Informasi Buku
Judul : Siddhartha
Penulis : Herman Hesse
Alih Bahasa : Gita Yuliani
Tahun Terbit : 2014
Jumlah Halaman : 168
Penerbit : PT Gramedia Pustaka Utama
Nihilisme memandang dunia dan segala nilai, moralitas, dan makna di dalamnya tak berdasar. Hal ini dipengaruhi oleh Nietzsche yang menyatakan bahwa Tuhan telah mati. Meski begitu, nihilisme bukanlah suatu akhir dan harus dilampaui.
“God is dead. God remains dead. And we have killed him.” Petikan kalimat dari buku The Gay Science (1882) tersebut adalah salah satu pernyataan paling terkenal dari Friedrich Nietzsche. Ia memang filsuf yang banyak mengeluarkan pernyataan-pernyataan kontroversial. Terlebih lagi, banyak yang memaknai pernyataannya secara harfiah. Pernyataan tentang kematian Tuhan di atas sering kali digunakan untuk menjustifikasi bahwa Friedrich Nietzsche adalah seorang ateis dan nihilis. Dengan matinya Tuhan, muncullah nihilisme yang memandang bahwa segala nilai atau makna tidak ada dan tidak bisa ada. Namun, Nietzsche bukanlah pembunuh Tuhan. Ia adalah pembawa kabar. Nietzsche melihat kecenderungan peradaban Barat, khususnya dalam tradisi modern yang meniadakan peran Tuhan dalam hidup. Tradisi yang khususnya mulai berkembang pada abad 18 dan 19.
Menurut Ken Gemes, seorang peneliti Nietzsche di Birkbeck, University of London, banyak yang menempatkan Nietzsche sebagai penganut nihilisme. Namun, menurutnya Nietzsche tidak mendukung nihilisme. Justru, nihilisme adalah sesuatu yang harus dilampaui. Selain itu, menurut Ullrich Haase, dosen filsafat di Manchester Metropolitan University, dalam bukunya Starting with Nietzsche (2008), kematian Tuhan meninggalkan bayang-bayang gelap bagi umat manusia. Dengan bayang-bayang itu, Haase menyatakan bahwa kita, manusia, harus melampauinya.
Lalu apa implikasi matinya Tuhan dan mengapa penting untuk melampauinya? Menurut Gemes, matinya Tuhan bukan sekedar hilangnya entitas metafisik. Melainkan, hilangnya fondasi segala sesuatu. Seperti kata Fyodor Dostoyevsky dalam novelnya The Brothers Kamarazov, jika Tuhan tiada, maka segala sesuatu diperbolehkan. Matinya Tuhan berarti hilangnya otoritas moral. Segala sesuatu menjadi tak berdasar.
Nietzsche tidak ingin manusia berhenti pada nihilisme. Dengan matinya Tuhan, ia bertanya pada umat manusia, “Bukankah keagungan perbuatan ini terlalu besar untuk kita? Tidakkah kita harus menjadi Tuhan agar kita layak untuk itu? (Nietzsche, 1974: 181)”. Dengan merujuk pada pertanyaan tersebut, dapat diketahui bahwa Nietzsche tidak berhenti pada matinya Tuhan. Maka, Nietzsche meninggalkan pertanyaan besar. Apa yang harus manusia lakukan dengan matinya Tuhan?
Hermann Hesse datang menjawab pertanyaan Nietzsche. Hesse mempunyai kedekatan tersendiri dengan Nietzsche. Dalam biografi susunan Joseph Milleck yang berjudul Hermann Hesse: Biography and Bibliography: Volume 1, tertulis bahwa Hesse merupakan pembaca Nietzsche. Hesse juga “mengagumi Nietzsche sebagai seorang pribadi, seorang penyair, dan seorang filsuf” (Sheila, 1983: 1). Dengan pengaruh Nietzsche tersebut, Hesse terinspirasi dan mencoba menjawab tantangan nihilisme.
Hesse menawarkan suatu jawaban atas nihilisme melalui novelnya, “Siddhartha”. Namun, novel tersebut bukan menceritakan perjalanan hidup Buddha Gautama. Hesse hanya mengambil nama asli sang Buddha, yakni Siddhartha. Selebihnya berbeda. Novel yang diterbitkan pertama kali pada tahun 1922 ini ditulis Hesse lantaran kesakitan hidup yang dialaminya setelah Perang Dunia Pertama. Melalui “Siddhartha”, Hesse “melakukan eksplorasi terhadap kebutuhan individu untuk melampaui pakem-pakem sosial dan ide-ide tradisional untuk menemukan jalannya sendiri. (Brians, 1998)” “Siddhartha” adalah usaha Hesse meredam kesakitan hidupnya dan menjawab tantangan nihilisme Nietzsche.
Jawaban yang ditawarkan Hesse tidak disampaikan secara harfiah. Dalam “Siddhartha”, Hesse menjawab problem nihilisme Nietzschean dengan transformasi yang dialami sang tokoh utama, Siddhartha. Hesse mengisahkan Siddhartha sebagai sosok individu yang tidak pernah berhenti mencari pencerahan. Ia yang dilahirkan dalam keluarga Brahmana merasa tidak puas dengan apa yang didapatkannya. Siddhartha memutuskan untuk mencari pencerahan dengan dirinya sendiri. “Aku melanjutkan pengembaraanku…untuk melepaskan diri dari semua ajaran, semua guru, dan mencapai tujuanku sendirian atau mati. (hlm. 43)” Ia menghilangkan seluruh ajaran yang telah didapatkannya dan memulai pencarian sebagai sebagai subjek yang kosong. Siddhartha melucuti pakaiannya, telanjang bulat menghadapi dunia.
Usaha Siddhartha untuk mencari pencerahan dengan diri sendiri mirip dengan apa yang dikatakan Nietzsche. Dalam Thus Spoke Zarathustra (1883), Nietzsche menyerukan “Aku kini pergi sendiri, muridku! Kini, kau juga pergi sendiri!” Siddhartha adalah potret manusia yang dihadapkan pada hilangnya landasan fundamental hidup. Ia mengambil sepenuhnya kuasa atas dirinya untuk menentukan apa yang akan dilakukan terhadap dirinya sendiri. Dengan sadar Siddhartha membunuh Tuhan untuk mencari pencerahan.
Dalam perjalanan pencariannya, Siddhartha dihadapkan berbagai hal. Hidup Siddhartha berkelok-kelok. Banyak perubahan yang terjadi pada dirinya. Awalnya ia adalah seorang yang religius. Dunia dan segala kesenangannya dipandang sebagai ilusi yang membutakan. Namun, dalam perjalanannya melepaskan ajaran, ia justru masuk dalam kehidupan hedonistik. Lantas, setelah lama terkungkung kenikmatan dunia, Siddhartha sadar bahwa kenikmatan itu hanya menawarkan kehampaan. Kenikmatan itu justru menancapkan luka dalam diri Siddhartha.
Siddharta merasa berdosa sampai hendak membunuh dirinya. Namun, dalam proses membunuh diri tersebut, Siddhartha mendapat pencerahan. Ia menyadari bahwa dirinya tak bisa hidup hanya dalam religiusitas atau hedonisme saja. Hidupnya adalah totalitas. Akhirnya, Siddhartha belajar segalanya dari pengalaman dan dari lingkungan sekitarnya. Siddharta mendapatkan sintetis dari perjalanan hidupnya yang transformatif. Ia melihat segala yang terjadi pada dirinya, baik itu kebahagiaan dan penderitaan, adalah suatu kesatuan tak terpisah. Segala kesatuan itu pada akhirnya diarahkan untuk mengafirmasi kehidupan.
Hesse, melalui “Siddhartha” menawarkan jawabannya atas nihilisme, yakni dengan kesadaran akan totalitas realitas. “Dunia ini sendiri, yang ada di sekeliling kita dan di dalam kita, tidak pernah berat sebelah. Seseorang atau suatu tindakan tak pernah sepenuhnya Sansara atau sepenuhnya Nirvana, seseorang tak sepenuhnya suci atau sepenuhnya berdosa. (hlm. 157)” Sehingga, Siddharta memahami kesatuan dunia sebagai totalitas yang tidak bisa direduksi menjadi bagian-bagian saja.
Segala proses hidup yang dialami Siddhartha, transformasi-transformasinya, mengantar Siddhartha pada kesimpulan bahwa hidup memang tak sempurna. Namun, itulah fakta yang harus dihadapi manusia. Justru dengan ketidaksempurnaan itu Siddharta belajar. Hidup adalah pembelajaran terus menerus dan tak ada yang lebih tinggi dan lebih rendah, seperi totalitas kenyataan. Siddhartha memutuskan untuk menghadapi ketidaksempurnaan itu. Menghadapi segala penderitaan hidup untuk mencintai hidup itu sendiri. Bukan berarti mencintai kehidupan untuk mendapatkan kenikmatan duniawi saja.
Itulah jawaban Hesse terhadap problem nihilisme: pemahaman akan totalitas dunia dan afirmasi kehidupan. Pemahaman yang pada dasarnya hampir sama dengan apa yang disimpulkan Nietzsche bahwa dunia ini harus diafirmasi. Meski begitu, Nietzsche dan Hesse juga memiliki perbedaan. Jika Hesse mengedepankan aspek kontemplasi dan pengalaman langsung dengan dunia dalam usaha manusia melampaui nihilisme, Nietzsche mengedepankan aspek seni. Namun, pada dasarnya, kedua tujuannya sama: hidup di dunia.
Hesse dan Nietzsche sama-sama memahami bahwa nihilisme adalah sesuatu untuk dilampaui manusia. Nihilisme bukan suatu titik di mana manusia berhenti lalu membusuk dan mati. Fakta bahwa manusia hidup dan hidup tak menjanjikan apapun memang memberikan bisikan kehampaan. Namun, seperti Nietzsche dan Hesse, manusia diajak untuk tetap hidup dan mencintai hidup. Akhirnya, mari hidup dengan cinta dan luka di dalamnya! (Unies)
Daftar Pustaka
Brians, Paul, 1998, The Influence of Nietzsche, https://public.wsu.edu/~brians/hum_303/nietzsche.html, diakses pada Jumat, 28 Oktober 2016, pukul 00.35 WIB
Cook, Sheila, 1983, Nietzsche and hesse an influence study, Disertasi Ph.D, Durham University
Nietzsche, Friedrich, 1974. The Gay Science, translated by Walter Kaufmann. New York: Vintage