Belasan anggota Aliansi Mahasiswa Papua (AMP) dan Front Rakyat Indonesia untuk West Papua (FRIWP) di Yogyakarta terlihat berkejaran dengan aparat kepolisian dan organisasi masyarakat (ormas), pada Jumat (07-04). Ormas tersebut diantaranya adalah Pemuda Pancasila dan Bergodo Prajurit Paksi Katon. Sekitar pukul 09.00, para peserta aksi tersebut tengah melakukan persiapan aksi di Foodcourt UGM. Awalnya, mereka berencana untuk menyelenggarakan aksi bertajuk “Tutup Freeport dan Berikan Hak Penentuan Nasib Sendiri bagi Rakyat Papua Barat” di Taman Boulevard, UGM. Namun, belum sempat melaksanakan aksi, mereka dihadang dan dipaksa bubar oleh beberapa anggota kepolisian dan ormas.
Danang, selaku anggota FRIWP, mengatakan bahwa setelah kegiatan penghadangan tersebut, beberapa polisi dan ormas berusaha merebut atribut aksi. Menurut Danang, perbandingan jumlah peserta aksi dengan penyerangnya tidak seimbang. Oleh sebab itu, mereka berencana untuk kembali ke foodcourt sambil menunggu peserta aksi lain yang akan datang.”Namun ketika kami berusaha mundur, kami mendengar ada seruan untuk mengejar dan menangkap kami. Akhirnya kami berlari,” jelas Danang.
Di depan ruang sekretariat Dewan Mahasiswa (Dema) Justicia FH, para peserta aksi berusaha berlindung sembari bercerita kepada mahasiswa perihal peristiwa yang baru saja mereka alami. Kemudian tiba-tiba pihak kepolisian datang menyerobot dan berteriak menuntut bukti surat tanda terima pemberitahuan aksi. Polisi juga berusaha membawa paksa mahasiswa yang diidentifikasi sebagai orang Papua. Sontak setelah kejadian tersebut, keadaan menjadi ricuh karena aksi tarik-menarik antar mahasiswa dan polisi kembali terjadi, seperti yang terekam di sini.
Bengriadi, selaku perwakilan dari Serikat Kebudayaan Masyarakat Indonesia, menyayangkan represi yang dilakukan polisi dan ormas. Menurutnya, surat pemberitahuan tersebut sebenarnya telah diberikan, tetapi polisi dan ormas tetap melakukan penyerangan. Emanuel Gobay, perwakilan dari Lembaga Bantuan Hukum membenarkan pernyataan tersebut. Menurutnya, tugas kepolisian seharusnya menjalankan fungsi penjagaan dan pengawalan terhadap kegiatan masyarakat seperti yang tertera dengan jelas dalam pasal 14 ayat 1a UU No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia dan peraturan perizinannya.
Gobay menjelaskan perihal kebebasan berpendapat di mimbar bebas juga sudah tercantum dalam UU No. 9 Tahun 1998 tentang kemerdekaan menyampaikan pendapat di muka umum. Dengan demikian, menurutnya, tindakan tersebut bahkan bisa dianggap sebagai kejahatan karena membatasi ruang gerak masyarakat untuk menyampaikan pendapat. Kekerasan dan represi semacam ini kerap dialami oleh masyarakat Papua yang ada di Yogyakarta ketika ingin menyuarakan isu penindasan di Papua. “Jika hal ini dibiarkan terus menerus, maka yang terjadi adalah pembodohan undang-undang perlindungan HAM dan demokrasi,” tegasnya.
Akhinya setelah peserta aksi dan pihak keamanan kampus bernegosiasi, mereka menyepakati bahwa aksi tersebut akan ditunda dengan beberapa syarat. Syarat tersebut adalah pembersihan kepolisian dan ormas dari area kampus, dan publikasi mengenai kronologi pembubaran aksi. “Untuk ke depannya semoga represi semacam ini tidak akan terjadi lagi,” harap Danang. [Citra Maudy, Khumairoh]