“Panjang umur para hakim, panjang umur kegilaan!” pekik Butet Kertaredjasa di tengah panggung, mengakhiri prolognya. Tak begitu jauh dari tempat ia berdiri, tertata beberapa manekin berbahan rotan. Nampak bertengger sebuah papan bertuliskan “Pusat Rehabilitasi d/h Rumah Sakit Jiwa (RSJ) Sumber Waras”.
Sesaat kemudian, seorang pria berjas hijau dengan blankon di kepalanya memasuki panggung membawa sebuah map. Pria itu bernama Ngatimin, seorang hakim pengadilan tinggi yang sedang mengalami depresi. Dahinya berkerut, raut mukanya menggambarkan kebingungan sekaligus kesedihan. “Tolonglah saya. Saya tidak sanggup lagi menghadapi semua ini,” ucapnya memelas kepada dr. Menawi Diparani. Ngatimin memohon kepada Kepala Pusat Rehabilitasi d/h RSJ Sumber Waras itu agar dirinya diperbolehkan menjadi pasien pusat rehabilitasi.
Setelah membuka map berisi rekam medis Ngatimin, dr. Menawi setengah terkejut. Pasalnya, tak ada satu pun alasan yang membuatnya harus dirawat. Namun, Ngatimin bersikeras dan terus memohon kepada dr. Menawi. Sebagai hakim, ia mengaku tidak sanggup lagi menerima tekanan dari berbagai pihak yang membuatnya serba salah. “Saya merasa tak sekali pun pernah membuat keputusan yang keliru. Tapi ketika membuat keputusan yang tidak keliru, saya justru sering merasa keliru,” keluh Ngatimin.
Kisah Ngatimin membuka pertunjukan Teater Gandrik yang bertajuk “Hakim Sarmin” pada Kamis (30-03) malam. Pertunjukan yang digelar di Concert Hall Taman Budaya Yogyakarta itu dibuka dengan alunan musik gamelan. Tabuhan kendang, saron, dan pukulan gong bernuansa kontemporer mengiringi suara-suara ‘hak e hokya’. Sekelompok orang yang merupakan hakim berpakaian hijau ala pasien rumah sakit menari dengan lincahnya. Sambil menari, mereka melantunkan lagu bertempo sedang dengan penuh semangat.
Perjuangan kita pasti menang
Keadilan tegak, pasti menang
Kebenaran pasti menang
Kita semua pasti menang
Semua hakim sedunia pasti menang
Lagu ini merupakan bentuk perlawanan dari hakim-hakim yang dianggap gila. Para hakim memang telah terjangkiti penyakit kegilaan. Wabah kegilaan hakim yang menjalar ini melatarbelakangi pemerintah kota mendirikan Pusat Rehabilitasi d/h RSJ Sumber Waras.
Semakin lama keberadaan pusat rehabilitasi mengkhawatirkan karena banyak hakim yang ingin pensiun dini. Mereka dengan sukarela masuk pusat rehabilitasi dan tak mau keluar lagi. Mangkane, pemimpin kota merasa resah sebab kota dilanda kelangkaan hakim. Masuknya para hakim ke pusat rehabilitasi juga mengakibatkan anggaran belanja kota membengkak.
Dalam karya ini, Agus Noor, penulis naskah, mencoba mengajak masyarakat membayangkan sebuah dunia tanpa penegak hukum. Untuk membayangkan dampak dari kondisi ini, perkataan pakar hukum dari Belanda, B. M. Taverne dapat dijadikan rujukan. Dikutip dari jurnal Fenomena Mengabaikan Keadilan dalam Penegakan Hukum karya Suhardin, Taverne berkata, “Berikan aku hakim, jaksa, polisi, dan advokat yang baik, maka aku akan berantas kejahatan meski tanpa secarik undang-undang pun.” Artinya, tanpa penegak hukum yang berintegritas, undang-undang yang sudah dibuat tak akan mampu memberantas kejahatan.
Lebih lanjut, lakon ini juga menarasikan fenomena kegilaan hakim yang merupakan imbas dari tekanan para penguasa. Hukum sarat dengan kepentingan politik. Agaknya ini menjadi sebuah pengaminan terhadap pandangan para penganut aliran critical legal study. Dalam buku yang berjudul Hukum dalam Pelangi Kehidupan, Sudjito menjelaskan bahwa batas pemisah antara hukum dan politik sebenarnya tidak pernah ada. Setiap pembuatan, penyelenggaraan, maupun penegakan hukum, bukan murni untuk mengejar dan menegakkan keadilan. Di dalamnya tersembunyi agenda-agenda politik dari para aktor atau partai politik yang berkuasa.
Pun begitu, penguasa bukanlah satu-satunya pihak yang menimbulkan kegilaan para hakim. “Hakim gila juga dilahirkan dari masyarakat yang gila,” ujar hakim Sarmin, sang pemeran utama, dengan intonasi suara yang tegas. Dalam pentas, kegilaan masyarakat direfleksikan melalui kisah Sarmin, hakim legendaris yang menjadi gila setelah memutus sebuah perkara korupsi.
Suatu hari, sambil duduk di kursi panjang, Sarmin mengenang kisahnya di hadapan para hakim yang menjadi pasien pusat rehabilitasi. Mereka mendengarkan perkataan Sarmin dengan saksama, tak terkecuali Ngatimin. “Kawan Ngatimin masih ingat to? Dulu saya pernah membebaskan seorang jenderal yang diduga korup?” ucap Sarmin mengawali ceritanya. Kala itu, para aktivis dan mahasiswa berbondong-bondong melakukan demonstrasi besar-besaran. Mereka menghujat Sarmin sebagai hakim yang gila. “Mana pantas seorang terduga korupsi menduduki jabatan tinggi negara?” seru Sarmin menirukan teriakan para aktivis kala itu.
Selang beberapa tahun, lanjut Sarmin, sang jenderal diajukan kembali menjadi pejabat di posisi berbeda. Namun kali ini, masyarakat diam saja, tak melakukan perlawanan seperti sebelumnya. “Jadi, siapa yang sebenarnya gila? Hakim atau masyarakat?” Sarmin beretorika dengan nada suara tinggi. Jari telunjuknya menuding ke atas.
Dalam lakonnya, Sarmin juga menjelaskan bahwa kebenaran menurut hukum berbeda dengan kebenaran menurut masyarakat. “Kebenaran menurut hukum adalah kebenaran yang tidak lebih dan tidak kurang. Kebenaran menurut masyarakat bergantung pada kepentingan dan keadaan,” tutur Sarmin.
Konsep naskah “Hakim Sarmin” berawal dari keresahan Noor terhadap kondisi hukum Indonesia yang semakin carut-marut. “Yang benar menjadi tidak benar. Yang salah dicarikan argumen sehingga terlihat benar,” jelas Noor. Akibat carut-marut ini, siapa pun yang berurusan dengan hukum, jika tidak hati-hati akan menjadi pihak yang dipermainkan seperti boneka. Oleh karenanya, sang sutradara, Djaduk Ferianto, menambahkan manekin berbahan rotan sebagai representasi dari pihak yang menjadi korban permainan hukum.
Pentas yang mengadaptasi bebas cerita pendek Hakim Sarmin ini banyak mengandung satir atas ‘kegilaan’ penguasa dan masyarakatnya. Satir disampaikan melalui humor khas Gandrik yang banyak mengandung istilah jawa. Humor, seperti yang dikatakan Julianto Ibrahim dalam Teater Rakyat sebagai Kritik Sosial: Fungsi Humor dalam Seni Pertunjukan Lenong Betawi, diposisikan sebagai penampung aspirasi tidak resmi. Humor menjadi media untuk menyampaikan kritik sosial.
Usaha Gandrik tersebut diapreasiasi oleh Martini, penggemar setia Teater Gandrik. Menurutnya, Gandrik selalu menyuarakan isu-isu sosial. Pentas ini membuat masyarakat memikirkan kembali makna keadilan pada zaman sekarang. “Dia bilang keadilan dan kegilaan itu (seakan) satu, sulit dibedakan. Itulah kenyataan pada zaman sekarang,” pungkasnya. [Faizah Nurfitria, Pungky Erfika Suci]