PT Kereta Api Indonesia (KAI) merobohkan 83 kios yang terletak di sisi selatan Stasiun Yogyakarta pada Rabu (05-07) lalu. Kios-kios milik para pedagang digusur untuk membangun jalur pedestrian di sisi selatan stasiun yang juga dikenal sebagai Stasiun Tugu tersebut. âPenertiban ini merupakan bagian dari penataan Stasiun Tugu,â jelas Eko Budiyanto, Manajer Humas PT KAI Daerah Operasi VI Yogyakarta, seperti yang dikutip oleh koran Kompas pada Kamis (06-07) lalu.
Kendati demikian, Rudi Tripurnama, ketua paguyuban pedagang bernama Manunggal Karsa, mengatakan bahwa alasan penataan itu kerap mengalami perubahan. âAwalnya, alasan dari penataan tersebut adalah pembangunan hotel dan mal, lalu berubah menjadi relokasi pedagang, hingga akhirnya isu pembangunan pedestrian,â ucap Rudi.
Selain alasan yang kerap berubah, Rudi juga menuturkan bahwa pada Surat Peringatan (SP) tertulis adanya Surat Protes dan Keberatan Warga RW 03 Sosrowijayan Kulon di bagian dasar hukum. Surat Protes tersebut berisi tentang keluhan warga atas kekumuhan dan ketidaktertiban jalan di selatan Stasiun Tugu. Namun, Rudi membantah bila pedagang terlibat dalam kondisi kumuh dan tidak tertibnya jalan tersebut. âKetidaktertiban jalan itu bisa jadi justru disebabkan oleh KAI sendiri karena pengaturan jalan yang dilimpahkan seluruhnya ke arah Pasar Kembang,â tegasnya.
Terkait dengan dasar hukum, Lutfy Mubarok, Staf Divisi Ekonomi, Sosial dan Budaya Lembaga Bantuan Hukum Yogyakarta, juga mempertanyakan penggusuran tersebut. Menurut pemaparannya, wilayah tersebut adalah hak yang diberikan oleh Pemerintah Kota (Pemkot) kepada pedagang melalui Kartu Bukti Pedagang (KBP) dan retribusi yang dibayar secara rutin. Berdasarkan Peraturan Daerah Nomor 2 Angka 12 Tahun 2012, KBP adalah bukti diri bagi pedagang yang diberikan hak penggunaan kios atau los. Padahal, menurut Lutfy, dari puluhan pedagang yang digusur tersebut, beberapa di antaranya memiliki KBP yang masih berlaku hingga tahun 2018 dan 2019. âDengan begitu, Pemkot melanggar aturan yang mereka buat sendiri,â jelasnya.
Selain itu, Lutfy turut menemukan kejanggalan dari SP yang selama ini ditujukan kepada pedagang. Ia mengatakan bahwa sejak keluarnya SP I hingga Surat Perintah Pengosongan, penerima dan alamatnya tidak pernah dituliskan. Padahal, menurut Lutfy, surat yang dikeluarkan oleh PT KAI terhadap pedagang dapat dianggap sebagai Keputusan Tata Usaha Negara (KTUN). Menurut penjelasannya, KTUN bersifat konkret, individual dan mengikat. âSesuai dengan sifatnya yang individual, apabila penerima dari SP itu tidak ditulis, maka legalitas dari surat tersebut patut dipertanyakan,â kata Lutfy.
Oleh sebab itu, para pedagang berharap segera mendapat solusi dari penggusuran yang dilakukan oleh PT KAI. Rudi berharap bahwa PT KAI menyediakan lahan relokasi yang pantas dengan harga sewa yang terjangkau. Senada dengan hal tersebut, Lutfy mengatakan bila mengacu pada UU Nomor 11 Tahun 2005 tentang Pengesahan Kovenan Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya, lahan relokasi harus sudah disediakan sebelum penggusuran dilakukan.
Akan tetapi hingga di hari penggusuran dilakukan, Heroe Poerwadi selaku Wakil Walikota Yogyakarta mengaku bahwa skema solusi masih akan dibahas. Ia menjelaskan bahwa Pemkot tidak bisa berbuat banyak karena pemegang hak pengelolaannya adalah PT KAI. âKami akan tetap memikirkan solusinya, untuk bentuk solusinya seperti apa besok kami paparkan setelah bertemu dengan PT KAI,â kata Heroe seperti yang dikutip oleh koran Kedaulatan Rakyat pada Kamis (06-07) lalu.
Penulis: Citra Maudy
Editor: Muhammad Respati