Kloning muncul kembali dengan bahasan barunya. Dahulu ia digunakan sebagai penyempurna gen tetapi kini kloning berubah menjadi alat pemuas hasrat psikologi. Saat ini, kemunculannya menuai berbagai tanggapan dari berbagai pihak baik positif maupun negatif.
Kini, istilah kloning kembali menghangat setelah sebuah video pada kanal Youtube Techinsider menjadi viral. Techinsider mengunggah sebuah kisah mengenai seorang yang berhasil âmenghidupkanâ kembali anjingnya yang telah mati dengan pergi ke Korea Selatan. Hal yang dianggap mustahil untuk dilakukan ini menjadi suatu bahan perbincangan yang menarik, baik di kalangan masyarakat maupun peneliti.
Munculnya kloning dapat kita telusuri kembali ke abad 19 di mana Hans Adolf Edward Dreisch melakukan demonstrasi pertama dari duplikasi embrio Sea urchin (bulu babi). Dalam proses ini, Dreisch menunjukkan bahwa pemisahan embrio bulu babi dapat menghasilkan organisme baru yang sempurna. Namun, tidak semua hewan, terutama hewan mamalia, dapat dikloning dengan cara pemisahan embrio. Mamalia membutuhkan cara yang lebih kompleks untuk mendapatkan hasil yang baik. Keberhasilan pengkloningan domba Dolly oleh Wilmut dan Campbell pada tahun 1996 menandai suatu era baru bagi perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi dalam bidang genetika.
Menurut Mae-Wan Ho dalam Rekayasa Genetik (2008), kloning merupakan hasil rekayasa genetika atau tidak melakukan perkawinan secara alami yang dilakukan pada tumbuhan, hewan maupun manusia yang identik dengan pendonor gennya. Kloning pada hewan sendiri dilakukan untuk menyempurnakan susunan gen hewan tersebut. Susunan gen yang sempurna dianggap dapat menghasilkan sifat-sifat unggul sesuai dengan keinginan sang peneliti. Namun, saat ini kloning menjadi tujuan baru seperti yang ditunjukkan dalam video pada kanal Youtube Techinsider. Kloning hewan justru dilakukan untuk memenuhi kebutuhan psikologis manusia. Hal ini diawali dengan berdirinya suatu praktek dalam bidang bioteknologi yang menyediakan jasa kloning pada anjing.
Sooam Biotech Research Foundation (SBRF) merupakan sebuah organisasi penelitian bioteknologi industri dan aplikasi biomedis. Sooam didirikan pada Juli 2006 oleh Dr. Hwang Woo Suk dan bertujuan untuk melatih para peneliti profesional dan menggembangkan teknologi yang lebih maju dalam bidang biologi. Organisasi ini meneliti tentang kemungkinan yang tidak terbatas dalam pengkloningan hewan, penelitian transgenik dan sel batang pada embrio. Seiring berkembangnya waktu, Dr. Hwang Woo Suk berhasil melakukan kloning pada anjing yang menjadi daya pikat masyarakat umum untuk menggunakan jasa tersebut. Salah satu pengguna jasa praktek ini yang terkenal yaitu seorang pria tua bernama Junichi Fukuda yang kehilangan anjing kesayangan. Anjing ini merupakan teman hidupnya setelah ia ditinggal cerai oleh istrinya. Ia sangat merasa kehilangan sehingga ia rela mengeluarkan uang $100.000 untuk mengembalikan anjing kesayangannya dengan cara mengkloning.
       Proses pengkloningan anjing yang dilakukan oleh Sooam dapat dilakukan terhadap anjing yang masih hidup maupun yang sudah mati. Namun, David Kim, staf peneliti di laboratorium Sooam, menjelaskan bahwa prosedur yang berjalan bagi anjing yang sudah mati memiliki tantangan yang lebih banyak dari pada yang masih hidup. Pengkloningan anjing yang sudah mati dimulai dari sterilisasi tubuh anjing tersebut. Selanjutnya, tubuh anjing dibawa ke dokter hewan untuk diambil sampel kulitnya. Sampel tersebut kemudian dimasukkan ke dalam kotak es untuk mencegah terjadinya kematian sel dan kerusakan DNA. Setelah itu, sampel kulit dikirim ke Sooam untuk selanjutnya diproses. Lalu, sampel kulit anjing tersebut diambil DNA-nya untuk dimasukkan ke dalam sel telur anjing lain yang berperan sebagai pendonor sel telur. Kemudian, sel telur tersebut âdibuahiâ oleh suatu alat yang bernama Electro Cell Manipulator. Alat ini dapat mengubah sel telur menjadi embrio. Kemudian, embrio tersebut dimasukkan ke dalam rahim anjing lain yang berperan sebagai surrogate mother (ibu titipan). Embrio itu akan berkembang di dalam rahim hingga janin siap untuk dilahirkan. Anak-anak anjing yang dilahirkan akan memiliki karakteristik dan susunan gen yang sama dengan anjing yang asli. Namun, mereka akan memiliki sifat yang berbeda dengan pendonor DNA-nya.
Di balik manfaat kloning ada masalah-masalah yang dapat terjadii berkaitan dengan etika pelaksanaan kloning hewan itu sendiri. âSaya pikir Anda benar-benar harus berpikir dua kali tentang hal itu, dalam hal kesejahteraan hewan,â kata Insoo Hyun, seorang pakar bioetika di Case Western Reserve University. Dilihat dari sudut pandang manusia, kloning terhadap hewan dapat dianggap tidak etis karena pada dasarnya manusia adalah makhluk bermoral yang berketuhanan. Menurut Susilohadi, Ph.D, dosen Fakultas Biologi Universitas Gadjah Mada kloning hewan yang dilakukan oleh manusia dianggap sebagai tindakan yang menyalahi kodrat manusia itu sendiri. Sebagai ciptaan Tuhan tidak seharusnya manusia memiliki kemampuan untuk menciptakan suatu makhluk sesuai dengan kehendaknya. Selain itu, Patterson dalam Somatic Cell Nuclear Transfer (Cloning) Efficiency (2002) mengatakan bahwa hanya 0-3% dari hewan yang di kloning akan lahir dengan selamat. Hewan-hewan yang berhasil dilahirkan seringkali tidak memiliki jangka hidup yang lama pula.
Menurut Mae-Wan Ho masalah kloning lain yang akan timbul datang dari segi ekonomi. Akan bermunculan para peneliti yang menjadikan kloning sebagai lahan uang. Mereka akan mengkloning dan mengambil organ-organnya untuk diperjual belikan secara bebas. Tanpa memikirkan dampaknya terhadap individu sempel kloning dan lingkungannya, jika kloning pada hewan tidak diawasi secara ketat.
Masalah lain yang dapat dilihat dari segi manusia. Menurut Mae-Wan Ho, penelitian pada hewan yang terus berkembang dan semakin baik tidak menutup kemungkinan kloning juga akan dilakukan pada manusia. Jika keberhasilaan pada kloning hewan juga diterapkan pada manusia, maka akan menimbulkan masalah. Seperti halnya yang diceritakan Ho dalam bukunya, bahwa seorang ilmuan independen bernama Richard G Seed di Chicago mulai untuk mengkloning manusia. Upaya tersebut digagalkan oleh para dokter dan ilmuan yang mengatakan teknik pengkloningan tersebuut belum teruji, tidak aman dan secara moral tidak diterima. Hal itu juga diperkuat oleh Presiden Amerika saat itu, Clinton yang  memberlakukan peraturan pelarangan kloning pada manusia.
Meskipun begitu, kloning merupakan suatu breakthrough bagi bidang sains dan teknologi. Kloning memiliki banyak kesempatan untuk berkembang dan dapat menjadi solusi bagi beberapa masalah dunia di masa depan. Contohnya, bila kloning sudah disempurnakan di masa depan, kemungkinan untuk memproduksi hewan-hewan yang hampir atau telah punah sangatlah besar. Bisa jadi, hewan-hewan yang terancam punah seperti harimau dan badak sumatera dapat kembali berjumlah banyak. Selain itu, menurut Huffington Post dalam artikelnya yang berjudul âScience and the Future of Cloning: Is Immortality Possible?â, kloning bisa menjadi jawaban bagi rahasia imortalitas (kemampuan untuk hidup selamanya). Namun, kemungkinan ini tampak masih jauh untuk dicapai, dengan banyaknya permasalahan dan problem etis yang masih berlaku.
Lalu, menurut futurism, kloning di masa depan dapat mengakhiri kelapan dengan pengkloningan tumbuhan dan hewan yang menjadi bahan pangan. Selain itu, penyakit yang degeneratif dapat dihilangkan melalui therapeutic cloning yaitu penggantian nukleus yang sakit dengan nukleus yang sehat. Bahkan, menurut Dr. Mark Sauer, dari Columbia Presbyterian Medical Center New York, kloning dapat membantu orang-orang yang tidak mampu memiliki anak. Pengambilan sel-sel embrio muda dan menumbuhkannya sendiri menjadi embrio-embrio baru adalah salah satu caranya.
Kloning masih menjadi sesuatu yang kontroversial di kalangan masyarakat umum, pemerintah, dan para peneliti. Beberapa kalangan menyetujui kloning dilakukan untuk kepentingan pribadi maupun kelompok tertentu. Namun, masih ada yang meragukan keberhasilan, dampak dan kebermanfaatannya di masa sekarang dan mendatang. Mengenai masalah etis atau tidaknya kloning, juga masih menjadi perdebatan yang tak kunjung menemukan titik terang hingga saat ini. [Carissa Azarine Delicia, Yosefa Estri Ratna Tias]