Suasana kantin Mandiri Humaniora yang biasa disebut Bonbin Kamis pagi (07/4) terlihat sepi dari biasanya. Hari itu, para pedagang tidak berjualan. “Maaf Mas, sementara hari ini kami tutup,” cetus Surono, salah seorang pedagang kepada pengunjung Bonbin. Aksi tutup lapak sehari oleh pedagang ini merupakan respons dari turunnya Surat Peringatan Pertama (SP 1) pada Rabu sore (06/4). Aksi ini telah dimusyawarahkan oleh mahasiswa yang tergabung dalam gerakan #SaveBonbin Movement (SBM) dengan pedagang. Persiapan aksi dilakukan dua jam setelah SP 1 dengan nomor 0459/Dit.Aset/2016 sampai ke tangan pedagang Bonbin. “Kami bekerja sama, tidak ada yang mendominasi di persiapan aksi ini. Setelah sepakat, kami menumpuk meja di sisi lapak bersama-sama,” ungkap Syahdan Husein, salah satu mahasiswa yang tergabung dalam SBM dari Sastra Indonesia ‘15.
Pemogokan oleh pedagang bersamaan dengan penempelan kertas. Hampir 100 lembar kertas tertempel di seluruh sudut Bonbin. Salah satunya tertulis “Kami cuma mau minta makan nasi di bonbin, bukan minta makan uang di gedung rektorat kok.” Penempelan kertas dilakukan oleh mahasiswa simpatisan yang mengetahui rencana relokasi Bonbin.
Aksi ini merupakan aksi kedua yang dilakukan oleh pedagang bersama mahasiswa. Menurut laporan dari balairungpress dengan judul “Seruan Penolakan Relokasi Kantin Bonbin”, aksi pertama dilakukan pada Kamis (07/1) lalu.“Pedagang pun terkejut dengan turunnya SP 1 yang tiba-tiba,” ungkap Surono yang kerap dipanggil Wiwik itu. Hal itu, menurut Surono, karena tidak ada komunikasi terlebih dahulu antara pihak Direktorat Pengelolaan dan Pemeliharaan Aset (DPPA) dengan pedagang. Selain sebagai bentuk respons terhadap SP 1, aksi ini juga bertujuan untuk melihat respons masyarakat sekitar Sosio Humaniora ketika Bonbin akan dipindah sementara ke Pusat Jajanan Lembah (Pujale).
Di dalam SP 1 tersebut, tertulis dua poin alasan UGM mengingatkan para pedagang Bonbin untuk tidak lagi melakukan kegiatan berdagang dan kegiatan lain di lokasi Bonbin. Poin pertama berisi adanya pengalihan gardu listrik Fakultas Ilmu Budaya dan Fakultas Ekonomi dan Bisnis di lokasi Bonbin. Sedangkan poin kedua berisi rencana tata ruang yang tertera dalam Rencana Induk Kampus (RIK), bahwa area Bonbin merupakan area terbuka hijau. Terdapat pula peringatan bagi para pedagang Bonbin yang masih ingin melakukan usaha di wilayah UGM diminta untuk menandatangani surat pernyataan yang terlampir. Dalam surat pernyataan tersebut tertulis pedagang Bonbin bersedia direlokasi di kantin Pujale, dengan permohonan Pujale diperbaiki terlebih dahulu. Surat pernyataan tersebut dikembalikan ke DPPA paling lambat pada Jumat 22/4.
Menyikapi surat pernyataan tersebut, Widodo, salah satu pedagang Bonbin mengkritisi pernyataan UGM isi surat tersebut. Pedagang batagor itu mempertanyakan kejelasan kapan kantin Pujale selesai direnovasi, sedangkan pedagang bonbin diharuskan memindahkan barang-barang untuk berdagang sesegera mungkin. “Seharusnya, Pujale direnovasi terlebih dahulu, baru ditawarkan ke pedagang Bonbin,” imbuh Widodo.
Ketidakjelasan tempat baru untuk relokasi Bonbin membuat seruan penolakan relokasi semakin kencang. Hal tersebut untuk mempertahankan keberadaan bonbin agar tetap berada di tengah mahasiswa. “Kami mengusahakan adanya audiensi dengan pihak DPPA, pedagang, dan mahasiswa Senin mendatang,” ungkap Kevin Maulana Kurniawan, salah satu anggota SBM dari Ilmu Sejarah ‘13.
Dengan adanya aksi penolakan relokasi yang kedua ini, diharapkan DPPA dapat melihat bahwa pedagang masih menginginkan renovasi daripada relokasi, seperti yang ditawarkan sebelumnya. Senada dengan pernyataan Kevin, Syahdan mengungkapkan bahwa mahasiswa siap untuk bergerak bersama dengan pedagang. “Jika kemungkinan dua minggu mendatang ada respons dari DPPA yang mendesak relokasi, dan kemungkinan turun SP II, mahasiswa sudah siap untuk pasang badan,” tandasnya.
Aksi penolakan relokasi ini tersebar cepat via media daring. Banyak orang yang mendapatkan informasi dari aplikasi line yang menyebar foto dan status sejak Kamis pagi (07/4). Respons yang muncul dari konsumen beragam, beberapa calon pelanggan memutar balik dan ada juga yang diam membaca coretan di kertas yang tertempel di dinding. Kekecewaan juga sempat terucap dari Attiyah Zane, Sastra Asia Barat ’15. “Pemogokan yang hanya sehari ini merugikan mahasiswa, juga pedagang. Mahasiswa harus menahan lapar untuk sementara waktu, pedagang pun tidak mendapatkan penghasilan,” tuturnya.[Khumairoh, Muhammad Farhan I. I]