Jumat (12/8) lalu, Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) memperkenalkan diri dengan membuka stand di acara Gelanggang Expo UGM. GMNI mendapat kesempatan untuk mengisi stand komunitas non-UKM yang kosong di acara tersebut. Namun kurang dari empat jam setelah open gate, stand GMNI yang sudah berdiri diminta untuk segera dibubarkan oleh Panitia. Keberadaan stand Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) pun dipertanyakan oleh berbagai pihak. Pasalnya, hadirnya GMNI sebagai organisasi ekstra kampus dianggap bertentangan dengan Keputusan Dirjen Pendidikan Tinggi nomor 26/DIKTI/KEP/2002 tentang Pelarangan Organisasi Ekstra Kampus atau Partai Politik dalam Kehidupan Kampus. Dalam peraturan tersebut, diputuskan bahwa âmelarang segala bentuk organisasi ekstra kampus dan Partai Politik membuka Sekretariat (Perwakilan) dan atau melakukan aktivitas politik praktis di kampus.â
Poin yang menarik dan sekaligus membingungkan dalam peraturan tersebut hadir pada frasa âaktivitas politik praktisâ. Meskipun tidak memiliki definisi baku, secara garis besar kita dapat memahami hal tersebut sebagai âupaya-upaya politik yang dilakukan untuk mendapatkan kekuasaan formal, baik legislatif maupun eksekutifâ. Keterangan dari beberapa pihak mengatakan bahwa permasalahan âaktivitas politik praktisâ yang dilakukan GMNI terletak pada atribut-atribut yang digunakan pada stand. Adanya atribut-atribut GMNI yang terpampang di stand pameran pada dasarnya tidak bisa dikatakan sebagai langkah-langkah politik praktis. Pemaknaan terhadap politik praktis yang demikian cenderung bersifat asumtif dan tidak berdasar. Ketika kita berbicara tentang aktivitas politik praktis, kita berbicara bagaimana partai politik berusaha mendapatkan suara untuk duduk di parlemen, bagaimana upaya-upaya partai politik untuk memperoleh legitimasi kekuasaan, dan lain sebagainya. Jelas, bahwa aktivitas politik praktis sangat erat kaitannya dengan orientasi kekuasaan formal.
Berbicara lebih jauh mengenai hal ini, organisasi ekstra kampus pada dasarnya hadir sebagai wadah pembelajaran bagi mahasiswa. Dalam organisasi ekstra kampus, mahasiswa memang dilatih dalam iklim pendidikan politik, namun bukan semata-mata untuk beraktivitas dalam ranah politik praktis. Dalam iklim interaksi organisasi ekstra, mahasiswa tetap memiliki ruang dan bebas untuk menentukan pilihan dan berkegiatan sesuai dengan disiplin ilmu, minat dan kemampuan masing-masing.
Organisasi ekstra kampus membekali mahasiswa dengan kerangka berpikir ideologi. Lebih jauh, organisasi ekstra kampus mampu menyesuaikan diri dengan kebutuhan mahasiswa dan menjadi ruang yang luas bagi mahasiswa interdisipliner ilmu. Maka, menutup diri dari keberadaan organisasi ekstra kampus juga berarti menutup diri dari edukasi dan penyadaran politik bagi mahasiswa.
Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia adalah organisasi mahasiswa ekstra kampus yang memberikan pendidikan politik dan ideologi dalam kerangka berpikir kebangsaan Indonesia. GMNI banyak berbicara dan berdialektika tentang Pancasila, Marhaenisme, multikulturalisme, ide-ide Soekarno sebagai Pemimpin Besar Revolusi Indonesia, dan lain sebagainya yang semakin meningkatkan kesadaran politik mahasiswa. GMNI sebagai organisasi juga mencoba membantu mengembangkan kapasitas mahasiswa baik dalam bidang akademis dan non akademis. Artinya, GMNI dan juga organisasi ekstra kampus lainnya menjadi ruang edukasi baik politik dan non politik bagi mahasiswa dengan berdasar pada corak ideologi yang dimiliki oleh masing-masing organisasi.
Bagi sebagian pihak, GMNI dianggap memiliki afiliasi dengan partai politik tertentu dan lain sebagainya. Padahal sejak tahun 1976, GMNI menjadi organisasi independen yang secara struktural tidak memiliki hubungan/berafiliasi dengan partai manapun. Hal tersebut merupakan salah satu poin dari tiga hasil Kongres VI GMNI. Dua poin lainnya yakni penyatuan faksi-faksi yang ada di GMNI dan rekonsiliasi dengan powersharing untuk mengisi struktur kepemimpinan nasional.
Keberadaan dan Independensi GMNI didukung dengan landasan yuridis yang termaktub dalam Keputusan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia nomor AHU-00235.60.10.2014 Tahun 2014 Tentang Pengesahan Pendirian Badan Hukum Perkumpulan Gerakan Mahasiswa Nasional. Sejak saat itu GMNI merupakan organisasi independen yang bebas dari afiliasi partai politik dan tidak terlibat dalam mobilisasi massa saat praktik elektoral baik ditingkat lokal maupun nasional berlangsung.
Keputusan Dikti yang lahir pada tahun 2002 tersebut jelas mengarah kepada pembatasan terhadap ruang gerak mahasiswa di kampus. Kebijakan tersebut juga jelas merupakan bentuk diskriminasi terhadap wadah edukasi politik mahasiswa. Perlu ada penekanan penting bahwa edukasi politik berbeda dengan aktivitas politik praktis. Maka, dapat dikatakan bahwa Keputusan Dikti tahun 2002 tersebut merupakan buah dari noda-noda Orde Baru yang masih ada sampai hari ini. Argumen tersebut menjadi logis mengingat dalam perjalanan bangsa Indonesia, terdapat Normalisasi Kehidupan Kampus-Badan Koordinasi Kemahasiswaan (NKK-BKK) yang secara tidak langsung menjadi acuan pemberangusan kesadaran politik di kalangan mahasiswa. Kebijakan yang hadir pada tahun 1979 tersebut jika ditelisik lebih lanjut memang merupakan upaya untuk meredam potensi mahasiswa yang mampu untuk mengancam kesewenang-wenangan rezim otoriter Orde Baru. Ada relasi historis antara NKK-BKK yang lahir pada masa Orde Baru dengan Keputusan Dikti tahun 2002 yang melarang adanya aktivitas organisasi ekstrakampus.
Kebijakan tersebut memang ada dan masih diberlakukan. Namun, perlu kita refleksikan bersama terkait dengan relevansi Keputusan Dirjen Pendidikan Tinggi nomor 26/DIKTI/KEP/2002 yang menjadi dasar hukum dipermasalahkannya GMNI hadir di salah satu acara UGM tersebut. Keputusan tersebut perlu dikaji ulang berlandaskan konteks hari ini yang tentunya berbeda dengan konteks Orde Lama dan Orde Baru. Kita tentunya berharap supaya pikiran-pikiran yang berlandaskan pada ketakutan dan pikiran negatif lainnya tentang organisasi ekstrakampus tidak lagi dimiliki oleh segenap mahasiswa. Kita sebagai mahasiswa jelas menentang praktik pembodohan yang dilakukan secara sistematik, menentang kesewenang-wenangan, dan pembatasan edukasi politik di kalangan mahasiswa.
Universitas Gadjah Mada adalah Kampus Kerakyatan sekaligus Kampus Pancasila. Karakter ini pula yang jelas terkandung dalam statute UGM. UGM pula adalah ruang untuk mendapatkan pengetahuan seluas-luasnya dan belajar untuk menentukan keberpihakan kita dalam menghadapi suatu persoalan. GMNI sebagai sebuah gerakan mahasiswa mencoba untuk menekankan kembali nilai-nilai tersebut. Nilai-nilai Pancasila dan multikulturalisme menjadi kerangka berpikir kebangsaan dan membangun nasionalisme Indonesia. Maka, sungguh menjadi aneh ketika gerakan mahasiswa yang mencoba untuk menanamkan nilai-nilai kebangsaan Indonesia justru dijauhkan bahkan ditolak keberadaannya di Kampus. Kenyataan yang kita hadapi saat ini sudah seharusnya menjadi keresahan dan tantangan bersama bagi seluruh elemen gerakan atau organisasi ekstra kampus, tidak hanya GMNI. Kedepan pembahasan terkait Ketetapan Dikti tersebut dapat kita diskusikan untuk dilakukannya perubahan agar peraturan yang ada dapat terimplementasi sesuai dengan konteks yang ada saat ini. Sehingga peraturan yang ada akan berdampak positif bagi iklim pendidikan di Indonesia bukan sebaliknya, yang justru meredam dan menyesatkan alam pikiran mahasiswa Indonesia yang penuh kreativitas dan inovasi yang bersifat konstruktif bagi pembangunan bangsa.
Oleh:
Aloysius Anandyo, Andrian Yuniantoko, Aris Setiawan, Nicko Mardiansyah