Universitas merupakan tempat bagi para akademisi untuk melakukan kegiatan akademiknya secara bebas. Kebebasan akademik Universitas Gadjah Mada (UGM) diatur dalam Surat Keterangan (SK) Majelis Wali Amanat (MWA) UGM Nomor 4 Tahun 2014 tentang Organisasi dan Tata Kelola (Governance) UGM pasal 32, 33 dan 34. Muhsin Al Anas, selaku Anggota MWA UGM Unsur Mahasiswa menjelaskan bahwa kampus harus menjamin kebebasan akademik karena sudah tercantum di dalam statuta. “Seumpama sudah tertulis di statuta yang merupakan peraturan tertinggi universitas, tentunya kampus sebagai lembaga hukum harus menaati statuta itu,” ujarnya.
Statuta ini seharusnya melindungi semua kegiatan akademik di UGM, namun pembatalan terhadap kegiatan masih saja terjadi. Contohnya diskusi Unit Penalaran Ilmiah Interdisipliner (UPII) tentang Himpunan Mahasiswa Gay (HIMAG). Pembatalan acara yang terjadwal pada Sabtu (20/10) dilakukan oleh Forum Umat Islam (FUI) di gedung Rektorat UGM. Padahal, menurut Wahyu Nurbandi selaku penanggung jawab acara, diskusi ini membahas HIMAG dalam skripsi salah satu mahasiswa UGM. Dari pihak UGM seperti tidak ada usaha untuk melindungi diskusi tersebut. “Bisa saja pertimbangan pembatalan itu adalah nama baik UGM, atau mungkin keamanan daripada terjadi keributan,” terang Wahyu.
Sebelum itu, pada tanggal 4 Oktober 2016 Magister Administrasi Publik (MAP) Corner mengadakan diskusi bertajuk “Ekonomi Politik Indonesia Pasca-Peristiwa Gestok 1965”. Diskusi ini mengundang aktivis dari Yayasan Penelitian Korban Pembunuhan 1965/1966 (YPKP 1965/1966) dan Budiawan selaku Dosen Kajian Budaya dan Media Pascasarjana UGM sebagai narasumber. Saat diskusi dimulai, organisasi masyarakat seperti Pemuda Pancasila, Paksikaton, Faqih, Bela Negara, Gerakan Pemuda Ka’bah (GPK) dan sebagainya mulai berdatangan, bahkan mengikuti diskusi. Menurut Alih Aji Nugroho, salah satu penggiat MAP Corner, peristiwa ini merupakan upaya untuk mengintimidasi narasumber atau pemantik diskusi. “Namun selama diintimidasi, kegiatan diskusi masih berjalan,” tambah Alih.
Adanya intervensi dari pihak luar kampus membuat para akademisi, khususnya mahasiswa mempertanyakan keberadaan kebebasan akademik. “Kampus memiliki ruang otonomi untuk berbicara berbagai ideologi. Kita berbicara tentang kapitalisme, sosialisme, atau komunisme, tetapi tidak langsung mempercayai ideologi itu,” tutur Alih. Sedangkan Badrul Arifin selaku Pimpinan Dewan Mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIPOL) UGM Bidang Advokasi dan Opini Publik mengatakan bahwa kampus seharusnya mampu menjaga kebebasan akademik. “Tetapi kampus seolah-olah membiarkan bahkan menyuruh unit kegiatan mahasiswa dan lembaga eksekutifnya untuk tidak melakukan diskusi yang sifatnya tabu,” tuturnya.
UGM sendiri tidak pernah membatasi kebebasan akademik dan kebebasan mimbar akademik bagi para akademisi. Namun, UGM mengharapkan agar kebebasan itu dilandasi oleh tanggung jawab. “Akademisi juga dituntut memiliki kebijaksanaan dalam membagikan hasil kerja akademiknya di tengah masyarakat, supaya tidak menimbulkan kegelisahan,” tukas Dr. Iva Ariani, S.S., M.Hum., selaku Kepala Bagian Hubungan Masyarakat dan Protokol UGM. Hasil kerja akademik memang harus terpublikasi ke masyarakat, namun dengan pendekatan yang perlahan-lahan.
Menurut Iva, UGM telah menjalankan perannya untuk menjamin kebebasan akademik dan kebebasan mimbar akademik bagi seluruh akademisi. Akan tetapi, ia mengakui bahwa UGM masih terus memperbaiki kualitas penjaminan tersebut. Hal ini bertentangan dengan Badrul yang merasa UGM belum memiliki keseriusan untuk menjaga kebebasan akademik di kampus. Walaupun Prof. Ir. Dwikorita Karnawati, M.Sc., Ph.D. selaku Rektor UGM sempat menyatakan bersedia menjaga kebebasan akademik UGM di media massa, tetapi penggagalan kegiatan mahasiswa tetap terjadi. Pernyataan Rektor ini dikeluarkan bersamaan dengan kecaman kepada kelompok intoleran yang menggagalkan pemutaran film Senyap di FISIPOL pada 2014 lalu. Namun, setelah itu tidak ada upaya konkret lagi.
FISIPOL adalah salah satu fakultas yang telah mengalami sejumlah penggagalan kegiatan mahasiswanya. Menurut Dr. Erwan Agus Purwanto, M.Si. selaku Dekan FISIPOL, UGM belum sepenuhnya menjaga kebebasan akademik. Hal ini dikarenakan masih adanya mahasiswa yang merasa kebebasan akademiknya belum terlindung. Dalam menjaga kebebasan akademik di fakultasnya, Erwan mengaku bahwa selama ini FISIPOL merancang upayanya sendiri. Misalnya, berkoordinasi dengan Satuan Keamanan dan Keselamatan Kampus UGM untuk mengamankan acara. Ia menambahkan bahwa upaya mandiri fakultas ini dikarenakan tidak adanya prosedur tetap terkait hal ini dari pihak universitas. Prosedur ini dibutuhkan oleh akademisi, terutama dalam keadaan darurat. “Kalau terjadi kasus misalnya kami diancam, itu bagaimana mekanisme koordinasinya? Apa bentuk penjaminan dari universitas? Itu tidak ada di sistem. Jadi kami kreatif sendiri,” tambahnya.
Tanggapan serupa juga datang dari Muhsin. Menurutnya, Rektorat harus memiliki perhatian terhadap penjaminan kebebasan akademik. Peraturan lebih detail mesti dibuat sebab SK MWA hanya mengatur kebebasan akademik secara umum. “Harus dikuatkan oleh peraturan rektor. Di statuta memang disebutkan, tetapi penjabarannya seperti apa? Apakah memang baru dipikirkan ketika ada kasus? Padahal kasus kan sudah banyak,” ucapnya.
Eko Prasetyo selaku pendiri Social Movement Institute menyatakan bahwa akan banyak dampak yang muncul jika kebebasan akademik tidak dilindungi. Salah satunya adalah tidak adanya tapak kemajuan karena kampus merupakan tempat gagasan bertransformasi. Apabila kampus tidak menjaga kebebasan mengembangkan gagasan, maka tidak akan ada mahasiswa yang bisa menjadi agen perubahan sosial. “Bila kebebasan akademik itu tidak dilakukan, akan lebih banyak mudaratnya. Sekarang terbukti, toh? Kampus kita tertinggal, dunia akademiknya kurang, ide-idenya ketinggalan jauh,” paparnya. Ia juga menambahkan bahwa selama dalam lingkup memproduksi, mengonsumsi dan mengekspresikan pengetahuan, kebebasan akademik mutlak untuk dijaga.
Eko berharap agar kampus senantiasa melindungi diri dari intervensi pihak-pihak yang akan menyerang kebebasan akademik. Ia pun meminta agar mahasiswa tidak berhenti untuk melakukan diskusi dan kegiatan non akademik lainnya di luar ruang kelas. “Semakin dilarang semakin diterjang lah,” tuturnya. Sependapat dengan Eko, Erwan berharap kurangnya perlindungan dari pihak kampus tidak membuat mahasiswa takut berpikir bebas. Baginya, akan sulit berharap Indonesia untuk maju tanpa adanya kebebasan berpikir. Mahasiswa mesti diberi ruang untuk mendiskusikan hasil kebebasan berpikirnya, sebab itulah metode kerja akademisi untuk menghasilkan gagasan-gagasan baru. Jadi menurut Erwan, memang sudah saatnya UGM tegas mempertahankan kebebasan akademiknya. “Kalau tidak, nanti orang lain mendikte apa yang harus Anda ucapkan, mendikte apa yang harus Anda pikirkan,” tutupnya. [Muhammad Irfan Hafidh, Ni Nyoman Oktaria Asmarani]