“Di luar kita, orang-orang hanya akan mempertanyakan mengapa lampu itu bisa dimaling. Padahal, kita sendiri tidak tahu.”
“Peristiwa kemalingan memang selalu aneh seperti ini, bu.”
“Lalu bagaimana ini, pak? Apa yang harus kita katakan ke Mas Bagus nanti?”
Lima kursi plastik biru terlihat berserakan di tengah Auditorium Institut Français d’Indonésie atau Lembaga Indonesia Prancis (IFI-LIP) Yogyakarta pada Selasa (21-2) malam. Empat di antaranya diduduki oleh sepasang suami istri dan dua orang anaknya, berdebat akan lampu di ruang tengah yang hilang. Mereka beradu argumen tentang siapa yang mengambil lampu warisan keluarga tersebut. Puluhan orang duduk berundak di hadapan mereka, menyaksikan pertengkaran empat tokoh dalam pementasan bertajuk “Kemalingan” ini.
“Kemalingan” adalah sebuah bentuk pementasan tahunan dari anggota Teater Gadjah Mada (TGM). Pementasan berdurasi kurang lebih satu jam ini bercerita tentang sebuah keluarga yang beranggotakan Iswandi dan Lastri sebagai suami istri, serta kedua anaknya, Tyas dan Udin. Latar cerita ini bertempat di rumah orang tua Lastri yang saat ini menjadi tempat tinggal keluarganya.
Pementasan dimulai saat cahaya lampu menyoroti Lastri yang berdiri dengan gelisah di tengah panggung. Ia memandang ke hampanya langit-langit rumah yang dulu dihiasi sebuah lampu warisan dari sang bapak. Setelah itu, cahaya lampu panggung berkedip bergantian mengiringi seruan Lastri kepada keluarganya. Dengan panik, Lastri menanyakan keberadaan lampu warisan tersebut. Namun, tidak satupun dari mereka yang tahu.
“Coba kita punya rumah sendiri,” ucap Lastri dengan ketus, menyiratkan bahwa lampu itu tidak akan menjadi tanggung jawab mereka apabila mereka tidak tinggal di rumah orang tuanya. Setelah terdiam beberapa saat, Iswandi menggenggam tangan Lastri dan mengatakan bahwa sebentar lagi mereka akan memiliki rumah mereka sendiri. Kedua anaknya meninggalkan ruangan itu tidak lama kemudian, menyisakan orang tuanya yang saling berselisih paham tentang rumah.
Latar panggung kemudian berubah menjadi ruang makan dengan meja oval yang dikelilingi lima buah kursi. Diiringi alunan gitar dan denting piano, Bagus dan Iwan, kakak dan adik Lastri, melihat sekeliling ruangan dan mengenang masa lalu. Bersama dengan istri Bagus, Yani, mereka kembali ke rumah yang telah mereka tinggalkan selama delapan tahun itu. Berkumpulnya keluarga ini bertujuan untuk membicarakan pembagian kepemilikan rumah peninggalan orang tua mereka.
Secara mengejutkan, Bagus mengabarkan bahwa rumah itu akan diserahkan sepenuhnya untuk keluarga kecil Lastri. Namun, selain itu ia juga meminta lampu yang diwariskan sang bapak kepadanya untuk dikembalikan. Sambil sesekali melihat ke arah suaminya, Lastri gugup untuk menjawab. Kemudian secara perlahan, lampu kuning yang sejak awal menerangi panggung meredup menjadi kebiruan. Musik berdengung dengan nada yang meninggi, hingga akhirnya Lastri menguak kenyataan bahwa lampu tersebut telah dimaling. Dengan wajah yang memerah, Bagus bangkit dari kursinya dan membentak, “Mengapa lampu itu bisa dimaling?!”
TGM memilih judul “Kemalingan” karena bagi tim kreatif pementasan, kehilangan sesuatu merupakan kejadian yang dekat dan pernah dialami oleh hampir semua orang. Setelah memilih tema tersebut, mereka memutuskan untuk tak hanya menampilkan peristiwa kehilangan, namun juga menambahkan suatu nilai di balik kehilangan tersebut. TGM kemudian bersepakat memilih lampu sebagai barang yang dimaling. Lampu itu kemudian tak hanya menjadi sebuah barang warisan, melainkan mengandung makna yang membuatnya spesial bagi keluarga tersebut.
Makna tersebut tampak ketika Iwan menengahi pertengkaran kedua saudaranya. Lalu, ia menyatakan makna sesungguhnya dari lampu tersebut. “Bapak hanya ingin mas sebagai anak tertua bisa menjaga keharmonisan keluarga ini,” ujar Iwan kepada Bagus yang telah kehabisan kesabaran. Dengan bahu bergetar dan suara yang tercekat isak tangis, Lastri menimpali Iwan dengan perlahan, “Sebenarnya, lampu itu telah lama menghilang di antara kita.”
“Lantas apakah kita benar-benar bisa menemukan lampu itu di antara kita?” tanya Iwan lagi, entah kepada siapa. Pertanyaan itu terlontar di udara, meninggalkan keluarga besar ini di tengah keheningan. Pada akhirnya, pertanyaan itu memang tidak terjawab. Bagus dan Yani memilih meninggalkan Iwan dan keluarga Lastri di ruang makan. Pementasan akhirnya ditutup perlahan dengan alunan gitar di latar, dengan sebait lagu yang seolah-olah merangkum keseluruhan pementasan ini, “Mana, oh di mana, sebuah lampu yang menerangi? Mana, oh di mana, sebuah lampu yang pernah ada?”
Bagi Dharma Satya selaku asisten sutradara “Kemalingan”, penggalan bagian akhir pementasan ini tak hanya merupakan puncak, namun juga pusat dari “Kemalingan”. Makna ini pun dimengerti oleh Haryo Bagas Narendra, salah satu penonton yang hadir. Menurutnya, kehilangan materi tidak lebih penting dibandingkan kehilangan nilai di balik materi tersebut. “Seperti ketika mereka kehilangan lampu, sesungguhnya yang ditekankan adalah kehangatan dan kebersamaannya,” ujar mahasiswa Manajemen Kebijakan Publik ‘15 ini.
Pascal Caboet selaku penulis naskah sekaligus sutradara “Kemalingan” mengaku bahwa lampu sebagai benda yang dimaling ini awalnya tidak memiliki arti apapun. Alasan lampu dipilih hanyalah karena ia bukan merupakan barang yang lazim untuk dimaling, sehingga ia memiliki keunikan tersendiri. Namun, ketika dihadapkan dengan narasi mengenai keluarga, lampu tersebut kemudian menjelma sebagai representasi kehangatan dan keharmonisan keluarga.
Tim kreatif pementasan juga memutuskan untuk mengaitkan peristiwa kemalingan dengan absurditas. Menurut Caboet, peristiwa kemalingan adalah sesuatu yang absurd, sulit untuk dipahami. Motif pelakunya mungkin dapat terjelaskan, tetapi peristiwa itu sendiri yang sulit untuk dipahami. Selain itu, respons orang lain terhadap peristiwa kemalingan selalu berupa pertanyaan seputar mengapa benda itu bisa dimaling, atau mengapa ia bisa hilang. Padahal, pihak yang dimaling tentu tidak tahu. Orang mungkin bisa berasumsi, tetapi tidak ada yang tahu kebenarannya. “Kalau kita bisa menjawab, berarti nggak jadi dimaling dong. Bagi kami itu absurd,” jelas Caboet. Dharma juga menambahkan bahwa unsur absurditas itu bertambah ketika pembahasan mengenai peristiwa itu berlangsung berulang-ulang.
Namun, adanya makna pada lampu dalam pementasan ini membuat konsep absurditas yang ingin dihadirkan menjadi tidak berarti. Referensi Caboet untuk absurditas diambil dari pemikiran Albert Camus, seorang penulis asal Prancis. Dalam kumpulan esai The Myth of Sisyphus (1955), Camus menyatakan gagasannya tentang absurditas hidup. Manusia selalu mencari alasan hidupnya, padahal sesungguhnya hidup sendiri tak memiliki makna. Oleh karena itu, apapun yang manusia lakukan untuk mencari makna hidup, pada akhirnya akan berujung pada kesia-siaan. Lantas, hal yang dapat dilakukan dalam menghadapi ketiadaan makna hidup adalah dengan mengakui, menerima, dan menghidupinya. Itulah mengapa Camus menyatakan bahwa hidup adalah absurd.
Akan tetapi, absurditas yang digambarkan Camus tidak mendapatkan wujudnya dalam pementasan ini. Absurditas dalam pementasan ini hanya dimaknai Caboet sebagai pengulangan respons orang-orang terhadap setiap peristiwa kemalingan. Sedangkan, absurditas yang digambarkan Camus melalui The Myth of Sisyphus tidak bermakna sesederhana sebagai pengulangan suatu tindakan semata. Sehingga, analogi kisah Sisifus dengan pementasan ini tidak dapat dicocokkan.
Jika diandaikan pencarian terhadap lampu merupakan pencarian terhadap makna hidup, analogi ini malah menjadi tidak selaras dengan konsep absurditas. Sebab lampu itu memang telah memiliki makna, yaitu keharmonisan dan kehangatan keluarga besar Lastri. Hal ini tergambar dengan jelas oleh pernyataan Iwan kepada Bagus, “Tidak ada sesuatu tanpa maksud, begitu juga lampu warisan dari bapak.” Sedangkan konsep absurditas hidup, menekankan pada ketiadaan makna hidup itu sendiri. Jadi, kedua gagasan Camus terkait hidup Sisifus ataupun ketiadaan makna hidup tidak terlihat sama sekali dalam pementasan ini. Walaupun begitu, Caboet tetap membebaskan penafsiran penonton terhadap pementasan yang ia sutradarai. “Kami pada akhirnya mengembalikan pemaknaan pementasan ini kembali kepada penonton,” pungkasnya. [Monica Bening, Oktaria Asmarani]