“Sekarang yang kita hadapi bukan perusahaan tambang atau kasus Kendeng, tetapi rezim pengetahuan,” tutur Hendra Tri Ardiyanto selaku penulis buku “Konflik Pembangunan Pabrik Semen di Rembang” pada Selasa sore (14-02) saat mengisi diskusi MAP Corner-Klub MKP. Diskusi yang bejudul “Konflik Pembangunan Pabrik Semen di Rembang” dihadiri oleh puluhan peserta yang terdiri dari mahasiswa tingkat S1, pascasarjana dan masyarakat umum. Diskusi yang berlangsung di Lobby Magister Administrasi Publik Fisipol UGM unit 2 Sekip juga menghadirkan Rikardo Simarmata, dosen Hukum Agraria dan Adat UGM sebagai pemantik diskusi.
Hendra menuturkan bahwa perjuangan melawan rezim pengetahuan adalah perjuangan yang sulit. Hendra menyebutkan, hal ini dikarenakan adanya oknum akademisi yang mengkhianati keakademikaannya pada rezim tambang. Ia mengakatan bahwa mereka yang membentuk pola pikir jika tambang ini dapat menyejahterakan dan tidak merusak.”Hari ini kita tidak hanya menghadapi elit-elit kapital, tapi juga cara berfikir,” ujarnya.
Menurut Hendra, para akademisi tidak bisa terang-terangan ketika membicarakaan mengenai isu tambang. Ia menuturkan mereka cenderung bermain aman dan tidak berani mengatakan kebenarannya. Kekacauan berfikir para akademisi inilah yang menurut Hendra mesti dilawan “Ketika berhadapan dengan negara dan rezim tambang, para akademisi melipir dalam berargumentasi, melipir dalam setiap pendapat,” ucapnya.
Hendra menegaskan dalam melihat kasus Kendeng atau Rembang tidak bisa dilihat sebagai masalah yang hanya ada di daerah tersebut. Permasalahan ini memiliki korelasi dengan kekacauan tambang yang ada di Indonesia. Hal ini disebabkan oleh para pejabat negara yang tunduk kepada pemilik tambang. “Tidak hanya para pejabat yang mengelola negara kita, tetapi juga rezim peradilan,” tuturnya.
Iko, aktivis Jaringan Masyarakat Peduli Pegunungan Kendeng yang juga salah satu peserta diskusi berkata bahwa keberadaan tambang selalu ditopang oleh rezim pengetahuan. Iko berpendapat rezim ini memberikan afirmasi bahwa tambang dapat menyejahterakaan rakyat, mesti kenyataannya sebaliknya. “Kami yakin bahwa rezim pengetahuan membentuk imaji sosial yang membentuk konstruksi ideal masyarakat tentang hal-hal yang boleh dan tidak boleh dilakukan,” tambahnya.
Arif Novianto, selaku pegiat MAP Corner-Klub MKP menuturkan bahwa diskusi ini bertujuan untuk membuka fakta miris dibalik dunia tambang yang dianggap mampu menyejahterakan masyarakat. Ia menambahkan bahwa penting bagi masyarakat untuk paham mengenai permasalahan tambang yang terjadi. “Saat ini, banyak dari masyarakat belum tahu tentang konflik pabrik semen di Rembang. Hal ini kita bahas secara kritis agar masyarakat bisa menilik apa yang sedang terjadi,” jelas Arif.
Dalam menghadapi rezim pengetahuan, Hendra mengajak para akademisi untuk bisa berdedikasi merubah pola pikir dalam jalur akademik. Hendra menyebutkan, perlawanan melalui jalur akademik ini bisa dalam bentuk menghasilkan banyak tulisan yang tidak memihak pada kelaliman, “Jadi sebagai akademisi, kita harus adil sejak dalam pikiran, karena yang kita hadapi ini rezim pengetahuan,” pungkasnya.[Muhammad Irfan Hafidh, Ozi]