“Bagaimana hubungan antara Aksi 4 November (411) dengan Kebhinekaan di Indonesia?” ujar Risky Alif Alvian, moderator diskusi bertajuk “Pasca 4 November: Memikirkan Kembali Masa Depan Kebhinekaan”. Diskusi tersebut diselenggarakan pada Rabu (16/11) sore dan bertempat di Selasar Timur Fakultas Ilmu Sosial dan Politik. Diskusi tersebut diisi oleh Gerry Ali Gumiyandy, Mahasiswa Departemen Politik Pemerintahan sekaligus aktivis Aksi 411, Gus Tafid selaku pengasuh Pondok Pesantren Aswaja, dan Hakimul Ikhwan selaku Dosen Sosiologi UGM. Acara tersebut diselenggarakan oleh Korps Mahasiswa Ilmu Politik dan Pemerintahan, bekerja sama dengan Institute of International Studies untuk memperingati Hari Toleransi Sedunia.
Pada diskusi tersebut, Gerry menyebut Aksi 411 sebagai seruan jihad. Jihad yang dimaksud oleh Gerry adalah perlawanan menentang Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok terkait pernyataan tentang Surat Al-Maidah ayat 51. Pernyataan tersebut ditafsirkan oleh Gerry sebagai bentuk penistaan agama. Menanggapi pernyataan Gerry, Gus Tafid mempersoalkan klaim tentang penyebutan Aksi 411 sebagai Jihad dan penetapan Ahok sebagai tersangka penistaan agama. Menjalankan Aksi dan menyebutnya sebagai Jihad bagi Gus Tafid merupakan hak setiap orang untuk menyuarakan kepentingan.
Namun, Jihad memiliki prioritas. Prioritas tersebut menurut Gus Tafid merupakan usaha mengedepankan kritik terhadap pemerintah, alih-alih sekadar memperjuangankan politik identitas. Obed Kresna Widya Pratistha selaku panitia mengamini pernyataan Gus Tafid dan menyebutnya sebagai perjuangan kelas, yaitu perlawanan masyarakat yang mendapat tekanan dari pemerintahan Ahok. “Jihad harus menyentuh persoalan sosial-politik,” ungkap Gus Tafid.
Gus Tafid juga menerangkan ketidaksetujuannya soal penetapan Ahok sebagai tersangka penistaan agama karena masih menjadi perdebatan para ulama. Sehingga apabila berlandaskan hukum Islam, Gus Tafid mengatakan tidak dapat diambil keputusan. Gus Tafid juga mengingatkan Majelis Ulama Indonesia untuk tidak menjadi otoritas tunggal tafsir agama, sebab semua orang yang memiliki ilmu berhak untuk menafsirkan. Apalagi menurut Gus Tafid, otoritas tunggal tafsir dapat dijadikan alat penekan bagi pihak yang berlawanan dengan pemegang otoritas tafsir. Terkait otoritas tunggal, Hakim setuju dengan Gus Tafid, bahwa memang tidak ada otoritas tunggal tafsir dalam tradisi Islam Sunni.
Selain itu, penafsiran bahwa pernyataan Ahok adalah penistaan justru mampu menyatukan umat Islam, seperti yang diungkapkan oleh Hakimul Ikhwan. Setelah Aksi 411, Hakim yakin demokrasi di Indonesia akan semakin menarik, sebab tafsir agama memiliki keterkaitan politik. “Aksi 411 sebagai ruang bagi pihak yang tersisih untuk menyuarakan maksudnya,” tungkas Hakim.
Selain itu, Hakim berpendapat bahwa masalah-masalah konflik budaya, seperti persoalan Ahok, semestinya dapat dituntaskan di tingkat masyarakat. Bagi Hakim, Kegagalan menuntaskan permasalahan konflik budaya di tingkat masyarakat menunjukan bahwa Kebhinekaan di Indonesia masih sebatas perayaan keberagaman. Sedangkan, pihak-pihak yang terlibat tidak berupaya untuk saling mengenal. “Hal terpenting dari Kebhinekaan adalah rasa menghormati satu sama lain,” tandas Hakim. [Abilawa Ihsan, Melawati Dewi]