Mei 1998 adalah peristiwa yang memisahkan dua babak sejarah Indonesia, yakni Orde Baru dan Reformasi. Berangkat dari perbedaan kondisi sosial dan budaya dari dua periode tersebut, Remotivi mengadakan diskusi bertajuk “Orde Media: Kajian Media dan Televisi Pasca Orde Baru” pada Senin (6/7). Diskusi yang berlangsung di Angkringan Mojok Jalan Damai Nomor 168A ini berusaha memfasilitasi diskusi mengenai perkembangan media masa kini. Selain itu, acara ini digelar untuk merilis buku berjudul “Orde Media: Kajian Media dan Televisi Pasca Orde Baru”. Buku ini merupakan kumpulan tulisan yang pernah dipublikasikan Remotivi melalui situsnya, remotivi.co.id. Yovantra Arief dan Wisnu Prasetya Utomo mengeditori kumpulan tulisan ini sebelum dibukukan.
Diskusi ini menghadirkan dua narasumber, yakni Fajar Junaedi yang merupakan Dosen Komunikasi UGM dan Holy Rafika, peneliti muda dari Remotivi. Kedua narasumber ini memaparkan beberapa poin mengenai perbandingan media pada masa Orde Baru dan Reformasi. Walau media massa kini begitu mengagungkan kebebasan pers, Fajar dan Holy menyoroti adanya tingkah media masa kini yang serupa dengan masa Orde Baru.
Baik sebelum atau sesudah reformasi, ada beberapa kalangan yang mempolitisasi media. Pada masa Orde Baru, pihak yang melakukan politisasi media adalah pemerintah. Pada masa itu, pemerintah memiliki kekuasaan yang besar atas media. Fajar menjelaskan Pemerintah Orde Baru bisa mengendalikan dan memotong tayangan televisi untuk menyiarkan kegiatan dan kepentingannya. “Lagi enak-enaknya nonton bola, tiba-tiba dipotong siaran kunjungan Soeharto ke desa,” seloroh Fajar.
Sayangnya, Fajar melihat adanya perilaku yang sama pada media masa kini. Politisasi pada media saat ini tentu tidak dilakukan secara semena-mena seperti pada Orde Baru. Para pemilik saat ini memanfaatkan medianya dengan menyisipkan pesan-pesan politis pada running text. Pemilik media memaksa penonton untuk membaca berita-berita singkat mengenai sikap atau pernyataan politis mereka. “Hary Tanoe menyisipkan running text mengenai sikap politiknya terkait pembekuan PSSI oleh Menpora saat MNC menyiarkan pertandingan sepak bola, itu kan politisasi,” jelas Fajar. Hal ini menunjukkan kekuasaan media atas arus informasi dan pembentukan opini publik.
Selain itu, ada penguasaan satu orang terhadap berbagai tahapan industri media dari hulu sampai hilir. Monopoli ini dapat memperbesar kontrol dan kekuataan media dalam mempengaruhi lembaga lain. Kultur pers yang bebas seperti sekarang juga membuat media bisa mempengaruhi penyebaran informasi publik. Kondisi inilah yang dimaksud sebagai Orde Media. “Saat ini, satu hantu menghantui Indonesia, Orde Media,” cetus Fajar.
Holy menyadari bahwa media harus bisa membiayai ongkos produksi, sehingga wajar bila mereka berusaha mencari laba. Pun demikian, Holy juga mempertanyakan peran media sebagai alat kontrol sosial yang punya tanggung jawab terhadap publik. Apalagi media mengudara menggunakan frekuensi umum yang terbatas. Media merebut hak publik jika tidak mengutamakan kualitas tayangan. “Anggap saja frekuensi itu seperti jalan raya, media itu seperti kendaraan yang menggunakan jalan,” tambah Fajar mendukung Holy.
Dalam diskusi ini Fajar dan Holy sama-sama menyoroti pentingnya literasi media bagi penonton. Artinya, penonton bisa memaknai dan menyaring informasi yang disajikan media. Hal yang harus ditekankan adalah bahwa media selalu punya kepentingan. Menurut mereka, penonton setidaknya harus tahu bahwa media tidak netral dalam membawakan berita. Hal ini agar masyarakat bisa lebih selektif dalam menonton dan mengolah informasi yang diterima melalui media, terutama televisi. “Setidaknya, jika tayangan televisi sudah tidak bisa diatur, penonton bisa diarahkan untuk lebih cerdas,” pungkas Holy. [Anggita Triastiwi]