Dua tahun tanpa gelar juara umum membuat banyak pihak memutar akal. Berbagai jurus pun dilakukan, di Fakultas Filsafat, untuk meningkatkan partisipasi mahasiswa, momen 30 September pun diplesetkan sedemikian rupa, seolah menampikkan tragedi besar kemanusiaan ini.
Tragedi ‘65 jelas merupakan noda hitam sejarah bangsa Indonesia. Bayangkan, akibat intrik tingkat tinggi di pemerintahan, setidaknya 400,000 sampai 500,000 jiwa harus menjadi korban. Jumlah yang bukan main dan sangat serius. Kerusuhan yang terjadi di Aceh, Pasuruan, Bali, dan berbagai lokasi di Indonesia jelas meninggalkan trauma yang mendalam bagi keluarga korban. Orde Baru yang melakukan pembersihan pasca Gerakan 30 September (G30S) pun lepas tangan. Lima presiden yang menjabat setelah reformasi pun tidak banyak bersuara. Semuanya kicep, kecuali Gus Dur yang konon katanya pernah meminta maaf kepada Pramoedya Ananta Toer soal tragedi ini – tidak sebagai presiden, tapi sebagai Ketua Umum Pengurus Besar Nahdatul Ulama.
Di UGM, kenyataan ini sepertinya sudah dilupakan begitu saja. Setidaknya hal ini bisa terlihat dalam publikasi terkait agenda sosialisasi yang diadakan PKM Center Fakultas Filsafat. Perpanjang tanganan PKM Center di tingkat fakultas ini, agaknya telah kehabisan akal untuk menggaet partisipan. Dua tahun tanpa gelar juara umum di Pekan Ilmiah Mahasiswa Naisonal, rupanya membuat banyak pihak kelabakan – sampai harus membuat tagline G30S/PKM. Bukan main kreatifnya.
Buat saya pribadi, menganggap sepele personalan tagline ini berarti melecehkan usaha rekonsiliasi yang tempo hari dilakukan aktivis dan kelompok-kelompok masyarakat di International Peoples’ Tribunal. Sebab 30 September bukanlah sebuah perayaan yang harus diperingati, namun lebih sebagai bagian dari suatu rangkaian tragedi kemanusiaan yang terjadi setelahnya.
Bukanlah hal yang wajar untuk memplesetkan dan menertawakan sebuah tragedi kemanusiaan. Rasanya bebal sekali ketika kita melepaskan momen reflektif 30 September dari kenyataan bahwa setelah itu ada ratusan ribu orang mati dibunuh dengan keji. Ribuan orang yang disiksa, dipenjara, dan dipekerjakan di Pulau Buru. Kita juga harus mengingat ratusan pelajar kita yang terjebak di negeri orang setelah paspor mereka dicabut pasca G30S. Pada titik ini, rasanya kreativitas orang-orang di PKM Center sudah kebablasan.
Entah kebijakan macam apa yang menyebabkan tagline ini muncul di kanal resmi PKM Center. Ditengah desakan untuk melakukan permohonan maaf ke publik terkait perannya saat ‘65, PKM Center – khususnya Fakultas Filsafat – justru menjadikan tragedi ini sebagai bahan publikasi — yang bukannya menarik banyak peminat, tapi justru berpotensi memperkeruh suasana. Sebab, dibandingkan dengan publikasi fakultas lain, kelihatannya hanya Fakultas Filsafat yang punya cara nyeleneh dalam mempromosikan PKM.
Pertanyaan besar saya ini pada akhirnya bermuara pada ide publikasi itu sendiri. Menggunakan gaya artistik seadanya yang – menurut tebakan saya – dikerjakan dalam waktu kurang dari lima belas menit. Tanpa ilustrasi. Seolah menggambarkan kalau si penggarap benar-benar dikejar deadline, sampai melupakan kemungkinan-kemungkinan apa yang akan muncul ketika tragedi kemanusiaan itu dijadikan plesetan. Agaknya, kesadaran sejarah kita masih cukup buruk, atau memang standar etis kita yang memang sudah bobrok?
Kalau dilihat lebih jauh, PKM dan usaha memfasilitasi mahasiswa Indonesia untuk mengkaji, mengembangkan dan menerapkan ilmu dan teknologi, sebenarnya tidak lebih dari jargon semata. Sebab pada hakikatnya, PKM tidak lebih dari sebuah kompetisi biasa. Ajang perebutan medali bagi perguruan tinggi di Indonesia. Pernyataan bahwa PKM adalah usaha meningkatkan lulusan yang berkualitas dan unggul, tak lebih dari pernyataan politis nan retoris yang dilontarkan Direktur Kemahasiswaan UGM (Baca: BALKON Edisi 151 Desember 2015, Dilema Kreativitas Wajib PKM Mahasiswa Bidikmisi). Sebab, UGM hari ini nyatanya tidak memposisikan mahasiswa sebagai subjek yang sadar, namun, mengutip pernyataan Senawi, “Mahasiswa itu objek yang dikelola oleh bisnisnya UGM,” (Baca: BALKON Edisi Khusus September 2015, Pembaharuan Program Ditmawa Nihil Dialektika).
Sebagai objek yang dikelola UGM, mahasiswa harus dipoles sedemikian rupa untuk menjadi lulusan yang kinclong dan punya nilai jual di dunia industri. Maka PKM merupakan sarana yang tepat untuk memberi nilai tambahan bagi barang dagangan UGM. Selain itu, hal lain yang patut jadi persoalan adalah keberlanjutan hasil penelitian ataupun karya PKM itu sendiri. Dari yang sudah-sudah, hasil penelitian PKM paling banter diterbitkan dalam jurnal ilmiah tingkat fakultas.
Untuk PKM yang menghasilkan produk kongkret, opsi pengembangan mungkin masih bisa dilakukan. Tapi yang jelas, untuk merealisasikannya butuh dana yang besar. Tidak mungkin untuk dapat berlangsung tanpa sokongan dari pihak lain. Kerjasama dengan Direktorat Pengembangan Usaha dan Inkubasi sebagai upaya UGM dalam mengimplementasikan hasil penelitian mahasiswa, masih tidak jelas alurnya. Kalau bukan si empunya karya yang putar otak, tentunya hasil PKM ini akan terbuang percuma.
Maka percayalah, UGM hanya peduli soal jumlah proposal yang masuk dan dibiayai. Soal berapa banyak PKM yang lolos Pekan Ilmiah Mahasiswa Nasional. Juga soal jumlah medali yang mampu diraih. Lebih dari itu, ora urusan. Lihat saja intensitas sosialisasi PKM yang cukup sering dilakukan menjelang deadline pengumpulan proposal. Model acara dengan judul “100 Proposal PKM” atau tagline “G30S/PKM” itu tadi. Sementara itu, tidak ada satupun acara yang membahas soal “Apa yang bisa saya lakukan dengan hasil PKM saya?”.
Maka jangan heran apabila judul proposal yang masuk biasanya buruk –atau bahkan tidak layak untuk dikatakan sebagai sebuah judul proposal penelitian. Sebab yang terpenting bukan kualitas, tapi kuantitas. Saya teringat dengan ucapan salah seorang kawan dari Natas, Lembaga Pers Mahasiswa Universitas Sananta Dharma, bahwa elit kampus hari ini memang lebih senang membesarkan nama yang sudah besar. Sebuah pernyataan yang cukup menyentil buat saya.
Melihat kenyataan ini, sepertinya kita dapat menarik sebuah kesimpulan sederhana. Buat PKM, semuanya halal. Jangankan untuk menggelapkan dana proposal PKM, memplesetkan sebuah tragedi besar kemanusiaan pun bukan masalah besar. Pada titik ini, harusnya kita berkontemplasi senejak, merenungkan apakah memang nilai sebuah medali dan gelar juara umum itu lebih penting ketimbang nyawa ratusan ribu korban tragedi kemanusiaan?
Faisal Nur
Mahasiswa Fakultas Filsafat UGM