Kita harus berhenti menyalahkan asing atas kegagalan kita membangun industri nasional. Mungkin itu adalah salah satu faktor, namun faktor terbesar ada pada negeri kita. -Ilham Akbar Habibie-
Tahun 2011 dapat dianggap sebagai titik kebangkitan kembali industri dirgantara nasional. Pada tahun tersebut PT RAI (Regio Aviation Industry) resmi didirikan di Jakarta. PT ini bergerak di bidang produksi pesawat terbang komersil, bekerja sama dengan PT DI (Dirgantara Indonesia) yang telah lebih dulu memiliki hanggar produksi pesawat terbang di Indonesia. Kehadiran PT RAI sejenak mengingatkan kita kepada IPTN (Industri Pesawat Terbang Nusantara), industri strategis pada bidang kedirgantaraan yang menjadi primadona pada masa orde baru. Kedua perusahaan ini memang dibangun dengan cita-cita yang sama, yaitu mewujudkan Indonesia yang mandiri dalam bidang kedirgantaraan.
PT RAI mengawali langkahnya dengan meluncurkan megaproyek pesawat R-80 pada tahun 2013 silam. Pesawat ini memiliki kapasitas 80 penumpang, atau 20 lebih banyak dibanding pendahulunya, N-250 buatan IPTN. Meskipun lebih besar, pesawat R-80 tetap mempertahankan teknologi propeler (baling-baling) seperti N-250. Desain tersebut diambil karena pesawat propeler lebih irit untuk perjalanan jarak dekat, serta dapat terbang meskipun dari landasan yang pendek. Oleh karena itu, pesawat ini sangat cocok untuk memenuhi kebutuhan domestik Indonesia yang terdiri dari ribuan pulau. Pembuatan R-80 ini mencoba mewujudkan kembali cita-cita B.J Habibie saat membangun N-250. B.J ‘Mr.Crack’ Habibie selalu memimpikan bahwa pesawat terbang akan merajut nusantara, yang terdiri dari ribuan pulau, menjadi satu. Akibatnya, biaya distribusi dapat ditekan dan mobilitas masyarakat dapat ditingkatkan.
Jika dua dekade yang lalu IPTN memiliki B.J. Habibie sebagai otak di belakangnya, PT RAI juga memiliki Habibie yang lain yaitu Ilham Akbar Habibie. Ilham adalah putra kandung dari pasangan B.J Habibie dan Hasri Ainun Bestari. Selain sebagai komisaris PT RAI, alumni Chicago University ini juga menjabat sebagai presiden director grup bisnis keluarga, Itabhi Rekatama, yang bergerak di bidang manufaktur, energi dan digital.
Insinyur yang juga bertitel MBA ini lahir pada 16 Mei 1963 di Aachen, Jerman. Masa kecilnya dihabiskan di tiga kota besar Jerman, Aachen, Hamburg, dan Munchen, mengikuti dinamika kesibukan sang ayah. Ketika sang ayah, Habibie, dpanggil pulang oleh Presiden Soeharto, Ilham tetap di Jerman dan tidak ikut pulang ke Indonesia. Beliau tetap di Jerman hingga menamatkan S-2-nya di University Technology of Munich dengan predikat Summa Cumlaude.
Ayah dari tiga orang anak ini sudah memiliki segudang pengalaman di bidang kedirgantaraan dan manajerial. Selain pernah bekerja di IPTN pada kurun 1996-2002, Ilham juga pernah bekerja di perusahaan pesawat raksasa asal USA, Boeing, pada tahun 1994-1996. Selain mewarisi kepintaran dan minat kedirgantaraan dari sang ayah, Ilham juga mewarisi semangat nasionalisme dan cita-cita seorang B.J. Habibie. Bersama para alumni IPTN lainnya, Ilham berusaha membangkitkan kembali kejayaan kedirgantaraan nasional dengan PT RAI.
Pada 19 Agustus 2015, di tengah rangkaian acara Elinsphoria, Ilham menyempatkan diri untuk berbincang dengan BPPM Balairung. Perbincangan tersebut terentang dari masalah pesawat R-80 hingga keinginan menjadi Menristek. Ilham yang menjadi pembicara pada acara yang diadakan oleh Prodi Elins UGM tersebut, mengenakan baju batik lengan panjang. Sorot matanya yang cerdas, khas Habibie, selalu terlihat saat memberikan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan yang diajukan BPPM Balairung.
Bapak lahir dan besar di Jerman hingga umur 30 tahun. Apa yang kemudian membuat Bapak tetap mencintai Indonesia serta memilih mengabdi untuk negeri ini?
Pendidikan itu terbagi dua, yaitu formal dan pendidikan informal. Pendidikan formal itu seperti sekolah dan universitas, sedangkan informal contohnya adalah keluarga. Dari segi pendidikan formal saya memang tidak pernah diajarkan mengenai rasa cinta tanah air atau nasionalisme. Akan tetapi di lingkungan keluarga, kedua orang tua saya selalu mengajarkan segala hal tentang Indonesia, mulai dari budayanya, nilai-nilainya, hingga adat-istiadatnya. Jadi, walaupun saya lahir dan tumbuh di Jerman, saya tetap orang Indonesia.
N-250 dimatikan secara politis oleh asing, karena dianggap sebagai pesaing yang potensial dalam industri pesawat terbang dunia. Adakah ketakutan hal yang sama akan terjadi dengan R-80?
Dari segi pendanaan dan manajemen, R-80 sangat berbeda dengan N-250. IPTN pada saat itu statusnya adalah BUMN yang saham terbesarnya dipegang oleh negara. Jika kita berbicara mengenai negara, maka kebijakan politik itu sangat dominan. N-250 pada saat itu posisinya memang sangat rentan untuk dilemahkan dari sisi politik.
Sementara R-80 di bawah PT RAI kepemilikannya dipegang swasta. Sehingga aspek kepemilikannnya tidak terlalu banyak dipengaruhi oleh kebijakan politik. Seandainya pun terkena imbas kebijakan politik, kemungkinan itu hanya karena situasi dan kondisi ekonomi negara. Permasalahan ekonomi negara akan mempengaruhi semua sektor ekonomi, bukan hanya PT RAI saja. Oleh karena itu, posisi politik pada kasus R-80 adalah sebagai sesuatu yang berpengaruh secara sekunder, bukan primer.
Ada ketakutan di kalangan mahasiswa teknik Indonesia bahwa mereka akan diganjal oleh asing jika berani berinovasi menciptakan suatu industri teknologi nasional. Bagaimana menurut Bapak?
Jika kita berbicara mengenai suatu industri nasional, ada banyak faktor yang harus kita perhatikan. Membangun industri bukanlah suatu hal mudah yang bisa kita lakukan secara instan. Misalnya saja kita ambil Korea sebagai contoh. 60 tahun yang lalu, Korea belum menjadi Korea seperti saat ini. Pada masa itu mereka belum memiliki suatu industri yang maju, mereka baru merintis industri mereka. Mari kita lihat hasilnya, baru satu atau dua dekade terakhir ini produk-produk Korea mulai mendunia. Bahkan mampu bersaing dan mengalahkan produk-produk Jepang yang dulu seolah tak terkalahkan.
Jadi, membangun sebuah industri itu butuh perjuangan yang panjang dan berat. Korea membutuhkan waktu lebih dari satu atau dua dekade untuk dapat menumbuhkan industrinya. Tidak seperti kita saat ini, ada orang buat proyek, kemudian bagus, hura-hura dieksploitasi media, dan akhirnya hilang. Kita bisa lihat apa yang terjadi dengan mobil ESEMKA yang akhirnya hilang. Padahal pemberitaan mengenai ESEMKA begitu gencar sebelumnya, sampai-sampai kita bosan melihatnya di televisi.
Kejadian ESEMKA dapat terjadi karena kita tidak membangunnya berdasarkan konsep industri. Kita hanya membuat produk untuk sekadar membuktikan bahwa kita bisa. Padahal industri adalah suatu hal yang kompleks, harus ada research dan design-nya, marketingnya, dan bagian-bagian lainnya. Dalam hal ini kita harus membedakan antara industri dan hobi.
Kita harus berhenti menyalahkan asing untuk kegagalan kita dalam membangun industri nasional. Mungkin itu adalah salah satu faktor, tetapi faktor yang paling besar pengaruhnya ada pada dalam negeri kita. Dalam hal ini, ada pada seberapa besar usaha pemerintah mendorong industri negeri ini, dan pada sebesar apa keinginan dan ketahanan kita dalam berusaha membangun sebuah industri. Bisa dilihat contohnya, bagaimana ayah saya yang berkeinginan kuat membangun industri dirgantara nasional. Jika jatuh, harus bangkit dan terus berusaha lagi.
Indonesia memiliki SDA yang melimpah serta jumlah penduduk yang sangat besar. Lantas, mengapa industri kita masih jauh tertinggal dibandingkan negara-negara maju dunia?
Jika kita melihat kondisi industri di Indonesia pada umumnya, kita harus mengakui bahwa semangat industri masyarakat kita masih lemah. Kita masih terlalu mengandalkan eksport komoditas. Mindset masyarakat kita masih terpola bahwa Indonesia adalah negara yang subur dan kaya. Mari kita beri sedikit koreksi, negara memang kaya, tetapi rakyatnya miskin. Karena komoditas itu hanya membuat segelintir orang menjadi kaya. Sementara orang-orang seperti petani dan nelayan tidak dapat menikmatinya secara langsung.
Saya pernah berdiskusi dengan seorang pengusaha asal Jepang dalam sebuah forum bisnis summit di Jakarta. Pada waktu itu ada seorang peserta forum menanyakan mengapa Jepang bisa maju dalam industri, sementara Indonesia tidak. Kemudian orang Jepang itu menjawab bahwa jikalau mereka tidak membangun industri maka mereka akan mati. Jepang tidak seperti Indonesia yang memiliki SDA yang melimpah, sehingga wajib menjalankan industri. Dari jawaban pengusaha Jepang itu kita mendapati sebuah paradoks, sumber daya alam yang harusnya menjadi anugerah malah menjadi sebuah kutukan.
Hal lain yang kemudian menjadi penyebab kita lemah dalam hal industri adalah karena kita kekurangan teknisi. Jika dibandingkan dengan penduduk kita yang banyak, masih sedikit anak-anak kita yang ingin menjadi seorang insinyur dan teknisi. Mari kita berkaca pada negara-negara seperti Tiongkok dan India yang mulai bangkit dunia industrinya. Mereka memiliki banyak sekali teknisi sehingga inovasi dan produksi itu berjalan.
Lalu ada yang berkata bahwa di negara kita ada banyak insinyur yang menganggur dan lari ke luar negeri. Nah, mereka menganggur karena industrinya saja tidak ada, sehingga mereka diambil oleh orang luar. Ketika kita hendak membangun sebuah industri, orangnya sudah tidak ada. Jadi ini seperti lingkaran setan.
Melihat masalahnya yang cukup pelik dan telah menjadi lingkaran setan tersebut, apa solusi yang bisa menjadi jalan keluar bagi masalah ini?
Jalan keluarnya hanya bisa dipecahkan oeh pemerintah. Pemerintah harus memberi inisiatif seperti halnya industri strategis pada zaman Orba. Swasta tidak akan bisa diandalkan untuk menginisiasi, dan mereka tidak dapat disalahkan atas hal itu. Karena swasta memang berorientasi mencari untung. Berbeda dengan pemerintah yang memang memiliki tanggung jawab untuk memajukan bangsa.
Ya, memang tidak bisa selalu bergantung pada pemerintah, tetapi mereka harus jadi inisiatornya. Kemudian jika sudah ada momentum perubahan, lingkaran setan tadi berubah menjadi lingkaran malaikat, maka peran pemerintah perlahan-lahan harus berkurang.
Sebagian besar masyarakat Indonesia merindukan saat Pak B.J. Habibie memimpin Kementrian Riset dan Teknologi negeri ini. Apakah Bapak memiliki keinginan untuk mengikuti jejak ayahanda menjadi Menristek?
Memang kemarin ada sedikit isu bahwa saya akan menjadi Menristek, tetapi ternyata tidak jadi. Jika ditanya apakah saya mau? Tentu jika negara membutuhkan tenaga dan pikiran saya, saya siap. Namun pada zaman reformasi ini, kepentingan politik terlalu dominan dalam penyusunan kabinet. Jika tidak memiliki kekuatan politik di belakang kita, maka akan sangat sulit untuk menjadi seorang menteri. Saya tidak memiliki bakat politik dan tidak mau berurusan dengan itu. Menurut saya, profesionalitas dalam penentuan kabinet jauh berkurang dibandingkan pada masa orde baru.
Sebagai penutup perbincangan ini, apa pesan bapak untuk mahasiswa UGM?
Sebagai mahasiswa kita harus pantang menyerah. Apabila kita memiliki suatu ide cita-cita yang kita anggap benar, maka kita harus memperjuangkannya dan tidak mudah melepaskannya. Memang benar bahwa kita harus menyesuaikan idealisme dengan kenyataan. Akan tetapi kalau kita terlalu cepat menyerah dan menyesuaikan diri dengan kenyataan, itu bukan cita-cita namanya melainkan oportunis.
Jika kita memiliki cita-cita, maka jadikan itu suatu bidang keunggulan kita. Memang dalam mencapai keunggulan itu kita perlu waktu dan tenaga ekstra yang harus kita korbankan. Tapi tentu saja jika tidak ada upaya maka tidak akan ada hasil.
(Tan Sjahiroel)