Senin (1-5), sekitar pukul 08.00 WIB, Tugu Yogyakarta dipenuhi oleh ratusan buruh dari berbagai Serikat Buruh. Mereka berasal dari Aliansi Buruh Yogyakarta (ABY), Sekolah Buruh Yogyakarta, Serikat Pekerja Seluruh Indonesia, Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia, Asosiasi Serikat Pekerja Indonesia, dan lain-lain. Pada aksi kali ini, mereka melakukan longmars dari Tugu menuju kantor DPRD Yogyakarta, dan akhirnya aksi berpuncak di Keraton Yogyakarta ketika mereka menyuarakan aspirasinya sebagai peringatan hari buruh.
Berbeda dengan aksi-aksi sebelumnya, aksi kali ini ditandai dengan adanya potong tumpeng sebagai simbol tradisi Slametan. Hal tersebut dimaksudkan, agar Sultan Hamengkubuwono X (HB X) mencabut Surat Keputusan (SK) Gubernur Nomor 235/KEP/2016 tentang Upah Minimum Kabupaten/Kota (UMK) yang dinilai masih rendah. Menurut Irsyad Ade Irawan selaku perwakilan dari Dewan Perwakilan Daerah Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia, bahwa upah yang diterima oleh buruh saat ini berkisaran antara Rp 1,3 juta sampai Rp 1,5 juta. âUpah tersebut hanya bisa untuk keperluan makan saja,â lanjutnya.
Kirnadi, Sekretaris Jendral ABY, menjabarkan bahwa dengan upah minimun sebesar itu, buruh tidak dapat memenuhi kebutuhan mereka akan tempat tinggal. Hal tersebut disebabkan, rata-rata tanah di Yogyakarta mengalami kenaikan harga. Misalnya, di daerah Godean rata rata per meter Rp 250 ribu per meter. Bahkan, di sekitar Jalan Magelang bisa mencapai Rp 1 sampai Rp 5 juta per meternya. Dengan demikian, Kirnadi menegaskan bahwa buruh tidak mungkin bisa membeli rumah.
Sugiarto, salah seorang buruh dari supermarket Giant Urip Sumoharjo mengamini perkataan dari Kirnadi. Dengan upah tersebut, buruh tidak mampu memenuhi seluruh penghidupan dirinya beserta keluarganya. Meskipun, ia telah menerima dana asuransi dari perusahaan, tetapi asuransi tersebut hanya bisa menutup soal kesehatan saja. âUntuk memenuhi dana pendidikan bagi anaknya, buruh tetap harus membanting tulang lebih keras,â keluhnya.
Rendahnya upah tersebut, menurut Irsyad, disebabkan karena adanya Peraturan Pemerintah (PP) nomor 78 tahun 2015. Dalam PP tersebut, serikat buruh tidak diikutsertakan dalam proses penentuan upah minimum. Parahnya lagi, Ia menjelaskan, pada proses penentuan upah minimum di Yogyakarta, pemerintah hanya berpatokan pada data dari Badan Pusat Statistik soal Kebutuhan Hidup Layak (KHL) yang diperbaharui setiap lima tahun sekali. âJika survei dilaksanakan lima tahun sekali, ia tidak bisa membaca konteks ekonomi per tahunnya,â ucap Irsyad. Seharusnya, dalam melakukan survei KHL dan penentuan upah minimum, serikat buruh diharuskan untuk ikut dan dilaksanakan satu tahun sekali.
Selain dalam pelaksanaannya, ketika pembentukan PP tersebut, serikat buruh juga tidak diikutsertakan. Pada akhirnya, mereka menuntut HB X di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) untuk mencabut SK tentang UMK dengan harapan agar mendapatkan upah yang layak. Namun, hasil putusan dari PTUN baru akan diumumkan pada 4 Mei mendatang.
Irsyad menceritakan bahwa di Yogyakarta, sebenarnya terdapat konsep âTahta Untuk Rakyatâ. Dalam konsep tersebut, HB X selaku Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta sudah seharusnya kembali berpihak pada rakyat, termasuk buruh. Mereka berharap, dengan dana keistimewaan sebesar Rp853,90 miliar, akan ada sedikit kucuran dana bagi buruh. Irsyad pun juga berharap agar ada distribusi tanah kepada para buruh untuk dijadikan rumah susun yang dapat dihuni oleh mereka dengan harga murah. âSehingga, dengan gelar Keistimewaan, buruh juga harus ikut istimewa dan diangkat derajatnya,â tutupnya. [Luthfian Haekal]