Sebuah program pembaharuan pola pikir agama perlu dikedepankan untuk menjadikan agama sebagai landasan berpikir rasional.
Sekularisme. Sebuah kata yang berasal dari bahasa Yunani “saecular” yang berarti “keduniawian”. Maka tidak mengherankan ketika kata yang kemudian ditulis “secular” dalam bahasa Inggris ini, selalu dikaitkan dengan kehidupan duniawi. Istilah “sekularisme”, pertama kali diperkenalkan oleh filsuf George Jacob Holyoake pada tahun 1846. Menurutnya, sekularisme adalah suatu sistem etik yang didasarkan pada prinsip moral alamiah, terlepas dari agama, wahyu, dan supernaturalisme.
Pada perkembangannya, sekularisme memandang bahwa agama harus dipisahkan dari kehidupan bermasyarakat, seperti kehidupan politik dan ekonomi. Bahkan pemikiran yang lebih ekstrem muncul pada abad sembilan belas hingga abad dua puluh. Pada masa ini paham sekularisme tidak hanya memandang bahwa agama harus dipisahkan dari urusan negara saja, namun juga menganggap bahwa agama harus ditinggalkan oleh manusia supaya merdeka. Seperti yang disebutkan oleh Karl Marx, bahwa agama hanyalah candu rakyat yang tidak menghasilkan solusi nyata dalam peningkatan kesejahteraan material.
Akar historis dari konsep sekularisme tidak dapat dipisahkan dari sejarah Kristen di dunia Barat pada abad pertengahan. Pada masa itu, terjadi ketidaksinkronan antara hasil penemuan sains di satu pihak dan dogma Kristen di pihak lain. Hukuman mati yang menimpa Galilleo dan Copernicus dikarenakan penemuan mereka, merupakan dua contoh dari ketidaksinkronan tersebut. Hal ini yang kemudian mendorong masyarakat pada zaman itu untuk memisahan antara hal-hal yang menyangkut agama dan nonagama.
Problematika sekularisme inilah yang yang mendorong Kuntowijoyo untuk mencari solusi dan menuangkannya dalam bukunya yang berjudul Paradigma Islam: Interpretasi untuk Aksi. Dalam buku tersebut Kuntowijoyo mencoba menawarkan solusi untuk mengahapi permasalahan sekularisme di zaman sekarang dan juga masa depan. Kata paradigma sendiri dapat diartikan sebagai kerangka berpikir yang bisa diterapkan guna menghadapi permasalahan dalam kehidupan manusia.
Kuntowijoyo dalam bukunya berusaha menunjukkan bahwa sebenarnya agama dan pemikiran rasional tidak berlawanan. Mengingat latar belakang agama dan kepercayaan yang beliau anut, buku ini dikontekskan dalam pandangan agama Islam. Menurutnya, agama tidak berlawanan dengan pemikiran rasional. Bahkan sesungguhnya Islam mempunyai cara berpikir yang rasional dan empiris.
Banyak sekali anjuran dalam Islam mengenai pentingnya penggunaan akal pikiran dan pencarian pengetahuan melalui observasi. Selain itu, terdapat perintah-perintah eksplisit dalam kitab suci Al Quran kepada manusia untuk memperhatikan tanda-tanda yang ada di alam semesta, di dalam sejarah, dan di dalam diri kita sendiri. Salah satu contoh perintah tersebut adalah Q.S. Al A’raf ayat 176 yang berbunyi, “Demikian itulah perumpamaan orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Kami. Maka ceritakanlah (kepada mereka) kisah-kisah itu agar mereka berpikir.” Dalam ayat tersebut manusia diperintahkan untuk mengambil pelajaran dari kisah-kisah sebelum mereka dengan menggunakan akal pikiran yang mereka miliki.
Perintah-perintah tersebut mengisyaratkan bahwa Islam dalam kitab sucinya, sesungguhnya memiliki cita-cita rasional dan cita-cita empiris. Namun pada kenyataannya, banyak masyarakat muslim yang tidak menerapkan paradigma agama yang rasional dan empirirs tersebut. Mereka memandang sempit agama mereka sendiri. Misalkan saja mereka memandang kitab suci Al Quran secara tekstual dan dogmatis. Sehingga agama menjadi tidak rasional serta cita-cita empiris tidak dapat terlaksana. Hal inilah yang turut mendorong munculnya paham sekularisme yang memandang agama harus dipisahkan dari urusan dunia.
Dalam bukunya, Kuntowijoyo mengajukan lima program pembaharuan dalam pemikiran Islam yang dapat dilaksanakan dalam kehidupan masyarakat. Hal ini dilakukan untuk mewujudkan kembali cita-cita rasional dan empiris agama. Pembaharuan pemikiran yang dimaksud adalah kontekstualisasi pemikiran Islam agar sesuai dengan permasalahan yang sekarang kita hadapi, dan begitu pula sebaliknya.
Program pertama adalah pengembangan dari penafsiran individual menjadi penafsiran sosial struktural dalam memahami ayat Al-Qur’an. Misalnya, di dalam Al Quran terdapat larangan untuk hidup berlebihan. Jika ditafsirkan secara individual, maka kita akan cenderung menyalahkan orang-orang yang hidupnya berlebih-lebihan dalam hal materi. Hal ini dikarenakan kita melihat arti ayat tersebut hanya sebatas perintah untuk tiap individu.
Padahal dengan melihat penafsirannya secara sosial struktural, kita justru bisa menemukan akar masalah dari gaya hidup mewah itu sendiri. Misalnya, telah terjadi konsentrasi kapitalis di mana yang kaya semakin kaya dan yang miskin tetap miskin. Sistem kapitalisme semacam ini yang seharusnya dirombak agar tidak memungkinkan terjadinya hidup mewah yang berlebihan dan tidak sesuai dengan Al Quran.
Program kedua yaitu mengubah cara berpikir subjektif menjadi cara berpikir objektif. Mengenai perintah zakat misalnya, jika dilihat secara subjektif maka kita tahu bahwa orang yang melaksanakan zakat akan mendapatkan pahala . Hal ini karena secara subjektif kita hanya melihat kepada orang yang memberi zakat tersebut. Sementara jika kita berpikir secara objektif, kita bisa melihat bahwa kegiatan zakat ini telah meningkatkan kesejahteraan sosial bagi penerima zakat. Maka dapat disimpulkan bahwa sesungguhnya Islam ingin memperjuangkan kesejahteraan sosial melalui perintah zakat ini.
Program ketiga adalah mengubah cara pandang Islam yang normatif menjadi teoretis. Misalnya mengenai kata masakin, atau orang-orang miskin, dalam Al Quran. Dengan cara pandang normatif kata masakin tersebut kita artikan sebagai orang-orang yang kekurangan dan perlu dikasihani. Hal ini dikarenakan cara pandang normatif ini merupakan cara pandang yang kaku yang didasarkan pada norma sosial yang berlaku di masyarakat. Namun jika diliat melalui cara pandang teoretis, kata tersebut bisa kita rumuskan dalam kerang-kerangka teori ilmu. Kita bisa merumuskan mengenai kedudukan masakin dalam struktur masyarakat, seperti kedudukan kelas sosial dan ekonominya.
Program keempat, yaitu mengubah pemahaman ahistoris menjadi pemahaman historis. Berpikir ahistoris berarti kita memandang sejarah hanya sebagai pengetahuan. Sedangkan pemahaman historis berarti kita mencari solusi masalah yang kita hadapi saat ini, dari sejarah maupun ayat Al Quran. Yaitu dengan mengambil pelajaran dari sejarah yang memiliki kesamaan dengan masalah yang terjadi pada saat ini. Seperti kisah Nabi Musa melawan Firaun yang bisa dianalogikan sebagai perjuangan untuk melawan tirani.
Program yang terakhir yaitu bagaimana kita menafsirkan wahyu-wahyu yang bersifat umum menjadi wahyu yang spesifik dan empiris . Misalnya dalam sebuah ayat disebutkan bahwa Allah mengecam orang yang melakukan sirkulasi kekayaan di kalangan orang kaya saja. Ayat tersebut masih bersifat umum dan kaku. Jika ditafsirkan secara spesifik dan empiris, kita dapat menerjemahkan ayat tersebut dalam realitas sekarang. Yaitu bahwa Allah mengecam adanya monopoli dan oligopoli dalam sistem ekonomi politik. Dengan model penafsiran seperti ini, kita akan memahami Islam secara kontekstual dan dapat menumbuhkan kesadaran sosial. Sehingga, Islam lebih mengakar di tengah gejolak sosial sekarang ini.
Dengan model pemahaman Islam yang rasional dan empiris seperti tersebut di atas, Islam bisa dijadikan modal kita dalam berpikir rasional. Anggapan bahwa agama berlawanan dengan rasionalitas dapat dipatahkan. Maka urusan dunia yang banyak menuntut rasionalitas tidak perlu kita pisahkan dengan urusan agama. Anggapan sebagian ilmuwan bahwa sekularisme akan menggilas fungsi agama karena adanya kebudayaan rasional tidak perlu kita khawatirkan.
Buku ini enak dibaca dengan susunan kata dan kalimat yang mudah dipahami . Namun, terdapat beberapa istilah yang tidak biasa bagi orang awam sehingga menggagalkan pemahaman makna dari kalimat tersebut. Namun secara isi buku ini sangat informatif dan sangat relevan untuk dibaca. Dengan membaca buku ini pikiran kita akan terbuka, khususnya mengenai cara pandang Islam. Kita akan semakin melihat bahwa ketentuan-ketentan dalam agama sebenarnya tidak menghalangi kita untuk berbudaya rasional. Justru ketentuan-ketentuan itu bisa dipadukan dengan model berpikir rasional untuk menyelesaikan masalah yang kita hadapi.
Tak hanya untuk kalangan muslim, buku ini juga bagus bagi kalangan non muslim. Bagi yang menganut agama Islam bisa menjadikan buku ini untuk lebih memahami ketentuan-ketentuan dalam agama mereka. Sementara bagi pembaca non muslim bisa menjadikan buku ini sebagai referensi untuk mengetahui paradigma yang agamis. Selanjutnya, cara pandang tersebut dapat diterapkan dalam penyelesaian masalah yang dihadapai saat ini. (Nila Minata)