Ndalem Natan Heritage malam (1/11) itu masih lengang. Tak banyak aktivitas pengunjung yang terlihat dalam ruang pameran. Lukisan-lukisan terpampang rapi memenuhi ruangan berlantai dua ini, intim menikmati dirinya sendiri. Hanya beberapa karyawan yang terlihat berdiri di teras untuk menyambut tamu yang datang. Tiba-tiba, ucapan selamat datang terucap dari para karyawan yang berdiri di teras ruangan ketika sesosok wanita paruh baya turun dari mobilnya. Tamu yang baru saja datang itu berperawakan ramping dan berwajah segar. Namun, keriput mulai nampak di wajahnya menandakan usianya sudah tidak muda lagi. Ia datang dengan mengenakan kemeja biru serta celana jeans panjang. Sembari berlari kecil menghindari rintik hujan, rambut hitamnya yang panjang sebahu berurai sirama dengan langkah kakinya menuju ruangan. Dialah Wara Anindyah, yang tak lain ialah pelukis tunggal seluruh lukisan yang terpampang pada pameran ini.
Pameran tunggal ini menampilkan 64 karya Wara. Karya-karya ini dipamerkan selama empat minggu terhitung sejak 21 Oktober 2016. Mengusung tema Cinta yang Indah, pameran lukisan ini mencoba menghadirkan romansa percintaan melalui potret ikatan pernikahan. Misalnya dalam lukisan Puisi tentang Bulan yang terpampang di pojok ruangan. Lukisan ini menggambarkan sepasang kekasih yang sedang bulan madu. Kedua kekasih ini tersenyum bersama memandangi bulan purnama di tepi sungai. Bulan yang bersinar terang melambangkan pertemuan legenda Dewi Bulan dan kekasihnya yang sebelumnya dikutuk untuk terpisah selamanya. “Sama seperti legenda dewi Bulan, pasangan ini pada akhirnya disatukan, bedanya melalui hubungan pernikahan,” jelas Wara.
Bagi Wara, pernikahan merupakan sebuah medium di mana sepasang kekasih bersatu. Melalui hal itu, romantika tersimpan dalam berbagai problematika dan misteri hubungan rumah tangga. Akhirnya, kepingan-kepingan relasi pernikahan itulah yang menginspirasi lukisan-lukisan Wara. “Termasuk refleksi kehidupan perkawinan saya selama ini,” ungkap Wara. Oleh karena itu, Wara memilih pernikahan untuk menggambarkan cinta dalam temanya.
Pernikahan yang tergambar pada lukisan-lukisan Wara, kebanyakan mengandung ciri khas yang dipengaruhi oleh budaya Tionghoa. Seperti yang tertuang dalam lukisan Petuah Nenek, Wara menggunakan tinta Cina yang pekat untuk menggambarkan sosok pengantin wanita muda dan neneknya dalam lukisannya. Wanita muda itu memakai pakaian pernikahan tradisional Tionghoa. Ekspresi ceria terlihat dari kedua figur tersebut dengan senyumnya yang lebar. Kepala si nenek menengadah ke atas memandang cucunya sembari memberikan petuah terhadap anaknya itu. Wara mengatakan bahwa petuah tersebut berisi sekedar pesan untuk menjadi figur seorang istri yang baik. Kriteria yang Wara ungkapkan tersebut tak lain ialah refleksi kehidupan pernikahan neneknya.
Ratu Pandan Wangi, Kurator pameran menuturkan bahwa pengaruh gaya lukisan serba Tionghoa Wara diakibatkan darah keturunan Tionghoanya. Bahkan, Wara sempat melakukan perjalanan menuju negeri tirai bambu bersama keluarganya. Ketika di sana, Wara melihat cinta melalui potret kehidupan pernikahan sehari-hari masyarakat Tiongkok. Akhirnya, Wara tuangkan memori perjalanannya itu ke dalam kanvas. Sehingga, terciptalah citra romanitsme sebuah pernikahan dalam lukisan-lukisannya yang bergaya Tionghoa tersebut.
Selain Tionghoa, unsur Jawa juga terwakilkan dalam beberapa lukisan Wara. Memorinya saat dibesarkan di Magelang serta kehidupan dewasanya di Yogyakartalah yang mempengaruhi gaya lukisannya. Sehingga, tradisi pernikahan Adat Jawa terpatri jelas dalam ingatan Wara. Misalnya dalam lukisan Pengantin Jawa, terlihat pasangan suami istri yang mengenakan Sikepan Ageng. Kedua kekasih itu terlihat serasi dengan batik coklat soga. Lengkap dengan sanggul dan kebaya, potret sang wanita digambarkan tersenyum sembari berdiri di belakang pengantin laki-laki yang duduk di kursi. Sementara itu, pengantin laki-laki tampak dingin dan berwibawa dalam balutan beskap hitam legam. Tanpa senyuman, wajah bulat dan goresan mata yang tajam semakin menegaskan ketegasan pengantin laki-laki tersebut terhadap pasangannya.
Wara mengungkapkan, posisi pengantin semacam itu menggambarkan sisi kepemimpinan laki-laki yang dominan dalam pernikahan. Meski tampak cerah dengan balutan warna hijau muda, ia menyatakan bahwa pengantin tersebut sebenarnya menyiratkan sebuah ironi tradisi masa lalu. “Lukisan ini menggambarkan kondisi pernikahan Jawa zaman dulu yang selalu menomorduakan perempuan,” ucapnya.
Potret pernikahan dalam Budaya Tionghoa dan Jawa tak melulu mempengaruhi gaya lukisan Wara. Ia berhasil pula melukiskan gambaran pernikahan dalam pengaruh tradisi Eropa. Salah satunya lukisan Wara yang berjudul Cinta Sunyi. Lukisan yang dibuat pada tahun 2011 ini memperlihatkan dua sejoli yang mengucap janji suci di Gereja. Lukisan yang dilukis dengan akrilik ini memberikan kesan misterius melaui warna abu-abu yang mendominasi lukisan. Mosaik kaca warna-warni pelangi khas Gereja menambah kesan mewah lukisan ini. Mulut kedua pengantin tampak mengunci, seakan-akan kesunyian benar-benar melingkupi pesta pernikahan itu. Sesosok perempuan berambut panjang dengan kulit pucat, hadir di belakang pasangan pengantin tersebut. Ia menatap tajam kedua kekasih yang berdiri di depannya.
Andrew Nathaniel, salah seorang pengunjung, memaknai lukisan tersebut melalui sosok perempuan yang berada di belakang kedua pengantin. Sosok teresebut merupakan gambaran masa lalu dari pengantin pria. Andrew melihat pandangan mata pengantin pria mengarah pada sosok wanita menunjukan ekspresi yang sedikit terkejut. Pandangan tersebut merupakan bukti bahwa hanya pengantin prialah yang dapat melihat sosok perempuan itu. “Jika dilihat lagi, ia merupakan pengganggu dalam hubungan pernikahan tersebut,” tutur mahasiswa Fakultas Ekonomika dan Bisnis (FEB) UGM itu.
Hal yang sebaliknya diungkapkan oleh Wara. Sebagai pelukis, ia mengatakan jika sosok perempuan ini justru mewakili hati kecil pengantin perempuan. Hati kecil tersebut melambangkan cara komunikasi pasangan yang baru saja menikah itu. Ia menegur dan mengawasi jalannya hubungan pernikahan. Sehingga dalam senyap, komunikasi tetap terjalin. Tanpa perlu banyak berkata-kata, mereka sudah saling mengerti satu sama lain. “Kendati sunyi, percakapan melalui hati ke hati tetap dapat mempertahankan sebuah penikahan,” jelas Wara.
Sri Harjanto Wahid, penyelenggara acara, menjelaskan bahwa pameran ini mencoba menghadirkan sisi lain Wara. “Selama ini, lukisan Wara berjiwa dan seolah hidup sehingga banyak orang menganggap lukisannya kelam dan menakutkan,” tambah lelaki yang juga suami Wara ini. Melalui gambaran pernikahan dalam pameran ini, Wara mengajak pengunjung untuk melihat karyanya yang lebih cerah dalam segi visual. “Melalui keindahan cinta dalam pernikahanlah Wara merepresentasikan kecerahan itu,” jelas Wahid.
Meskipun begitu, Andrew tetap mengatakan bahwa mayoritas karya-karya Wara masih menonjolkan kesan kelam dan seram bagi pengunjung-pengunjungnya. Kesan itu tampak terlukis dalam kanvas yang Wara beri judul Menyatukan Hati dengan Rasa. Lukisan hitam putih ini memperlihatkan sebuah jantung raksasa yang diikat tali tambang berwarna hitam. Jantung itu ditarik berlawanan arah oleh pasangan kekasih yang tidak berwajah.
Wara mengatakan bahwa untuk mempertahankan cinta dalam pernikahan, perjuangan yang dilakukan tidaklah mudah. Jantung raksasa yang diikat, Wara lambangkan sebagai sebuah hati. Terikat dengan tali hitam, gambaran jantung itu juga memperlihatkan upaya mempertahan cinta pernikahan yang sedang didera masalah. Laki-laki dan perempuan yang menarik jantung berlawanan arah dalam lukisan ini, merupakan kekasih yang hatinya belum bersatu sepenuhnya. Jantung tersebut dilukiskan penuh darah dan luka, karena hubungan pasangan ini berjalan tidak lancar. Wara menerangkan bahwa lukisan ini menyiratkan sebuah pesan. “Laki-laki dan perempuan harus menyatukan hatinya masing-masing dalam sebuah cinta pernikahan,” ujar Wara.
Andrew menjelaskan bahwa letak dan ukuran objek pada lukisan ini tidak sesuai aslinya. Hal itu menimbulkan kesan imajiner sekaligus nyata secara bersamaan. Meski mengusung cinta pernikahan, Wara tetaplah Wara dengan ciri khas lukisannya. “Lukisan Wara semacam inilah yang kental dengan unsur surealis yang kelam,” tutur Andrew
Seno Joko Suyono, selaku penikmat seni, mengatakan bahwa melalui unsur kelam tersebut, Wara berhasil menuangkan keresahannya. Bagi Wara, memasuki ruang kegelisahan suatu hubungan pernikahan bukanlah perjalanan yang berbahaya. “Wara justru menganggapnya sebagai tamasya arkeologis untuk menemukan kecemasan personal,” ungkapnya. Melengkapi Seno, Gabriel Possenti Sindhunata, seorang pengamat seni, menuturkan bahwa proses refleksi inilah yang menjadi daya tarik Wara. “Hal inilah yang membuat karya lukisnya dinggap khas dan orisinal,” pungkasnya. [Bernard Evan]