Kamis lalu (16-02), UGM menggelar wisuda periode II 2016/2017. Seperti biasa kabar soal wisuda segera menjadi berita mutakhir dalam laman ugm.ac.id. Saya pun memutuskan untuk cepat-cepat membaca berita tersebut lantaran kepo apa sih yang diucapkan rektor dalam pidatonya di hadapan wisudawan/ wisudawati. Ahay, saya pun terkesima dengan pemilihan judul berita wisuda hari itu, “Rektor UGM Ajak Alumni Tidak Menyebar Berita Hoax”. Dengan tegas ia mengajak segenap alumni untuk tidak menyebar berita palsu alias hoax. Pasalnya, berita yang tidak bisa dipertanggungjawabkan kebenarannya tersebut bisa meresahkan sebagian masyarakat. “Jangan mudah terpengaruh hoax apalagi ikut serta menyebarkannya,” ucapnya.
Loh-loh, lantas apa yang membuat saya terkesima? Bukannya itu pernyataan yang baik sebagai upaya seorang pimpinan universitas untuk mengingatkan para lulusannya? Sebentar, saya akan utarakan duduk permasalahannya. Sepintas ucapan Bu Rektor ada yang aneh, tak biasanya ia berpidato soal kegaduhan politik bangsa, pidatonya biasanya selalu berbicara soal competitiveness, world class university, penggunaan teknologi, daya saing di dunia kerja serta anasir lain pendidikan tinggi ala neoliberal lainnya. Tampaknya ia memang benar-benar resah dengan perkara bangsa yang mudah dihasut oleh berita hoax. Ia galau melihat bangsa ini semakin tak rasional lantaran mempercayai situs hoax.
Saking resahnya, ia sampai lupa pernah menjadi pengujar hoax. Ya, ia memiliki pengalaman sebagai pembuat sekaligus penyebar hoax yang lihai. Ketika publik lebih mengenal Jonru atau Buni Yani sebagai hoax maker kontemporer, ahay, mahasiswa UGM lebih dahulu mengenal rektornya sendiri sebagai pembuat hoax. Oleh karena itu, orang luar UGM perlu tahu bahwa rektor kampus yang mencetak Jokowi ini pernah membuat hoax.
Ceritanya begini, pertama kali Bu Rektor membuat hoax tatkala melakukan siaran radio di Swaragama FM pada 1 Mei 2016. Kala itu ia mengatakan bahwa UGM pada 2 mei 2016 akan melakukan simulasi demonstrasi dengan melibatkan seluruh mahasiswanya. Katanya waktu itu, UGM memberi kesempatan bagi mahasiswa untuk ikut terlibat dalam kegiatan ini sebagai ajang latihan politik praktis yang dipelajari di perkuliahan. “Ke depan mereka ini kan menjadi pemimpin bangsa, pemimpin DPR, MPR, presiden, menteri. Jadi harus dilatih sejak awal, nah cara latihannya seperti ini. UGM sebagai wahana untuk training, melatih cara berpolitik praktis,” kata Dwikorita seperti yang dikutip dari Detiknews.
Padahal kabar hoax ini ia buat sebagai tameng untuk membuat framing aksi mahasiwa UGM yang diadakan tepat pada hari pendidikan nasional itu seolah-olah memang sengaja direncanakan oleh pihak UGM. Alias bukan atas inisiatif massa mahasiswa. Jahat betul bukan? Ya memang jahat, celakanya klaim Bu Rektor itu menjadi bumerang untuk dirinya sendiri.
Pernyataan yang hoax itu semakin menambah amarah mahasiswa UGM. Di malam itu juga sumpah serapah menghiasi linimasa sosial media. Namun, ternyata pernyataan rektor juga berjasa menambah jumlah massa aksi yang datang untuk berdemonstrasi di depan Gedung Rektorat UGM pada hari pendidikan itu. Pada saat itu, ribuan massa aksi yang geram karena aksinya hanya direndahkan sebagai simulasi aksi oleh Bu Rektor tak henti-hentinya meluapkan emosinya. Sayangnya, tekanan massa aksi tak kunjung membuat Bu Rektor menarik pernyataannya yang hoax itu. Di hadapan wartawan, Bu Rektor tetap bersikukuh kalau demonstrasi kali ini memang settingan dari pihak UGM.
Pertanyaannya kemudian adalah mengapa seorang rektor bisa mengeluarkan pernyataan bohong? Bukankah pernyataan hoax itu identik dengan watak politisi nan culas? Bukankah seorang intelektual memang boleh salah, namun tak boleh berbohong? Ternyata, mengeluarkan pernyataan hoax memang tak pandang status. Siapa saja bisa berbohong. Hoax bisa lahir dari mulut seorang yang polos, maupun orang yang lihai dalam bersilat lidah.
Mengapa orang cendurung menyukai hoax atau kabar bohong? Riset yang dilakukan oleh Robert Feldman, psikolog dari University of Massachusetts menunjukkan bahwa kebohongan memiliki keterkaitan dengan kepercayaan diri. Saat kepercayaan diri seseorang terancam, ia akan dengan mudah berbohong.
Selanjutnya, David Gibson, seorang profesor sosiologi dari University of Notre Dame, menyebut bahwa kabar bohong dibuat dalam satu jaringan sosial untuk menjaga kepentingan. Kadang secara sadar seseorang menyebarkan kebohongan untuk membantu agenda yang dibuat. Profesor Gibson menyebut korporasi, lembaga negara, dan militer kerap membuat propaganda kebohongan agar kepentingan mereka bisa terjaga.
Hal serupa yang kemudian ditiru oleh Bu Rektor. Ia berbohong lantaran kepercayaan dirinya sebagai rektor terancam. Ia merasa terancam lantaran akan ada rencana aksi besar-besaran yang dilakukan oleh mahasiswa UGM. Ia khawatir aksi besar-besaran itu akan memperburuk citranya, sekaligus citra UGM sebagai salah satu kampus besar nan terbaik se-Indonesia. Tentunya ia akan malu jika ada demonstrasi yang menganggu stabilitas di UGM. Sederhananya, adanya demonstrasi otomatis menandakan sedang ada yang salah pada UGM di bawah kepemimpinannya.
Maka dari itu agar kepentingannya sekaligus kepentingan nama baik UGM terjaga, ia pun membuat hoax dan menyebarkannya via radio kampus Swaragama FM serta jejaring media nasional yang telah ia ‘kondisikan’. Berkat kabar hoax ini, tak sedikit orang-orang di luar UGM yang percaya bahwa aksi demonstrasi mahasiswa UGM hanyalah simulasi demonstrasi alias settingan yang dibuat oleh pihak rektorat UGM. Bu Rektor dengan citranya sebagai seseorang yang polos dan intelektual papan atas ini sukses meyakinkan pihak di luar UGM bahwa kebohongannya dipercaya sebagai realitas yang benar-benar terjadi.
Barangkali ucapan Rocky Gerung ada benarnya, “Pembuat hoax terbaik adalah penguasa.” Mereka memiliki seluruh peralatan untuk berbohong. Penguasa punya banyak alat untuk berbohong seperti data statistik maupun media. Tapi itu fakta bahwa hanya penguasa yang mampu berbohong secara sempurna.
Lantas apa hikmah yang dapat petik dari Bu Rektor dan kebohongannya itu? Pertama, kepada setiap penguasa kampus, tindakan Bu Rektor UGM patut anda tiru. Jika anda merasa terancam oleh rencana demonstrasi oleh mahasiswa anda, segerakanlah membuat hoax dan sebarkanlah ke beberapa penjuru. Kedua, kepada para wisudawan/wisudawati yang mendengar pidato tentang hoax dari Bu Rektor lalu, saya ucapkan selamat, karena anda semua telah diperingati untuk mejauhi berita hoax oleh sang pembuat hoax terbaik se-UGM. Sampai saat ini pun, ia belum mengakui kebohongannya sendiri.
Oleh Badrul Arifin
Mahasiswa Manajemen Kebijakan Publik Fisipol UGM ‘13