“Seni? Untuk Siapa?” Demikian bunyi tulisan yang terpampang besar dalam diskusi bertajuk “Seni Oentoek Rakjat” pada Selasa (30/08). Diskusi ini merupakan rangkaian terakhir dari serial diskusi Warung Politik yang dihelat oleh Korps Mahasiswa Politik & Pemerintahan FISIPOL UGM. Pembicara yang hadir dalam diskusi di taman Sansiro FISIPOL UGM ini, ialah Farid Stevy FSTVLST, Bagus Dwi Danto Sisir Tanah, Andrew Lumban Gaol Anti-Tank dan AC Andre Tanama, Dosen ISI Yogyakarta.
Farid menuturkan bahwa seni dan rakyat bukanlah suatu hal yang bisa diceraikan. Maka menurutnya penting bagi suatu karya seni untuk dapat dipahami, dan mewakili kegelisahan yang dirasakan rakyat. “Kalau seniman tidak menyadari bahwa dirinya adalah bagian dari rakyat, maka lebih baik karyanya dipamerkan di Mars atau Jupiter,” selorohnya.
Lain halnya dengan Farid, Andrew menekankan bahwa terminologi ‘seni untuk rakyat’ rasanya kurang pas untuk digunakan pada era ini. Ia lebih menyoroti perihal seni yang berpihak. “Nilai kemanusiaan kita adalah menunjukkan ekspresi itu, dan ekspresi itu harus ditunjukkan dengan arah pijakan yang jelas, yaitu keberpihakan,” tuturnya. Mengutip perkataan Howard Zinn “kamu tidak bisa netral di kereta yang sedang bergerak,” Andrew mengungkapkan bahwa seni adalah cara yang ia pilih dalam menunjukkan keberpihakan.
Ia menambahkan bahwa tidak seharusnya ada ruang netral atau ruang diam di tengah ketidakadilan yang banyak terjadi di era ini. Menyoal ketidakadilan di era ini, Andrew menyinggung kasus mahasiswa Papua, yakni Obi Kogoya, yang tengah diadili karena dianggap menyerang personel kepolisian. Menyetujui perkataan Andrew, Andre mengungkapkan bahwa seni memberi penyadaran. “ Dalam berkesenian, kita tidak bisa menginjakkan satu kaki di kanan, dan satu kaki di kiri. Tidak bisa netral,” ungkapnya
Menurut Andrew, seni yang tidak menunjukkan keberpihakannya, akan memberi pelajaran buruk bagi generasi setelahnya. Bagi Andrew, seniman yang tidak berpihak dapat menjadi alat penggilas korban pembangunan yang ada. “Itu yang terjadi di era sebelumnya dan kerap kita lakukan sebelum Soeharto lengser” ujarnya. Baginya, rezim Soeharto mampu bertahan selama 32 tahun lamanya lantaran banyak orang di masa itu yang diam, merasa netral dan merasa ini bukan bagian dari kepentingan intelektualnya. “Seniman yang progresif pada masa itu dituduh PKI dan ada ketakutan untuk menyentuh area itu,” tambahnya.
Seniman Anti-Tank ini menuturkan bahwa memupuk ketidakpedulian atas nasib orang lain adalah bahaya laten. Baginya, setiap manusia saling berpengaruh satu sama lain juga antar generasi. Ia memandang adanya urgensi peran seni di situ. “Bukan mengontrol perubahan sosial tapi peran seni dalam mendorong usaha-usaha kemanusiaan,” pungkasnya
Meski demikian, Bagus Dwi Danto, atau yang akrab disapa Danto, mengungkapkan bahwa setiap karya berkemungkinan untuk menjadi karya seni. Vokalis sekaligus gitaris Sisir Tanah ini mengungkapkan bahwa penting untuk saling menghargai karya seni satu sama lain, karena perbedaan tersebut yang kemudian dapat mengisi kekosongan celah-celah dalam berkesenian.
Andre mengungkapkan bahwa seni adalah jiwa. Baginya, seni haruslah memberi nilai karena terdapat ikatan yang erat antara seni dan kehidupan. Dosen ISI Yogyakarta ini bertutur bahwa seni bukanlah perkara menang dan kalah, namun seni adalah sebuah perjalanan, proses dan penziarahan. “Seni akan selalu mempertanyakan dan mengevaluasi diri. Selalu ada retrospeksi, proses kembali menilik seni itu sendiri,” tutur Andre.
Sedang Farid menggarisbawahi bahwa seni merupakan sesuatu yang memberi nilai tambah dalam hidup, supaya bisa berguna bagi orang lain apapun bentuknya. “Tukang bakmi misalnya, dia juga berkesenian, selama dia menjual bakmi yang ketika dimakan orang lain mampu menghamburkan keresahan-keresahan orang tersebut,” imbuh pelantun lagu Menantang Rasi Bintang itu. [Krisanti Dinda]