Informasi Buku
Judul : 1984
Penulis : George Orwell
Penerjemah : Landung Simatupang
Penerbit : Bentang Pustaka
Tebal Buku : 408 halaman
Cetakan : Agustus 2016
Dalam novel “1984”, Orwell menggambarkan pemerintahan yang menggunakan alat pengawasan untuk melanggengkan kekuasaan. Dalam konteks saat ini, gagasan pengawasan tersebut dapat dilihat dalam internet.
Eric Arthur Blair atau lebih dikenal dengan nama pena George Orwell bisa dibilang sebagai seorang penulis yang visioner. Novelnya yang berjudul “1984”, yang diterbitkan pada 1949, adalah sebuah novel dystopia tentang kondisi dunia di masa depan yang dipimpin oleh pemimpin diktator. Setelah novel tersebut terbit, banyak orang yang membacanya sebagai ramalan. “1984” yang berceritakan dunia dalam genggaman diktator memberi gambaran menakutkan bagi pembaca masa itu tentang masa depan mereka. Saat tahun 1984 mendekat, penduduk dunia semakin tegang dengan kemungkinan masa depannya.
Kini, tahun 1984 sudah terlewat. Kita telah berada 32 tahun dari 1984, dan 67 tahun dari peluncuran pertama novel “1984”. Namun, apakah novel ini masih relevan untuk dibicarakan dan didiskusikan kembali? Mengapa kita butuh membahas sebuah karya sastra yang membicarakan masa depan yang sudah terlewat?
Melihat kondisi masyarakat saat ini, “1984” menjadi relevan untuk diangkat kembali. Ada banyak isu kontemporer yang telah di-”ramal” oleh Orwell sejak 67 tahun lalu. Meski Orwell mungkin tak berniat menulis “1984” sebagai sastra yang bertujuan meramal masa depan. Salah satu pembahasan yang relevan untuk dibahas kembali adalah perihal teleskrin dan pengawasan masyarakat sipil.
Dengan hadirnya internet, permasalahan pengawasan menjadi layak dibahas karena banyaknya kasus yang muncul. Contoh, banyak situs daring yang bisa melacak aktivitas penggunanya dan menggunakan informasi tersebut untuk berbagai keperluan seperti melacak preferensi belanja, preferensi hobi, sampai preferensi pacar. Contoh lain, situs sosial media yang mempunyai berbagai informasi mengenai penggunanya bahkan hingga informasi yang privat, seperti alamat rumah, alamat email, dan lain-lain. Lalu, menjadi penting untuk melihat bagaimana pengawasan dalam skema “1984” bekerja dan relevansinya dengan saat ini.
Dalam semesta novel “1984”, ada satu alat yang digunakan pemerintah untuk mengawasi dan mengendalikan perilaku masyarakat. Alat itu bernama telescreen (teleskrin). Teleskrin digunakan pemerintah untuk mengawasi warganya dan mencegah terjadinya tindak yang tidak diinginkan, seperti makar. Alat tersebut sebenarnya bukan hanya alat mata-mata, melainkan juga propaganda. Cara kerja teleskrin sama seperti televisi. Bedanya, tidak ada yang bisa mematikannya. Perbedaan lainnya adalah teleskrin bisa digunakan sebagai alat pengawas. Jadi, selain orang menontonnya, orang tersebut ditonton tingkah lakunya.
Novel “1984” bercerita tentang suatu masa di sekitar tahun 1984. Orwell menggambarkan masa itu sebagai masa yang penuh penderitaan. Dalam semesta “1984”, dunia dibagi menjadi tiga poros kuasa; Oceania, Eurasia, dan Eastasia. Setiap negara dipimpin oleh satu partai. Mereka semua berhaluan sosialis. Setiap negara juga menerapkan sistem totalitarian. Novel ini fokus menceritakan Oceania, khususnya London dimana sang tokoh utama hidup. Oceania dipimpin oleh Big Brother (Bung Besar) yang wajahnya tertera di poster-poster di berbagai penjuru negara. Sistem kediktatoran yang diterapkan membuat semua warganya harus tunduk dan patuh. Kedisiplinan ini sifatnya menyeluruh. Mulai dari jadwal bangun tidur, hiburan, buku yang dibaca, bahkan ekspresi muka dan pikiran.
Teleskrin adalah kunci Partai dan Bung Besar melanggengkan kekuasaannya. Selain sebagai media doktrinasi, teleskrin adalah sebuah alat yang efektif untuk mengendalikan tingkah laku seseorang. Teleskrin adalah sarana yang efektif dan efisien dalam mempertahankan kekuasaan, menebar ketakutan, dan memodifikasi tingkah laku. Dengan adanya teleskrin, pemerintah Oceania dapat segera mencegah adanya indikasi penyelewengan atau pemberontakan dari warganya. Teleskrin juga sekaligus membuat warga Oceania yang mempunyai pandangan berbeda takut menyuarakan gagasannya dan menyimpannya agar tak kena hukuman. Dengan begitu, tidak akan ada gerakan kolektif menentang pemerintahan, sebab bibit perlawanan sudah dibabat pada level individual.
Konsep teleskrin dapat dibilang menyerupai konsep Panopticon yang dicetuskan oleh Jeremy Bentham lalu kemudian dikembangkan oleh Michel Foucault. Dalam Discipline and Punish: The Birth of The Prison, Foucault menjelaskan bahwa panopticon adalah sebuah rancangan arsitektur penjara yang dibuat Jeremy Bentham untuk memaksimalkan fungsi penjara. Dalam skema penjara panopticon, penjara dibuat berbentuk lingkaran dan di bagian tengahnya terdapat menara pusat. Sel penjaranya berada di pinggir lingkaran. Pada setiap sel, terdapat jendela yang memungkinkan menara pusat untuk melihatnya. Namun, sang tahanan penjara tidak dapat mengetahui apakah dia sedang diawasi atau tidak. Maka, ia akan selalu bertindak seakan-akan ia diamati.
Ada dua aspek yang penting; visibile (terlihat) dan unverifiable (tak bisa dipastikan). Visible berarti subjek yang diawasi atau tahanan penjara melihat dan tahu bahwa ada yang mengamatinya. Unverifiable berarti subjek tidak tahu apakah ia sedang diawasi atau tidak. Dengan perasaan selalu diawasi, Foucault berkata bahwa power (kuasa) akan bekerja secara otomatis. Cara kerja teleskrin dan panopticon sama; menggunakan pengawasan untuk memaksa subjek yang diawasi berperilaku sesuai yang diharapkan. Dalam aspek visible, teleskrin dan panopticon mempunyai kesamaan. Keduanya sama-sama dapat dilihat oleh subjek yang diawasi.
Kesamaan teleskrin dan panopticon juga ada pada sisi unverifiable. Pada halaman 4 novel 1984 tertulis, “Tentu saja mustahil diketahui apakah seseorang sedang diawasi atau tidak. Seberapa sering atau dengan sistem apa Polisi Pikiran menyadap kabel pikiran seseorang, itu teka-teki…Orang harus menjalani kehidupan dengan anggapan bahwa tiap suara yang dibuatnya kedengaran, dan tiap gerak, kecuali dalam gelap, diamati dan diperiksa cermat; dan memang itulah yang terjadi, berkat kebiasaan yang lalu menjadi insting.” Jadi, subjek panopticon dan teleskrin harus mengandaikan dirinya selalu diawasi. Sehingga, subjek akan bertingkah laku sesuai dengan apa yang diperintah.
Gagasan pengawasan yang dihadirkan Orwell mempunyai kesamaan dengan internet. Saat ini, internet juga dilakukan untuk pengawasan. Namun, pola kerja pengawasan yang ada di internet berbeda dengan teleskrinnya Orwell dan panopticon-nya Foucault. Hal yang membedakan panopticon dan teleskrin dengan internet adalah unsur visible. Carlo Bordoni, seorang pakar sosiologi cum jurnalis asal Italia, mengatakan bahwa, “The new Panopticon already exists, it is the web: surveillance is being carried out but not visibly so, and with the maximum discretion.”[1] Bordoni mengutip Zygmunt Bauman, pakar sosiologi Polandia, menjelaskan bahwa jaringan global di era sekarang membuat kita semua dapat terlihat dan dapat diobservasi oleh kekuatan yang tak terlihat.
Internet juga tidak mempunyai unsur unverifiable. Orang bahkan tidak sadar bahwa mereka diamati. Terlebih, orang secara sadar dan sukarela menggunakan internet. Berbeda dengan penjara panopticon dan warga Oceania yang diawasi dalam keadaan terpaksa. Dengan keadaan sukarela, orang menjadi tidak merasa diawasi dan tidak sadar kalau diawasi. Internet, berbeda dengan panopticon dan teleskrin, tidak menghasilkan suatu perasaan terus menerus diawasi yang kemudian mengatur perilaku penggunanya.
Saat ini, kita tahu bahwa seluruh aktivitas manusia di internet terbuka. Kita diawasi. Setiap jejak langkah kita di internet dapat dilihat. Ada dua agen yang menjadi pengawas; kapitalis dan pemerintah. Kapitalis atau korporasi besar di internet menggunakan situsnya sebagai alat pengawas dan pengeruk data. Tercatat 50% dari situs populer di internet menggunakan cookies untuk mengeruk informasi. Berbagai situs di internet yang sering kita gunakan seperti Google, Facebook dan Twitter, mengeruk informasi pribadi kita untuk kepentingan mereka. Data pribadi yang didapatkan digunakan sebagai informasi untuk mengoptimalkan iklan. Informasi pribadi digunakan untuk mencari preferensi pribadi sehingga iklan dapat bekerja dengan tepat sasaran.
Selain kapitalis, pemerintah juga melakukan hal yang sama. Pada 2013 lalu, Edward Snowden mengungkapkan ke beberapa jurnalis tentang aktivitas National Security Agency (NSA). Amerika Serikat yang mengawasi berbagai hal di internet. Pemerintah dengan pengawasan melalui internet dapat “menelanjangi” warganya dengan mengetahui segala informasi dan aktivitasnya di internet.
Pengawasan di era internet seperti ini berbeda tujuannya dengan pengawasan panopticon atau teleskrin. Pengawasan panopticon dan teleskrin digunakan untuk membenahi perilaku seseorang. Sedangkan, pengawasan saat ini (internet) digunakan untuk mengeruk informasi sebanyak-banyaknya untuk kemudian dimanfaatkan. Yang dapat memanfaatkan informasi tersebut tentu yang mempunyai akses kepada informasi itu; kapitalis dan pemerintah. Keduanya memanfaatkan data pribadi untuk keperluannya masing-masing.
Kapitalis menggunakan informasi yang didapat untuk meningkatkan tingkat keuntungan. Data-data pribadi digunakan untuk keperluan iklan. Informasi seperti lokasi, nama, hobi, aktivitas pencarian, musik yang sering didengar, video yang sering ditonton, semua dikeruk dan digunakan dalam rangka meningkatkan penghasilan. Semua data itu digunakan untuk mengetahui apa yang kita pikirkan. Lalu, mereka bisa mengiklankan produk yang sesuai dengan keinginan kita. Kapitalis internet mendapatkan sarana meningkatkan pendapatan secara cuma-cuma melalui informasi yang kita tinggalkan di internet.
Pemerintah menggunakan informasi yang didapat dari pengawasan internet untuk kepentingan politiknya. Misal, untuk memata-matai pihak yang diduga bersalah. Bisa juga untuk mengawasi gerak-gerik seseorang yang mencurigakan dan membahayakan stabilitas negara. Informasi itu dapat juga digunakan untuk mencegah terjadinya terorisme. Namun, dengan hal tersebut, rakyat tidak ada yang bisa bersembunyi dari pemerintah. Dengan kuasa pemerintah atas ranah privat warganya, mungkinkah dalih keamanan ini akan berujung pada kendali pengawasan seperti yang terjadi di “1984”?
Dengan membaca “1984” dan membenturkannya dengan keadaan saat ini kita bisa menarik satu gagasan yang menarik. Kita mungkin tidak hidup dalam rezim totaliter seperti di “1984”. Tidak ada teleskrin di sekitar kita. Tidak ada Bung Besar yang mengintai kita. Namun, apakah keadaan sekarang lebih baik dari apa yang di-”ramal”kan Orwell? Kita memang tidak hidup di bawah Bung Besar, tapi kita hidup di bawah dua penguasa; kapitalis dan pemerintah. Dengan kenyataan bahwa seluruh tindakan kita di dunia maya tidak lepas dari intaian dua mata itu, apakah kita lebih bebas dari warga Oceania? [Unies Ananda Raja]
[1] https://www.socialeurope.eu/2013/06/liquid-surveillance-when-panopticon-is-in-the-web/
2 komentar
Itu semua tergantung kepada setiap orang bagaimana dia menyikapi setiap permasalahan yg ada di era modern ini
Kebayang enggak kalo, timbangan amal lu di tentuin dari aktivitas lu di internet,
manusia aja bisa mengaplikasikan simulasi serupa. Ngerii