Proses panjang Pemilihan Rektor UGM (Pilrek) telah usai dengan terpilihnya Prof. Ir. Panut Mulyono, M.Eng., D.Eng sebagai Rektor UGM 2017—2022 pada Senin, (17-04). Dilansir dari laman ugm.ac.id, hasil perolehan suara Prof. Panut unggul lima suara dari Prof. Ali Agus. Agenda Pilrek dimulai sejak pendaftaran nama calon pada Januari 2017, kemudian mahasiswa terutama yang tergabung dalam Keluarga Mahasiswa UGM mulai mengawal isu tersebut hingga saat ini.
Alfath Bagus, Presiden BEM KM UGM menyebutkan bahwa isu Pilrek merupakan salah satu simpul isu yang mampu menggerakkan mahasiswa secara kolektif. Di sisi lain, Hikari Ersada, Kepala Departemen Manajemen Opini Publik (MOP) Dema Fisipol 2015 menyebutkan bahwa awalnya sempat ada wacana boikot Pilrek. Wacana ini juga bertujuan untuk menegasikan suara Majelis Wali Amanat (MWA), yang merupakan turunan dari Perguruan Tinggi Negeri Badan Hukum (PTNBH). “35% suara MWA adalah perpanjangan tangan negara, dan mengapa pendidikan yang disasar?” terang Hikari.
Dilansir dari laman balairungpress.com, usaha awal yang dilakukan oleh MWA dari unsur mahasiswa bekerjasama dengan mahasiswa yang diwakili KM UGM untuk menyiapkan kontrak politik setelah usainya Forum Aspirasi pada (14-02). Hal tersebut dikuatkan oleh Husni Irfanda selaku koordinator Forum Advokasi UGM, bahwa semenjak awal Maret 2017 mereka bersama-sama melakukan kajian untuk menjamin aspirasi yang disampaikan oleh mahasiswa.
Kajian dan konsolidasi yang dilakukan kemudian membuahkan sebuah rumusan piagam, yang kemudian disebut sebagai Piagam Balairung. “Piagam Balairung merupakan hasil saduran policy brief yang dibuat oleh teman-teman Forum Kajian Strategi,” terang Dian Widyaningrum, Menteri Kajian Pendidikan Tinggi BEM KM. Lebih lanjut, Dian menjelaskan bahwa policy brief tersebut telah diserahkan kepada MWA, Senat Akademik, dan calon rektor pada saat Forum Aspirasi Masyarakat Universitas. Policy brief tersebut kemudian diteruskan pada saat konsolidasi di Fakultas Psikologi (11-04), untuk kemudian disepakati menjadi sebuah piagam.
Dian menjelaskan bahwa terdapat alasan dipilihnya bentuk piagam dibanding bentuk perjanjian formal lainnya, “Kontrak politik tidak memiliki kekuatan hukum yang pasti, karena semua bergantung pada political will. Sedang pakta integritas, dari segi isi seharusnya ia hanya memuat hal-hal yang bersifat moral. Tidak bisa memasukkan unsur-unsur kebijakan di dalamnya,” ungkap Dian. Ia menambahkan bahwa Piagam Balairung berusaha menggabungkan konsep kontrak politik dan pakta integritas di dalamnya.
Husni mengatakan bahwa piagam tersebut berisi beberapa poin tentang pelibatan mahasiswa dalam penetapan kebijakan yang bersinggungan dengan mahasiswa. Selain itu, terdapat juga kesanggupan rektor selama mengemban tanggung jawab yang nantinya akan ditandatangani oleh rektor dalam forum yang diadakan pada (13-04) lalu. Hal senada juga disampaikan oleh Ahmad Khinarto, Menteri Advokasi dan Kesejahteraan Mahasiswa BEM KM, bahwa adanya piagam tersebut untuk memperkuat bargaining position mahasiswa. “Adanya piagam tersebut sebagai penanda untuk memantau dan memastikan poin-poin yang tercantum akan dilaksanakan ketika mengemban amanah sebagai rektor,” jelasnya.
Sayangnya, piagam tersebut batal ditandatangani oleh ketiga calon rektor dalam forum yang telah ditetapkan oleh KM UGM. Dari tiga calon rektor yang ada, hanya Dr. Erwan serta Prof. Ali Agus yang setuju dan bersedia memenuhi undangan untuk hadir dalam forum dialog mahasiswa, serta menandatangani Piagam Balairung. “Pak Panut menolak karena beliau khawatir ajang ini justru menjadi ajang kontestasi politik yang pada akhirnya satu pihak menjelekkan pihak yang lain,” terang Alfath. Satu hari sebelum forum diadakan, Alfath menuturkan bahwa Prof. Ali membatalkan kehadirannya karena harus memenuhi undangan Menristekdikti di Jakarta. Praktis, hal tersebut semakin membulatkan keputusan untuk membatalkan forum.
Batalnya penandatanganan Piagam Balairung tak menyurutkan niat mahasiswa untuk mengkaji ulang dalam forum mahasiswa yang diinisiasi bersama tersebut. Alfath menyebutkan bahwa pada tanggal (28-04) mendatang akan diadakan sarasehan sebagai forum pengganti konsolidasi pada Kamis, (13-04) lalu. “Kita adakan evaluasi terkait dengan kepemimpinan rektor yang lama, kemudian doa bersama di selasar balairung,” tutur Alfath. Dihubungi di lain kesempatan, Ia menyebut bahwa perihal penandatanganan Piagam Balairung atau kontrak politik lainnya akan juga dibahas pada saat itu. “Akan kami berikan lagi kepada rektor terpilih setelah pelantikan nanti,” tulis Ahmad yang juga turut membuat poin dalam Piagam Balairung tersebut. Rektor terpilih selanjutnya akan dilantik oleh MWA pada (22-04) mendatang.
Namun demikian, Hikari menyayangkan konsolidasi serta yang selama ini hanya dihadiri oleh wajah-wajah yang relatif sama. “Dalam menjaring aspirasi, hingga memunculkan Piagam Balairung , seharusnya para inisiator benar-benar menarik isu yang ada pada setiap fakultas dan bergerak bottom up, sehingga isu bisa menguat dan tidak terkesan eksklusif,” pungkas Hikari. [Khumairoh, Krisanti Dinda]