Sabtu pagi (19/11) di Perpustakaan Pusat Universitas Gadjah Mada (UGM) diselenggarakan seminar oleh Keluarga Mahasiswa Manajemen dan Kebijakan Publik (Gamapi) UGM. Seminar bertajuk “Gamapi Public Seminar” ini membahas peran media informasi untuk pemberdayaan masyarakat dalam pembuatan kebijakan publik. Gamapi mengundang tiga pembicara dari latar belakang profesi yang berbeda. Mereka adalah Antonius Sasongko (Pendiri Kampoeng Cyber), Muhammad Heychael (Chief Executive Officer Remotivi) dan Erwan Agus Purwanto (Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UGM). Seminar ini dihadiri oleh mahasiswa dari berbagai universitas di Yogyakarta seperti Universitas Muhammadiyah Yogyakarta dan Universitas Negeri Yogyakarta.
Antonius Sasongko atau akrab dipanggil Koko, mengawali seminar dengan memperkenalkan Kampoeng Cyber. Kampoeng Cyber dibentuk pada bulan Juli tahun 2008 bertempat di RT 36 Kecamatan Kraton. Pendirian berawal dari keresahan Koko mengenai manfaat internet yang hanya bisa diperoleh orang menengah keatas. Ia juga menjelaskan bahwa Kampoeng Cyber lebih menekankan pada penggunaan teknologi informasi untuk pemberdayaan masyarakat. Masyarakat diajak untuk sadar akan pentingnya informasi serta dilatih untuk bisa mahir memanfaatkan internet. Keberadaan internet di kampung mereka juga menopang sektor perekonomian usaha kecil menengah seperti mengiklankan produk batik ke media sosial.
Selanjutnya Heychael memaparkan bahwa media informasi saat ini kurang menghiraukan kualitas. “Berita tersebar dengan cepat tanpa memperhatikan ketepatan informasi,” tuturnya. Heychael kemudian memberikan contoh pembakaran masjid yang terjadi di Tolikara, Papua. Banyak media memberitakan peristiwa tersebut menelan korban jiwa, namun setelah diselidiki ternyata tidak menelan korban jiwa. Beliau juga menyebutkan bahwa penyelewengan penggunaan media informasi sekarang ini marak terjadi. Para pemilik media informasi seringkali menggunakan saluran medianya untuk kepentingan pribadi semata.
Pada materi selanjutnya ia memaparkan cara agar terhindar dari pemberitaan yang salah. Pertama adalah skeptical way of knowing yaitu dengan memilah dan menelusuri konten di media. Pembaca sebaiknya mencari tahu siapa pembuat berita, dari mana narasumber berasal, dan data-data yang dipaparkan. Kedua adalah gate keeper yaitu media sebagai penuntun opini masyarakat seharusnya melibatkan publik dalam setiap pembuatan berita di media. Berbagai penjelasan yang dipaparkan Heychael bermuara pada satu kesimpulan yaitu perubahan teknologi menuntut perubahan cara berpikir. Masyarakat harus menjadi lebih kritis dalam menerima informasi.
Erwan Agus Purwanto, menyebutkan bahwa media informasi memiliki peranan sebagai media penyebaran kebijakan publik terhadap masyarakat. Peranan media, menurut Erwan dalam pembuatan kebijakan yaitu advokasi, agregasi, dan artikulasi. Media perlu menyebarluaskan kebijakan publik yang perlu koreksi (advokasi). Kemudian masyarakat memberikan dukungan mereka (agregasi). Setelahnya masyarakat akan menyuarakan dan menyampaikan aspirasi mereka contohnya melalui petisi online.
Erwan juga menekankan bahwa demokratisasi informasi saat ini belum pada kondisi yang ideal. “Demokratisasi informasi belum merata karena kesempatan akses belum dimiliki setiap orang,” jelas Erwan. Beliau juga mengatakan bahwa masyarakat tidak boleh hanya menjadi konsumen, masyarakat juga harus bisa menjadi produsen. Masyarakat diharapkan menjadi produktif dengan adanya internet. Misal menggunakan internet sebagai media usaha seperti online shop.
Seminar ini memberikan penyadaran pada peserta akan manfaat media informasi. “Media informasi berpotensi digunakan sebagai instrumen pemberdayaan masyarakat.” Jelas Muhammad Abroor, selaku panitia acara seminar. Salah satu peserta mengatakan bahwa seminar dapat menjadi sumber pengetahuan bagi peserta. “Seminar ini cukup menambah wawasan saya mengenai pentingnya media informasi bagi pembentukan kebijakan publik,” Ujar Ferra Ayunda, mahasiswa Departemen Politik dan Pemerintahan UGM ‘16. [Dian Pitaloka, Henny Ayu Amalia, Rio Bagus Saputro]