“Mereka dirampas haknya tergusur dan lapar, bunda relakan darah juang kami tuk membebaskan rakyat.” Itulah cuplikan lirik lagu darah juang yang dinyanyikan oleh ratusan mahasiswa dari berbagai fakultas di UGM dan beberapa pedagang kantin sosio humaniora (Bonbin) di Balairung, Gedung Pusat UGM pada Senin siang (11/04). Nyanyian itu mengiringi hearing yang direncanakan oleh pihak rektorat UGM. Aksi tersebut diinisiasi oleh gerakan Save Bonbin Movement (SBM) yang berasal dari beberapa mahasiswa pendukung renovasi Bonbin, bukan relokasi.
Awalnya, pihak rektorat UGM menjanjikan Dwikorita Karnawati, selaku rektor, untuk memimpin hearing. Namun, Ia berhalangan hadir karena harus menghadiri acara lain, sehingga digantikan oleh Senawi, Direktur Kemahasiswaan. Selain itu, Rektorat juga menginginkan hearing hanya diwakili oleh beberapa mahasiswa saja. Mahasiswa tetap bersikukuh ingin bertemu dengan Dwikorita dan hearing terbuka. Selang beberapa saat, akhirnya mahasiswa mendapati Dwikorita tengah menuntun sepedanya di taman Gedung Pusat, yang hendak melakukan survei pedagang Bonbin dan Pujale. Setelah bernegosiasi, Dwikorita pun menyanggupi hearing terbuka dengan mahasiswa di Bonbin.
Tumino, salah seorang pedagang Bonbin mengawali hearing dengan menceritakan sejarah perjuangannya di kantin Bonbin. Dulu, Koesnadi Hardjasoemantri, selaku Rektor UGM tahun 1986, saat itu pernah merelokasi pedagang di sekitar jalan Boulevard dengan alasan kebersihan dan keindahan pula. Akibat relokasi tersebut, dibangunlah Bonbin sebagai wadah pedagang berjualan. Ia menjelaskan bahwa, sejak dibangun ia perlu 10 tahun untuk memulai usaha dagang yang memadai. Ia menambahkan, Bonbin yang saat itu masih baru, membuat para pedagang mengalami kerugian material. Hal tersebut menyebabkannya menjual barang miliknya untuk menutup defisit anggaran. Oleh karena pengalaman tersebut, ia menolak relokasi Bonbin.
Penolakan juga diutarakan oleh Mokhamad Ali Zaeanal Abidin, mahasiswa Gizi Kesehatan ’12. Ali ikut mengkritisi alasan rektorat UGM yang merelokasi Bonbin dengan dalih kebersihan. Berdasarkan surveinya, semua kantin di UGM tidak memenuhi kriteria kesehatan pangan, termasuk Bonbin. Tetapi, masih dalam batas untuk layak dikonsumsi. Ali juga menambahkan, yang harus diperbaiki adalah layanan kebersihan di semua kantin UGM. “Oleh karenanya, relokasi Bonbin tak akan menyelesaikan masalah kebersihan pangan di UGM,” tegas Ali.
Sementara itu, Rizkiana, mahasiswa Perencanaan Wilayah Kota ’14 juga ikut mengkritisi perihal pengambilan kebijakan di UGM. Ia menyatakan bahwa, setiap pengambilan kebijakan, UGM hanya mementingkan pendapat dari pejabat rektorat, termasuk relokasi Bonbin. Ia menambahkan bahwa, tidak ada unsur mahasiswa ataupun pedagang yang dilibatkan untuk merancang kebijakan tersebut. “UGM bertolak belakang dengan dunia internasional yang mengutamakan perencanaan partisipatif,” tegas Rizkiana.
Setelah semua argumen telah disampaikan, Dwikorita menanggapi bahwa masih memungkinkan untuk perubahan kebijakan relokasi Bonbin. Senawi pun mengatakan hal yang serupa, bahwa hearing tersebut juga bukanlah yang terakhir dan akan ada hearing lanjutan. Namun, hearing lanjutan itu belum dapat dipastikan waktunya. Aksi sore itu ditutup dengan orasi oleh Joko Susilo, mahasiswa Manajemen Kebijakan Publik ‘13. “Coba hayati dengan hati, bukan otak korporasi. Relokasi bukan solusi, hanya memperparah situasi. Kehidupan rakyatmu tergantung disini!,” tungkas Joko. [Luthfian Haekal, Muhammad Farhan I. I]