Jurnalisme data (data driven journalism) merupakan fenomena baru dalam dunia jurnalistik Indonesia. Wahyu Dhyatmika, Redaktur Eksekutif Majalah TEMPO, menjelaskan bahwa data yang dimaksud dalam jurnalisme data berupa kumpulan data yang terstruktur dan bisa dianalisis secara statistik oleh publik. Fenomena jurnalisme data lahir karena keterbukaan informasi.
Melihat hal itu, Satu Data Indonesia, sebuah program keterbukaan informasi yang diinisiasi oleh Kantor Staf Presiden Unit Kerja Presiden Bidang Pengawasan Pengendalian Pembangunan, mengadakan acara “Indonesian Data Driven Journalism (IDDJ) 2017”. Acara ini terselenggara di Ballroom Gedung Utama Lantai M Kantor Pusat PT Pertamina (Persero), Jumat (21-04). Acara ini juga diselenggarakan oleh PT Pertamina (Persero), Aliansi Jurnalis Independen, Jaringan Indonesia untuk Jurnalisme Investigasi, dan Perhimpunan Pengembangan Media Nusantara. IDDJ 2017 dibuka oleh Darmawan Prasodjo selaku Deputi I Kepala Staf Kepresidenan, lalu dilanjutkan dengan lightning talks, workshop, dan kompetisi jurnalisme data bertema “Pemanfaatan Data Terbuka untuk Kemajuan Energi Nasional dan Peningkatan Kualitas Hidup Masyarakat”.
Ramda Yanurzha, data scientist Research Triangle Institute, membuka sesi workshop dengan memaparkan tentang data scientist. Langkah-langkah yang dilakukan data scientist adalah memilih topik berdasarkan riset ada/tidaknya data, membentuk tim untuk menyelami data dan memahami konteks topik, serta membentuk tim desain yang akan berinovasi dalam memvisualisasikan data. Ia juga memaparkan bahwa jurnalisme data bukan hanya menghasilkan sebuah tulisan, tetapi sebuah produk yang akan memberi pengalaman bagi wartawan. Pengalaman yang dimaksud oleh Ramda adalah pengalaman dalam mencari, mengumpulkan, mengolah, menganalisis, dan mendeskripsikan data kuantitatif ke dalam sebuah tulisan, serta memvisualisasikannya dalam grafik. “Jurnalisme data adalah bagaimana kita membuat orang lain mengerti dan tertarik dengan karya kita,” ucap Ramda.
Contoh pemanfaatan jurnalisme data adalah rancangan aplikasi yang dipresentasikan oleh Yekhti Hesthi Murthi, Pemimpin Redaksi Independen.id, di sesi lightning talks bernama Traffic Accidents Area. Aplikasi tersebut mengumpulkan data lokasi kecelakaan dari publikasi media baik daring maupun cetak dan publikasi kepolisian. Data lokasi tersebut lalu ditandai di Google Maps sebagai daerah rawan kecelakaan. Informasi tersebut dapat digunakan oleh wartawan untuk melakukan in-depth reporting, oleh kepolisian dan pemerintah untuk kebijakan lalu lintas, serta menjadi informasi bagi masyarakat untuk meningkatkan kewaspadaan di daerah yang rawan tersebut.
Wahyu menjelaskan proses kerja jurnalisme data. Langkah pertama yang dilakukan adalah mengumpulkan data yang ada lalu dibersihkan (data cleaning). Misal, penamaan data provinsi Jakarta Barat yang ditulis “Jakarta Barat”, “Jakartabarat”, atau “Jakbar”. Setelah itu penyesuaian konteks, seperti penyesuain siapa, bagaimana, dan kapan suatu data dikumpulkan. Selain itu, sebuah data yang baik tidak hanya menggunakan satu kumpulan data saja, tetapi juga perlu dikombinasikan dengan kumpulan data lain. Baru kemudian seorang wartawan bisa mulai menulis.
Jurnalisme data dapat memunculkan empat narasi. Pertama, menguji kebenaran hipotesis. Misalnya, India Spend menggunakan data kemiskinan dan kejahatan dalam menguji hipotesis bahwa bukan hanya kemiskinan yang mempengaruhi tingkat kejahatan di suatu wilayah. Kedua, data juga dapat digunakan untuk melihat tren waktu, seperti melihat tren anggaran kesehatan selama sepuluh tahun. Ketiga, melihat outliers atau orang-orang yang “aneh”, seperti yang dilakukan oleh The Guardian dalam melaporkan anggota parlemen Inggris yang memiliki pengeluaran paling besar. Terakhir, melihat koneksi tidak tampak. Contohnya, Connected China yang melacak dan memvisualisasikan orang, institusi, dan hubungan yang membentuk struktur kekuasaan elit China dengan menggunakan data jaringan dari Reuter.
Menurut Wahyu, wartawan tidak bisa lagi sekadar mengandalkan wawancara untuk menulis sebuah berita. Sebab, hal itu sudah dilakukan dalam citizen reporting. Perkembangan media sosial mendorong citizen reporting di masyarakat. “Wartawan harus memikirkan ulang perannya di publik,” tutur Wahyu. Sayangnya, data terbuka yang digunakan dalam jurnalisme data belum tersedia di semua kementerian dan lembaga di Indonesia.
IDDJ 2017 dihadiri oleh pegiat media dan pers mahasiswa, umum, serta humas kementerian/lembaga. Kirana Rindu, salah seorang peserta perwakilan pers mahasiswa dari Universitas Pertamina angkatan 2016 mengungkapkan bahwa ia mendapat pengetahuan tentang manfaat, cara memilah, dan cara mendapatkan data terbuka saat mengikuti acara ini. “Apalagi, sebagai mahasiswa kita sering nyari-nyari data buat esai, nah acara ini memberikan informasi mengakses dan memilah data dengan pemahaman jurnalisme data,” ujar Kirana. [Sitti Rahmania]