Alih fungsi lahan untuk pembangunan infrastruktur dan kepentingan umum selalu terjadi tiap tahunnya. Lahan yang awalnya dikelola penduduk untuk pertanian dialihkan menjadi bandara atau pelabuhan. Hal tersebut diungkapkan oleh  Ir. Bambang Tri Budi Harsono, Kepala Dinas Pertanian dan Kehutanan Kabupaten Kulonprogo dalam acara Public Hearing Konferensi Mahasiswa Pertanian Indonesia (KMPI) pada Jumat (02/10). Acara yang bertempat di Auditorium Fakultas Pertanian itu secara khusus bertujuan untuk mengkritisi pengalihfungsian lahan di Kulonprogo. âLewat media ini kita akan tahu kondisi yang sebenarnya di Kulonprogo,â ujar Bagas Awang Sadewo, moderator dalam acara itu.
Dalam menyikapi alih fungsi lahan, Bambang tidak memungkiri potensi Kulonprogo sebagai lahan pertanian.  Namun dengan dalih untuk kepentingan umum, Agus Langgeng Basuki, Kepala Bappeda Kabupaten Kulonprogo mengatakan, alih fungsi lahan adalah hal yang mendesak. âMelihat kondisi Yogyakarta sebagai kota pendidikan dan pariwisata, sarana transportasi seperti bandara tentunya dibutuhkan,â katanya. Ia lalu menegaskan adanya ganti rugi layak yang diatur dalam UU No. 2 Tahun 2012 tentang pengadaan tanah. Bambang menambahkan, Pemerintah Kabupaten Kulonprogo tengah melakukan inventarisasi untuk mengganti lahan yang akan dialihkan.
Pemilihan lokasi bandara sendiri telah ditetapkan berdasarkan hasil feasibility study (FS) yang dilakukan oleh Pusat Studi Transportasi dan Logistik (PUSTRAL) UGM. Sebelumnya, terdapat  tujuh titik lokasi yang akan dicalonkan menjadi Bandara. Secara teknis, sosial, dan ekonomi, jelas Agus, areal di Kulonprogo dianggap paling memenuhi syarat.  Selain itu, data FS menunjukkan bahwa lahan pertanian di Kulonprogo tidak lebih subur dibanding wilayah lainnya.
Sementara itu,  Martono, Ketua Wahana Tri Tunggal (WTT) mengatakan bahwa pemaparan Bambang dan Agus tidak sesuai dengan kenyataan yang terjadi di lapangan. Ia menjelaskan bahwa lahan di Kulonprogo, baik lahan basah maupun kering adalah lahan produktif. âKedua jenis lahan tersebut sama-sama subur dan dapat ditanami,â ujarnya. Ketika melakukan mediasi dengan pihak pemerintah pun, masyarakat telah mengajukan keberatan terhadap pembangunan bandara. âBandara boleh dibangun tetapi jangan di lahan produktif seperti Kulonprogo,â lanjutnya.
Selain itu, Martono dan WTT juga menolak pembangunan bandara karena tidak sesuai dengan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW). Menurut RTRW yang telah ditetapkan, pengelolaan tata ruang wilayah di Kulonprogo diperuntukkan untuk pertanian. Tak hanya itu, menurut Martono, secara geografis pembangunan Bandara di Kulon Progo tidak aman. Sebab, lanjutnya, potensi kerusakan yang diakibatkan oleh bencana tsunami akan lebih besar. âJika terjadi tsunami setelah pembangunan bandara, air gelombang laut akan cepat menyebar ke rumah-rumah penduduk,â jelasnya. Ia menegaskan bahwa adanya pertanian di lahan pesisir pantai akan menghambat masuknya air dari gelombang tsunami.
Adanya alih fungsi lahan menimbulkan kekhawatiran bagi Handayati, salah satu peserta KMPI dari Universitas Bengkulu. Menurutnya, alih fungsi lahan berpengaruh pada gagalnya kedaulatan pangan. Bambang Suwignyo, anggota LSM Dinamika menambahkan ada persoalan lain yang lebih mendesak, yaitu kesejahteraan dan lowongan pekerjaan. Suwignyo meyakini bahwa keberadaan bandara tetap mengakomodasi hal tersebut. âNamun yang jadi pertanyaan, lowongan pekerjaan itu nantinya untuk siapa?â ujarnya. Selanjutnya, Suwignyo mencontohkan kasus serupa yang terjadi di Lombok pada tahun 2006. Pembangunan bandara tersebut kini menimbulkan berbagai persoalan sosial seperti ketiadaan lowongan pekerjaan dan minimnya kesejahteraan.
Hal tersebut bisa terjadi di Kulon Progo jika pemerintah tidak serius menangani kasus ini. Bambang mengatakan terdapat banyak celah dalam prosedur alih fungsi lahan. Menurutnya UU No 2 tahun 2012 tidak menjamin kepastian hukum bagi warga terdampak. Informasi mengenai ganti rugi diatur belakangan setelah persetujuan. âIni artinya warga secara tidak langsung dipaksa untuk menyetujui alih fungsi lahan terlebih dahulu,â jelas Suwignyo. Â Sayangnya, lanjut Suwignyo, prosedur yang memiliki banyak celah tersebut merupakan peraturan perundang-undangan yang dilindungi oleh hukum dan negara. âUndang-undang yang memiliki banyak celah seperti inilah yang menyebabkan konflik,â ujarnya. Â [Lamia Damayanti]