Diiringi permainan alat musik tradisional, ratusan peserta berkostum khas Jawa Timur padati Jalan Malioboro (15/10). Mereka merupakan peserta Kirab Budaya Jawa Timur Festival (Jatimfest) 2016, yang diarak hingga titik nol kilometer. Acara ini digagas oleh Ikatan Pelajar Mahasiswa dari Jawa Timur yang berada di Yogyakarta dengan tema “Ha Na Ca Ra Ka, Jer Basuki Mawa Beya”.
Jatimfest yang kedua ini diikuti oleh tiga belas kabupaten dan kota dari provinsi Jawa Timur. “Ada Ngawi, Lumajang, Trenggalek, Lamongan, Bondowoso, Kediri, Jember, Pamekasan, Situbondo, Mojokerto, Madiun, Ponorogo dan Banyuwangi.” papar Awan Khotimullatif, Ketua Panitia Jatimfest 2016. Masing-masing pengisi kirab menampilkan kebudayaan tiap kabupaten dan kota, mulai dari tarian, baju adat, tradisi, hasil bumi, hingga replika bangunan.
Salah satunya adalah Kabupaten Banyuwangi yang menyuguhkan arak-arakan berupa tradisi dan ikon-ikon mistik. Mereka menampilkan Kebo-Keboan, Dewi Sri, Gandrung, dan Barong Osing. “Banyuwangi dikenal sebagai kota yang masih kental dengan kebudayaan mistik sehingga kami memilih mengusung tradisi tersebut,” ucap Luthfi Nur Fauzi, Ketua IKPM Banyuwangi.
Ia juga menerangkan makna di balik keempat tradisi tersebut. Tradisi Kebo-Keboan merupakan sebuah tradisi yang dilakukan saat musim paceklik sebagai pengharapan turunnya hujan. Peserta berdandan layaknya kerbau lengkap dengan tanduk buatan dan lonceng di lehernya. Tidak hanya itu, mereka juga dilumuri tubuhnya dengan cairan hitam yang terbuat dari oli dan arang. Lalu Dewi Sri, perwujudan Dewi Padi yang melambangkan kesuburan dan kelestarian. Kemudian tari Gandrung, sebuah tarian perwujudan terima kasih kepada Dewi Sri atas melimpahnya hasil panen. Sedangkan barong osing sendiri merupakan ritual penolak bala yang menggunakan barong sebagai tokoh utama. Barong dipercaya merupakan penggambaran hewan yang menakutkan, yang memiliki kemampuan untuk mengusir roh jahat.
Kirab budaya ini juga dimeriahkan oleh arak-arakan replika ciri khas daerah masing-masing. Diantaranya Kota Kediri yang mengarak replika monumen simpang lima gumul, sebuah monumen yang serupa dengan Arc de Triomphe di Paris, Prancis. Ada juga Kabupaten Lamongan yang mengarak replika seekor ikan lele. Hal ini karena ikan lele merupakan salah satu hasil unggulan dari Kabupaten Lamongan. Berbeda dengan Kota Kediri dan Kabupaten Lamongan, Kabupaten Situbondo mengarak sebuah tumpeng hasil bumi seperti buah-buahan dan sayuran. Hal ini karena sektor pertanian dan perkebunan merupakan komoditas utama Kabupaten Situbondo.
Rangkaian acara Jatim Fest 2016 dimulai dengan dialog budaya bertema Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat dan masa depan Jawa(4/9). Selanjutnya dilaksanakan pelatihan komik dengan tema “Cuk” dan korelasinya terhadap budaya Jawa Timur (25/9). Kemudian pameran instalasi seni rupa (7/10). Lalu pada 13-15 Oktober diadakan pertunjukan seni dan tarian daerah, pemutaran film dan animasi yang mengangkat kebudayaan dan pariwisata Jawa Timur, serta kirab budaya sebelum pementasan drama kolosal. “Acara Jatimfest tahun ini ditutup dengan pementasan drama kolosal dari 80 seniman yang berasal dari Jawa Timur dan luar Jawa Timur,” tambah Awan.
“Kirab budaya ini menjadi ajang untuk mengenal budaya dan tradisi khas daerah lain. Apa lagi tarian, baju adat, dan pertunjukan masing-masing daerah memiliki keunikan tersendiri, terutama dari Banyuwangi,” terang Dwi Astuti, Mahasiswi Politeknik Yogyakarta. Sama halnya seperti Dwi, Luthfi juga menuturkan bahwa acara ini tidak hanya sekadar acara seni, namun juga ajang pengenalan dan promosi kebudayaan Jawa Timur kepada khalayak luas. “Semoga acara ini bukan sekadar pementasan seni belaka, tapi juga ajang mendekatkan mahasiswa dan pelajar dari Jawa Timur yang ada di Yogyakarta,” pungkasnya. [Rosalina Woro Subektie & Nizmi R. Utami P.N.]