“Diskriminasi? Hilangkan! Papua? Yes!” Sejak pukul enam sore pada Sabtu (15-07), sorak sorai tersebut terdengar bersahut-sahutan dari suatu perhelatan di halaman Asrama Mahasiswa Papua Kamasan I. Perhelatan tersebut bertajuk “Peringatan 15 Juli 2016: Satu Tahun Diskriminasi Mahasiswa Papua dalam Keistimewaan Yogyakarta” yang digagas oleh Aliansi Mahasiswa Papua (AMP) dan Ikatan Pelajar dan Mahasiswa Papua (IPMAPA). Acara tersebut digelar untuk memperingati peristiwa pengepungan Asrama Kamasan I tahun lalu. Peristiwa tersebut juga membuat Obby Kogoya, salah seorang mahasiswa Papua yang berkuliah di Yogyakarta dikriminalisasi oleh aparat negara.
Tak hanya diikuti oleh para mahasiswa Papua, acara tersebut juga diramaikan oleh anggota Front Rakyat Indonesia untuk West Papua. Selain itu, beberapa organisasi seperti Lembaga Bantuan Hukum Yogyakarta, Komite Penyelamat Organisasi-Perhimpunan Rakyat Pekerja (KPO-PRP), dan Serikat Pembebasan Perempuan (Siempre) juga turut berpartisipasi.
Perhelatan tersebut diisi dengan berbagai bentuk kesenian. Beberapa di antaranya adalah pementasan teater, pembacaan puisi, stand-up comedy, tari tradisional, paduan suara dan band, serta pemutaran film. Semua penampilan tersebut menggambarkan keresahan yang dirasakan oleh mahasiswa Papua di daerah asalnya dan saat mengenyam pendidikan di Yogyakarta. Paulus Samon selaku Ketua Pelaksana acara tersebut mengatakan medium seni digunakan dalam acara ini agar para mahasiswa dapat menyampaikan keresahannya dengan lebih leluasa. “Di luar asrama, upaya kami untuk berekspresi sudah sangat dipersulit, maka kami buat seperti ini,” ujarnya.
Bagi Paulus, perasaan tak aman yang dirasakan mahasiswa Papua di Yogyakarta disebabkan oleh stigma pemabuk dan perusuh yang telah dilekatkan pada mereka. Stigma tersebut membuat mereka terdiskriminasi, misalnya sulit mendapatkan tempat tinggal. Walaupun begitu, ia menegaskan bahwa tidak semua mahasiswa Papua adalah pemabuk dan perusuh. Sepakat dengan Paulus, Abbi Douw, anggota AMP, juga mengimbau para hadirin untuk mengingat tanggal 15 Juli sebagai momentum untuk melawan lupa terhadap diskriminasi yang dirasakan oleh mahasiswa Papua.
Ignatius Mahendra Kusumawardhana dari KPO-PRP menjelaskan bahwa diskriminasi dan rasisme akan tetap ada ketika masih ada sistem yang mengeksploitasi. Eksploitasi tersebut dilakukan oleh kaum borjuasi nasional Indonesia yang bekerja sama dengan kaum borjuasi internasional dengan cara mengeruk sumber daya alam Papua. Ia juga mengatakan bahwa rasisme dikembangkan oleh kapitalisme untuk membenarkan kekerasan fisik. Hal itulah yang dilakukan oleh polisi dan kelompok-kelompok reaksioner tahun lalu kepada mahasiswa Papua. “Mereka membenarkan bahwa kawan Papua boleh dianiaya, dipukuli, diinjak-injak karena kulitnya hitam, dan tidak seperti orang Indonesia pada umumnya. Itulah fungsi rasisme,” tuturnya.
Sependapat dengan Mahendra, Fitri Lestari sebagai anggota Siempre mengatakan bahwa narasi rasialisme didengungkan untuk melancarkan dan mempermulus imperialisme. Itulah sebabnya pembungkaman ruang demokrasi bagi masyarakat dan mahasiswa Papua di Yogyakarta terus dilakukan oleh penguasa melalui aparat negara. Melihat hal tersebut, Fitri menyarankan untuk mempererat solidaritas antara kaum pro demokrasi, kaum yang tertindas, dan juga masyarakat Papua. “Teruslah melawan untuk mempertahankan martabat dan harga diri dengan cara aksi massa dan solidaritas penuh,” pungkasnya.
Selain itu, Aris Yeimo selaku Ketua IPMAPA berharap agar kawan-kawan sesama mahasiswa Papua juga mempertahankan dan memperkuat solidaritas internal. Ia mengingatkan untuk membuang jauh-jauh isu yang bermaksud memecah belah mahasiswa Papua. Menurutnya, bila hal tersebut dapat dilakukan, mereka bisa lebih kuat melawan diskriminasi. “Di sini dan di manapun, kitong ini satu, Papua,” tegasnya.
Penulis: Oktaria Asmarani
Editor: Luthfian Haekal