“Sebagai Kota Budaya, Yogyakarta seharusnya bisa lebih santun memperlakukan perempuan,” ujar Budi Wahyuni, Minggu (10/05). Ketua PKBI itu melontarkan pernyataan sikapnya dalam acara Malam Solidaritas di Titik Kilometer Nol Yogyakarta. Acara bertajuk “Tribute to Our Sisters” tersebut adalah satu dari serangkaian aksi dalam gerakan Jogja Ilang Rasa. Gerakan itu adalah bentuk kritik atas menurunnya sikap solidaritas dan kepedulian terhadap sesama, khususnya korban kekerasan seksual dalam sepekan terakhir. “Dua kasus kekerasan seksual yang menimpa SA dan EM sangat memprihatinkan. Padahal, Yogyakarta seharusnya berhati nyaman untuk perempuan,” ujar Chandra, perwakilan Jaringan Perlindungan Perempuan Rumah Tangga (JPPRT).
Menanggapi kasus kekerasan pada perempuan, Alissa Wahid dalam orasinya mengatakan bahwa perempuan memang rentan menerima penindasan. Hal tersebut dikarenakan mereka dianggap lemah dan tidak memiliki hak. “Perempuan, bahkan di ruang yang sangat privat semakin dilemahkan,” jelas Alissa.
Menurut Alissa, pelemahan tersebut sering terjadi pada korban kekerasan seksual. Mereka yang telah menjadi korban seringkali mendapat tanggapan negatif di mata masyarakat. Sehingga mereka tidak memiliki tempat untuk mengadu. “Sudah saatnya masyarakat menghilangkan stigma negatif pada korban kekerasan seksual. Sehingga masyarakat menjadi tempat yang aman bagi korban,” tegas psikolog keluarga tersebut.
Ika Ayu, perwakilan Jaringan Perempuan Yogyakarta (JPY), mengatakan bahwa adanya dukungan terhadap korban akan membantu penanggulangan kasus kekerasan seksual. “Dukungan terhadap korban membuat mereka mau bersuara sehingga penanggulangan lebih mudah dilakukan,” jelas Ika.
Tuntutan rasa kemanusiaan tidak hanya ditujukan kepada masyarakat, tetapi juga perilaku media yang selalu menempatkan perempuan sebagai obyek. Alissa menjelaskan perempuan selalu menjadi fokus utama pemberitaan sehingga berita menjadi tidak seimbang. Salah satu yang mengusik Alissa adalah pemberitaan mengenai mahasiswi yang tewas ketika melahirkan di dalam kamar kos. Menurutnya, tidak adil ketika perempuan yang sudah meninggal dengan keadaan mengenaskan masih harus menjadi komoditas media. “Media juga seharusnya memberitakan laki-laki yang menghamili dengan mencari informasi terkait. Pelaku tidak boleh dibiarkan melenggang bebas,” tuntut Alisa.
Menurut Alissa, ketidakberimbangan pemberitaan dikarenakan adanya kepentingan ekonomi. Media menganggap perempuan memiliki nilai jual sehingga dieksploitasi terus-menerus terutama pada kasus kekerasan. Ia menjelaskan, media tidak sensitif dalam memberitakan kasus kekerasan seksual. Hal tersebut terbukti dari pembeberan identitas korban dengan jelas. “Nama korban memang disamarkan, tetapi nama orang tua dan alamat dituliskan,” kata Chandra.
Untuk menindaklanjuti perilaku media dalam pemberitaan kekerasan seksual, JPY, OBR, Perempuan Mahardika, dan JPPRT menggelar konferensi pers, Kamis (05/10) lalu. Pada konferensi pers tersebut, mereka menyatakan keberatan terhadap pemberitaan tersebut dan meminta hak koreksi untuk media karena membeberkan identitas korban. Selain itu, gerakan ini juga mengimbau agar keluarga korban meminta hak jawab atas pembeberan identitas tersebut. “Kami juga meminta surat keberatan ke dewan pers untuk memediasi kasus ini karena telah menyalahi kode etik,” jelas Ika.
Aksi solidaritas “Tribute to Our Sisters” sendiri mendapatkan banyak dukungan dari berbagai
pihak. Isma, Mahasiswa Jurusan Fisika UIN Yogyakarta, mengatakan bahwa kegiatan ini dapat menjadi sarana pembangunan kepedulian terhadap sesama perempuan. “Kegiatan ini menumbuhkan rasa empati terhadap korban kekerasan seksual,” jelasnya.
Namun, Isma juga berharap acara ini tidak hanya menjadi formalita saja. Ia berharap akan ada tindakan yang lebih nyata. Ketua Ikatan Keluarga Mahasiswa Riau (IKMR) juga beranggapan sama saat memberikan pernyataan. “Acara ini tidak akan ada gunanya tanpa kesadaran kita semua. Saya ingin gerakan ini konsisten mengawal kasus kekerasan sampai tuntas,” ujarnya.
Ika mengatakan bahwa gerakan tersebut berkomitmen untuk mengawal kasus SA dan EM sampai tuntas. “Gerakan Jogja Ilang Roso menjadi pendorong agar pihak berwajib segera menangani kasus kekerasan agar tidak berlarut-larut,” jelasnya. Menurut Budi, kasus-kasus yang berlakangan terjadi harus segera terungkap. “Sebab, kekerasan terhadap perempuan sampai kapanpun tidak dapat dimaafkan,” tegas anggota Komnas Perempuan tersebut.
Yab Sarpote, salah satu pengisi aksi seni solidaritas, berpendapat, aksi ini memang simbolis. Namun, aksi ini menjadi tempat bersatu dalam membangun solidaritas bagi perempuan. “Saya percaya, pertahanan diri yang paling besar adalah saat perempuan-perempuan itu dapat berdaya membela dirinya dan satu sama lain,” jelasnya.
Acara “Tribute to Our Sisters” berakhir pukul 21.00 WIB ketika semua perwakilan lembaga selesai memberikan pernyataan. Acara kemudian dilanjutkan dengan doa bersama sambil menyalakan lilin. Pada puncak acara tersebut, semua orang yang datang untuk aksi Jogja Ilang Roso tampak khidmat berdoa. [Lamia Putri Damayanti]