“UKT mahal? Lawan!” teriak ribuan mahasiswa di dalam Gedung Pusat UGM pada Selasa (02-5). Aliansi Mahasiswa UGM menggunakan 2 Mei sebagai momentum aksi massa yang bertujuan menuntut satu tahun janji rektor perihal UKT. “Kami ingin hari ini ada keputusan yang jelas dan mengikat di atas kertas,” ujar Alif Fadhiyah, anggota Tim Negosiator “Aksi 2 Mei”. Bentuk pemenuhan tuntutan yang diinginkan adalah penandatanganan surat perjanjian yang dibuat mahasiswa oleh representasi dari 18 fakultas dan satu sekolah vokasi. Tepat satu tahun sebelumnya, Aliansi Mahasiswa UGM menginisiasi aksi menuntut kebijakan rektor saat ini, Prof. Ir. Dwikorita Karnawati, M.Sc., Ph.D. Salah satunya terkait permasalahan UKT dengan beberapa tambahan poin tuntutan.
“Aksi 2 Mei tahun ini tidak sekadar perayaan, tetapi juga untuk menagih janji setelah mahasiswa UGM menunggu selama satu tahun,” ungkap Hening Wikan, Koordinator Tim Kajian “Aksi 2 Mei”. Aksi mahasiswa ini diawali penjemputan massa antar fakultas. Sembari membawa berbagai spanduk bertuliskan “Revolusi Pendidikan”, “Resahmu Resahku” dan lainnya, mahasiswa menyanyikan lagu-lagu penyemangat. Pukul 09.30 WIB mahasiswa berkumpul di depan Fisipol UGM sebelum berjalan bersama menuju Gedung Pusat UGM.
Sebelum aksi 2 Mei tahun ini, Aliansi Mahasiswa UGM, yang terdiri dari perwakilan mahasiswa UGM, mengadakan persiapan berbentuk kajian, konsolidasi, dan penjabaran teknis lapangan. Agenda dalam konsolidasi pertama (21-04) di FIB adalah jajak pendapat kepada seluruh fakultas yang kemudian menyepakati adanya aksi. Kemudian kosolidasi kedua yang dilakukan di Fakultas MIPA pada (24-04) menghasilkan pembagian tim kajian untuk membuat dasar kajian dan aksi, tim teknis untuk mempersiapkan aksi, serta tim framing yang siap menggiring opini publik.
Selama persiapan aksi, Hikari Ersada selaku tim teknis aksi mengatakan, Aliansi Mahasiswa UGM bergerak melalui bentuk kajian. Sehingga, ia mengajak seluruh peserta konsolidasi untuk mewacanakan isu antar individu melalui berbagai media. “Aksi ini adalah aksi Aliansi Mahasiswa UGM dan berasal dari masing-masing individu yang tergerak,” sambungnya.
Sebagai pembuka aksi, Wikan membacakan beberapa tuntutan mahasiswa. Tuntutan pertama mengenai rentang penghasilan yang sama dalam penggolongan UKT dengan mempertimbangkan jumlah keluarga. Selanjutnya, Wikan menyampaikan lima tuntutan lainnya; reformulasi nominal UKT; adanya SOP penyesuaian, penurunan, dan penaikan UKT; menolak pemberlakuan sistem UKT di atas semester 8 bagi mahasiswa S1 dan semester 6 bagi mahasiswa Diploma. Ditambah tuntutan berupa adanya rentang penghasilan yang sama dalam penggolongan UKT dengan mempertimbangkan jumlah tanggungan keluarga, serta menolak pemberlakuan UKT bagi mahasiswa profesi.
Tuntutan tersebut disanggah oleh Prof. dr. Iwan Dwi Prahasto, M.Med.Sc., Ph.D. selaku Wakil Rektor Bidang Akademik (Warek I) yang mewakili rektor, terkait Penyesuaian Kelompok UKT Program Sarjana dan Diploma. Menurutnya, di dalam SK Rektor Nomor 526/UN1.P/SK/HUKOR/2016 sudah disebutkan penetapan UKT juga mempertimbangkan jumlah anggota keluarga pada saat registrasi. Hal ini disampaikan mengingat verifikasi dilakukan oleh tiap program studi. Menambahi penentuan UKT tersebut, Iwan mengatakan bahwa UKT rendah sudah banyak diberikan kepada mahasiswa dengan tanggungan keluarga tinggi. Dialog dengan Warek I tersebut menjadi alot, karena tim kajian menginginkan penghitungan beban tanggungan keluarga sejak awal pengajuan, bukan pada saat mengajukan penyesuaian tarif UKT.
Berkaitan dengan kebijakan UKT yang ditangani oleh tiap fakultas, mahasiswa menuntut kehadiran dekan seluruh fakultas agar menyatakan komitmennya. Pada pukul 13.00 beberapa dekan akhirnya hadir dan menandatangani surat tuntutan mahasiswa. Dari sembilan belas dekan hanya empat yang bersedia menandatangani yaitu Fisipol, FIB, Fakultas Filsafat, dan Fakultas Pertanian. Dr. Erwan Agus Purwanto, M.Si, Dekan Fisipol mengungkapkan Fisipol selalu berupaya menurunkan UKT, sehingga tujuan Fisipol selaras dengan tuntutan mahasiswa. Beberapa dekan fakultas lain juga tidak menandatangani karena berhalangan hadir. Sedangkan Iwan mengatakan alasan penolakan penandatanganan tuntutan karena merasa berada di bawah paksaan mahasiswa. “Saya merasa tertekan dan forum ini tidak fair karena memaksa saya menandatangani,” ujar Iwan. Selain itu, berdasarkan penjelasannya, empat dari enam tuntutan mahasiswa sudah dipenuhi melalui SK rektor yang dibuat paska 2 Mei tahun lalu.
Setelah diskusi terbuka hingga pukul 17.00, dihasilkan kesepakatan antara Warek I dengan tim kajian untuk membentuk tim kecil guna menindaklanjuti tuntutan tersebut. Wikan menyebutkan bahwa tim kecil yang dimaksud adalah tim ad hoc dan anggotanya dipilih oleh mahasiswa yang belum dibahas lebih lanjut. Hingga pukul 18.00 WIB penandatanganan oleh dekan dan wakil dekan belum mencakup seluruh fakultas dan sekolah vokasi. Merespon hal ini, mahasiswa memutuskan untuk menginap di Gedung Pusat UGM sampai tuntutan mereka dipenuhi. Pagi hari (03-05) mahasiswa memutuskan menyudahi aksi dan akan mengadakan audiensi dengan rektor pada pekan depan (08-05).
Penulis: Cintya Faliana, Citito Audithio
Editor: Khumairoh