifat asali manusia, yaitu kerinduan akan sebuah mula. Namun malangnya, kerinduan akan sebuah mula hanya bisa dituangkan ke dalam sebuah tulisan, padahal dalam kegiatan membaca dan menulis itu sendiri menimbulkan paradoks.
Pencarian saya akan sebuah mula ibarat sebuah bayi di dalam kandungan ibu, sebab di dalam rahim ibulah tiap kandungan merasa aman. Kesunyian tanpa rasa takut atas apapun, begitulah kira-kira. Saya kemudian berspekulasi, bahwasanya dengan karya seni—entah itu lukisan, lagu, karya sastra, atau bentuk seni lainnya—mampu menghadirkan kesunyian yang saya maksud.
Seni lahir dari sunyi, begitulah kata Blanchot, seorang kritikus sastra cum sastrawan abad ke-20. Buku tentu merupakan karya seni—sejauh pandangan subjektif saya—yang lahir dari sunyi. Sebab, dengan sunyi akan lahir karya-karya agung manusia. Perasaan manusia yang dekat dengan sunyi membuat karya seni seperti buku mempunyai nilai guna yang sangat penting dalam sejarah peradaban manusia. Selain sebagai medium penyebaran informasi, buku telah mengabadikan kerinduan manusia akan sebuah awal. Tepat di sinilah paradoks akan kegiatan membaca dan menulis itu dimungkinkan.
Blanchot (1982) mengatakan dalam The Space of Literature bahwa seniman tak pernah sungguh-sungguh tahu kapan sebuah karya seni selesai: seorang sastrawan, seorang penulis, tak pernah membaca karya yang ia hasilkan sendiri. Lalu, ketika ia sedang melakukan pembacaan atas karyanya seraya memercayai bahwa ia tengah membaca karyanya sendiri, sesungguhnya ia hanya sedang menulis di atas karyanya sendiri. Maka dari itu, karya seni selalu merupakan rahasia bagi seniman, karena keduanya senantiasa terpisah dan tak dapat berpelukan mesra. Secara sederhana, letak dari paradoks kegiatan membaca buku ialah dengan membaca kita berusaha menelusuri kembali jejak sebuah awal. Berbanding terbalik dengan kegiatan menulis, dengan menulis seseorang akan semakin jauh dari asal-usul tulisan dan menjauh dari asal mulanya sendiri. Di tengah kebimbangan itulah buku senantiasa menjadi jembatan antara keduanya (membaca dan menulis). Kita dapat membaca dari sebuah buku sekaligus menulis sebuah tulisan menjadi sebuah buku.
Saya ingin menyebut nama Franz Kafka (1883-1924) sebagai sebuah nama lain dari kesia-siaan sunyi. Kafka merasakan paradoks dari kegiatan membaca dan menulis. Ia menulis entry buku hariannya pada tanggal 28 Juli 1914, “Aspirasi unikku dan satu-satunya panggilanku… adalah kesusastraan… Segala yang telah aku lakukan adalah hasil kesunyian…”. Hanya dalam kesusastraan inilah Kafka berharap akan keselamatan psikisnya. Dengan kata lain, Kafka ingin mencapai pemahaman yang utuh tentang diri dan makna hidupnya. Artinya, Kafka ingin mencari sebuah awal dengan medium kesusastraan. Namun naas, menurut Blanchot, “Semakin Kafka menulis, semakin ia tak yakin dengan tulisan.” Dari sinilah aktivitas membaca dan menulis berkelindan membentuk paradoks dalam diri Kafka. Di satu sisi Kafka tidak bisa melepaskan diri dari kegiatan kesusastraan (membaca karya sastra) dan di sisi lain Kafka tidak bisa berhenti untuk menulis. Alih-alih berkata adieu (selamat tinggal) pada kegiatan baca tulis, Kafka memilih jalan damai.
Menurut Kafka, kita tak dapat menulis apapun kecuali kita telah menjadi tuan atas kematian kita. Ketika kita takut akan maut, maka akan ada kata yang tergelincir masuk ke tulisan kita tanpa rencana dan itu akan merusak karya kita. Inilah cara sederhana kita mampu tersenyum bahagia di depan maut, atau dengan kata lain, mencoba berpelukan dengan sunyi. Dari situlah muncul adagium tersohor write to be able to die—die to be able to write. Hal ini juga membedakan Kafka dari para sastrawan lainnya. Misalnya seperti kata Pramoedya Ananta Toer, “Menulis adalah kerja untuk keabadian,” yang secara banal dapat berarti upaya untuk bersembunyi dari kematian. Kafka tidak bersembunyi dari kematian lewat karyanya, namun ia ingin hancur secara damai lewat karyanya.
Pembacaan liar saya mengatakan bahwa Kafka sengaja mengambil jalan damai tersebut. Sebab, jika kita takut akan kematian berarti kita takut menghadapi sebuah akhir dari hidup, padahal kita juga sedang berusaha mencari sebuah awal. Satu-satunya jalan yang dapat mengafirmasi pencarian akan sebuah awal ialah menerima kematian tanpa rasa takut—tentu dengan harapan bahwa mati adalah sebuah awal yang baru bagi kehidupan. Kita tak perlu lagi takut dengan kegiatan membaca dan menulis, sebab buku dapat menjadi jembatan di antara keduanya. Dengan jalan seperti inilah kita tak lagi tak lagi was-was akan masa depan. Ketika kita mengambil jarak dari kehidupan, kita dapat menyusun strategi apa yang cocok untuk memukul balik keadaan. Buku-buku akan menjadi penasihat kita untuk bersikap. Di sisi lain, dengan menuliskan kegelisahan kita terhadap dunia berarti kita dapat berdamai dengan kematian, dalam kata lain write to be able to die—die to be able to write.
Setiap kali saya mau membaca buku-buku yang sunyi itu, pikiranku jadi tenang. Apalagi hati. Seperti inikah rasanya kabur dari dunia?
Muhammad Nur Alam Tejo
Mahasiswa Filsafat UGM yang tidak berpengaruh apa-apa
1 komentar
[…] Buku Adalah Teman Setia Sunyi, dimuat di balairungpress.com […]