Pada tahun tahun 2013, seniman mural bernama Ismu Ismoyo dan Isrol menghasilkan karya yang sarat akan makna. Terletak di tepi Jalan Ngadinegaran, Mantrijeron, Yogyakarta, mural itu bertuliskan “Menanam Untuk Anak Cucu Kita”. Seolah mewujudkan karakter sang pelukis, garis-garis tegasnya membentuk gambar seorang laki-laki berbaju kuning dengan ranting pohon di tangannya. Lelaki itu digambarkan dengan senyuman yang lebar. Tak jauh dari gambar laki-laki itu, ada lukisan jendela terbuka yang dihinggapi seekor burung berkepala tengkorak. Di sisi atasnya, Ismu dan Isrol menambahkan lukisan beberapa bangunan pabrik lengkap dengan cerobong serta kepulan asap.
Kelahiran mural ini dilatarbelakangi oleh pandangan Ismu dan Isrol mengenai perubahan pola pikir anak muda terhadap pekerjaan menjadi seorang petani. Gambar seorang lelaki berbaju kuning itu adalah perwujudan dari seorang pekerja proyek bangunan. Ranting yang dipegangnya turut merepresentasikan bahwa pembangunan yang dilakukan berdampak pada berkurangnya pepohonan. Bagi Isrol, ide tentang gambaran perubahan itu juga berkaitan dengan kenangannya ketika pekerjaan petani masih didambakan oleh masyarakat di sekitarnya. “Ketika pertama kali ke Yogyakarta, saya masih sering melihat lahan persawahan yang luas, tapi sekarang tidak, ” jelasnya. Melalui mural tersebut, Isrol dan Ismu berharap siapapun yang melihat lukisannya tergerak untuk menanam guna memenuhi kebutuhan generasi yang akan datang.
Tidak berhenti di situ, karya Ismu dengan tema yang senada kembali hadir pada tahun 2016. Kali ini karyanya berada di Jalan Prawirotaman II, bersama dengan deretan mural buatan seniman lainnya. Terletak di lorong gang yang relatif sering dilewati warga, mural berumur kurang dari setahun ini menarik perhatian karena latar belakang batik yang ditampilkannya. Selain bertujuan untuk menghiasi jalanan, kehadiran mural-mural di sana turut mengiringi keberadaan hotel-hotel megah di sekitarnya.
Mural tersebut adalah bagian dari proyek seni bertajuk “MUTASI JAWA” sebagaimana yang tertulis di sudut kirinya. Dalam mural ini, Ismu menambahkan detail lukisan dengan potongan cerita di sebidang gambar uang bertulis “DUA PULUH RIBU RUPIAH”. Di bagian tengah, Ismu melukiskan seorang perempuan berpakaian kebaya yang menggendong bakul sambil menggengam ponsel di tangan kirinya. Selain itu Ismu juga melukis jajaran rumah panggung, seolah menggambarkan pemukiman di bantaran sungai.
Melalui mural ini, Ismu mengaku tengah menceritakan perubahan kebudayaan Jawa yang terjadi selama tahun 2010 sampai 2015, khususnya di Yogyakarta. Salah satu perubahan yang ingin ia sampaikan adalah alih fungsi lahan pertanian yang kini telah menjadi bangunan-bangunan. Ismu mengatakan bahwa idenya ini berangkat dari pengamatannya akan peningkatan jumlah hotel dan apartemen di Yogyakarta. Tak hanya soal peningkatan, Ismu mengamati bahwa beberapa pembangunan tersebut juga berujung pada konflik, seperti yang terjadi di Kulon Progo. Berbekal pengamatannya inilah, Ismu memberikan penekanan bahwa alih fungsi lahan pertanian berujung konflik itu berangkat dari kebutuhan akan uang. Oleh sebab itu, potongan-potongan cerita tersebut ia lukiskan pada sebidang gambar uang.
Selain terkait perubahan, Ismu juga ingin memberikan penegasan pada muralnya dengan karakteristik yang melekat pada budaya Jawa, yaitu batik. Berangkat dari hal tersebut, Ismu menggandeng seniman batik asal Wonosari bernama Guntur Susilo. Dengan mempertimbangkan bahwa pesan mengenai perubahan itu khususnya terjadi di Jawa, Guntur memilih motif parang dan kawung karena nilai filosofisnya. Kedua lelaki yang hobi bersepeda ini sepakat bahwa motif batik tersebut dapat melengkapi pesan yang hendak disampaikan, yaitu kesetiaan sebuah perjuangan terhadap nilai budaya Jawa. Bagi Guntur, batik merupakan bagian dari kebudayaan yang perlu dilestarikan. Oleh sebab itu ia beranggapan bahwa dengan melukiskannya melalui media mural, setiap orang akan berkesempatan untuk melihatnya setiap hari. “Dengan begitu ketika orang melihat mural ini setidaknya memori mereka mengenai batik sebagai bagian dari kebudayaan dapat kembali terbangun,” tambah Guntur.
Terkait dengan kedua mural di atas, Derajad Sulistyo Widhyharto selaku Dosen Sosiologi UGM melihat bahwa kehadiran mural-mural, utamanya di Yogyakarta, merupakan bagian dari sosial representasi dari ruang publik. Dengan kata lain, melalui kehadiran mural-mural itu, nilai dalam masyarakat Yogyakarta yang identik dengan kota seni tercermin dalam ruang publik yang ada. “Oleh karena Yogyakarta tercipta dari nilai multikultur, sehingga ruang publiknya juga akan merepresentasikan hal tersebut,” begitu tambahnya. Penjelasan ini turut mendukung konsep ruang publik milik Henri Lefebvre. Berdasarkan pemaparan Derajad, Lefebvre menggambarkan ruang publik dengan tiga fungsi yang berbeda. Ketiga fungsi tersebut adalah sosial representasi, representasi sosial dan spasial.
Namun tidak hanya menunjukkan bahwa nilai-nilai kesenian itu lahir dari masyarakat, kehadiran mural juga merepresentasikan permasalahan ruang publik dewasa ini. Seni mural itu sendiri dikategorikan sebagai street art karena para seniman mengekspresikannya di ruang milik publik utamanya di sisi-sisi jalan. Dalam pandangan Derajad, mural ini merupakan salah satu respon atas tidak adanya ruang yang cukup untuk berekspresi atau mengutarakan pendapat. “Oleh sebab itu, para seniman street art menghadirkan ruang publik itu sendiri melalui sebuah mural,” tambahnya.
Ide untuk menghadirkan ruang publik sendiri melalui media mural selaras dengan pandangan Ismu dan Isrol dalam memaknai seni. Bagi Isrol, seni merupakan media yang dapat digunakan oleh seseorang untuk mengomunikasikan gagasan dengan cara yang indah. Sedangkan Ismu memaknai seni sebagai buah pikiran manusia. “Seni itu segala sesuatu yang saya lakukan dan saya hidupi, juga hal yang sekaligus menghidupi saya,” tutur Ismu.
Ismu juga menceritakan bahwa selama proses pelukisan mural ia juga seringkali berdialog dengan warga setempat. Dialog tersebut terbentuk sejak proses negosiasi untuk mendapatkan izin menggambar sampai kontribusi ide atas apa yang hendak divisualisasikan. Dari keterbukaan warga itu, Ismu berharap bahwa toleransi masyarakat Yogyakarta secara umum akan mural itu tidak ikut berubah. Ismu optimis bahwa keterbukaan itu akan membawa masyarakat pada kesadaran. “Bagi saya pribadi, capaian dari seluruh mural yang pernah saya lukis adalah ia bisa diterima dan dihidupkan oleh masyarakat,” begitu jelasnya.
Bila ditilik dari motif Isrol dan Ismu melukis, perkembangan pelukis mural tidaklah bergantung pada individu melainkan dinamika yang terjadi di masyarakat. Oleh karena itu, Derajad berpandangan bahwa meskipun gagasan yang mereka sampaikan itu akhirnya ditindaklanjuti, kritisi tidak akan mati selama masih ada dimensi kekuasaan yang bisa dikritik. Namun, sekalipun tidak mendapat respons yang berarti, Derajad menganggap apa yang dilakukan seniman street art itu sebagai proses mengedukasi masyarakat. “Target mereka memang tidak langsung untuk mengkritisi rezim, tetapi harapan jangka panjangnya masyarakat bisa lebih kritis menghadapi perubahan,” jelas Derajad. Baginya dengan menjabarkan fenomena perubahan sosial melalui media mural, maka dalam jangka panjang masyarakat akan menangkap pesan yang ingin disampaikan. [Cintya Faliana, Citra Maudy]