Sejak 2010, pemerintah telah menekankan komitmennya dalam memerangi terorisme. Hal ini ditunjukkan dengan pembentukan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme dan Detasemen Khusus 88 di tubuh kepolisian yang berupaya melakukan pemberantasan jaringan terorisme di Indonesia.
Usaha ini di lain pihak, mendapat sorotan dari pegiat hak asasi manusia di tanah air. Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) misalnya, dalam laporan yang dirilis ke publik, menemukan adanya indikasi pelanggaran hak asasi manusia yang dilakukan Densus 88 terhadap kasus yang menimpa Siyono, terduga teroris di Klaten, Jawa Tengah, yang tewas ditahan. Pada tahap ini, pemberantasan terorisme di Indonesia masih menyisakan banyak pekerjaan rumah.
Berbekal keresahan ini, Tim BPPM Balairung UGM menemui Syafii Maarif, sejarawan sekaligus tokoh nasional yang pernah memimpin Tim 9 dalam menyelesaikan konflik antar Komisi Pemberantasan Korupsi dan Kepolisian Republik Indonesia. Ditemui selepas mengisi orasi kebudayaan di Fakultas Kehutanan UGM pada senin (08/8) lalu, penulis buku Islam dan Masalah Kenegaraan ini berpendapat bahwa program pemberantasan terorisme di Indonesia masih belum efektif, karena bukannya mencari akar masalah, tapi masih berfokus pada area hilir permasalahan terorisme di Indonesia. Pada titik itu, Buya Syafii – panggilan akrab beliau – membicarakan relasi antara terorisme dengan kemiskinan.
Menurutnya, pemerintah harus mengurai permasalahan di hulu, yaitu kemiskinan dan kesenjangan sosial di masyarakat. Mengingat, bahwa tingkat kemiskinan di Indonesia pada tahun 2015 masih mencapai 11.47%. Meskipun menurut Badan Pusat Stastik dalam tiga tahun terakhir tingkat kemiskinan di Indonesia mengalami tren penurunan. Namun, hal ini masih harus dipercepat. Sebab, jumlah penurunan angka kemiskinan per tahun masih cukup rendah, yaitu 1% di tiap tahunnya.
Ketimpangan ekonomi ini menjadi cukup bermasalah apabila dibandingkan dengan jumlah penduduk Indonesia yang lebih dari 237.000.000 jiwa. Kepada Tim BPPM Balairung UGM, mantan ketua umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah ini memaparkan bahwa pelaku terorisme adalah korban kebiadaban global. Penduduk miskin yang kehilangan akses pendidikan menjadi sangat rentan terhadap gagasan radikal yang masuk ke doktrin-doktrin keagamaan. “Dengan dalil agama, mereka merasa benar di jalan yang sesat.” Jelasnya.
Keadaan ini diperkeruh dengan minimnya perhatian negara pada permasalahan ini. Kekecewaan yang timbul terhadap institusi negara ini akhirnya dilampiaskan lewat tindak terorisme. Dengan dalil jihad dan iming-iming mati syahid, pelaku terorisme ini mendapatkan harapan baru yang jauh mengawang-awang. “Teologi maut semacam ini adalah peradaban rendah. Ini teologi yang gak benar,” ujarnya.
Perkembangan teknologi informasi yang meruntuhkan batasan politik dan geografis pun melahirkan fenomena terorisme gaya baru (New Terrorism). Dengan jaringan yang lebih fleksibel, terorisme gaya baru jelas mampu membedakan dirinya dengan model sebelumnya. Strategi taktis yang mampu memangkas hambatan komunikasi dengan sedemikian rupa, telah berhasil menjalankan fungsi organisasi di luar struktur hierarkis yang ada. Sehingga dampak yang dihasilkan menjadi lebih lebih berbahaya ketimbang model terorisme yang berkembang di era sebelumnya.
Integrasi nasional perlu dilihat sebagai strategi taktis optimalisasi potensi kebangsaan. Karena bangsa Indonesia memang sangat heterogen. Dengan perlakuan dan koordinasi yang tepat, identitas kebangsaan semacam ini akan mampu bertahan dan membentengi diri dari paham radikal seperti terorisme. “Sekarang tinggal bagaimana bangsa Indonesia mampu merealisasikan filosofi dasar kebangsaan yang sudah sedemikian bagus itu.” jelas alumnus IKIP Yogyakarta ini. [Faisal Nur]