Senin (18/05), Aliansi Fakultas Kesehatan UGM mengadakan Kajian Multidisiplin RUU Pertembakauan. Kegiatan ini dilaksanakan di ruang kuliah 3 Fakultas Kedokteran UGM untuk menyambut World No Tobacco Day (WNTD). Prof. Dr. Ir. Triwidodo Arwiyanto, M.Sc., dosen Fakultas Pertanian UGM, dan Dra. Endang Pujiastuti, anggota Quit Tobacco International-Indonesia Fakultas Kedokteran UGM ,dihadirkan sebagai narasumber.
Triwidodo membuka diskusi lewat uraian beberapa manfaat tembakau selain diolah menjadi rokok. Beberapa di antaranya adalah sebagai sarana pertanian tingkat molekul (mollecular farming), bahan baku berbagai macam vaksin, biofuel, obat-obatan, hingga penghilang embun. Kegunaan tembakau sebagai sarana pertanian tingkat molekul dianggap paling potensial karena tidak memerlukan lahan luas. Sementara untuk biofuel, tembakau masih kurang efektif mengingat minyaknya yang diolah dari biji tembakau. Biji yang dapat dihasilkan tiap hektar ladang tembakau hanya sekitar 600 kg.
Akan tetapi, Endang mengatakan bahwa rokok merupakan bentuk olahan tembakau yang paling diminati. Indonesia tercatat berada di peringkat tiga dunia dengan konsumen rokok terbanyak. 36,1% dari total penduduk Indonesia adalah perokok. Rokok juga menjadi pengeluaran bulanan tertinggi rumah tangga perokok miskin untuk tahun 2010. Bahkan pengeluaran untuk rokok melampaui pengeluaran untuk kebutuhan pokok, pendidikan, dan kesehatan.
Sejalan dengan banyaknya konsumen, industri rokok menggerakkan perekonomian Indonesia melalui pajak dan penyediaan lapangan kerja. “Komoditas tembakau menyangkut hajat hidup banyak orang,” tegas Triwidodo. Cukai, PPN, dan pajak rokok menyumbang 9,9% dari total pendapatan pajak negara. Itu berarti, 142 triliun rupiah pendapatan pajak negara berasal dari industri rokok. Masih menurut Triwidodo, industri rokok menyerap sekitar enam juta tenaga kerja, dengan dua juta di antaranya merupakan petani dan pekerja tembakau.
Pemerintah sebenarnya telah mengeluarkan Peraturan Pemerintah No. 109/2012 tentang Pengamanan Bahan yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau Bagi Kesehatan. Di dalam PP tersebut, dijelaskan regulasi tembakau dan rokok dari produksi, distribusi, komersialisasi, hingga konsumsi.
“Di UGM sendiri terdapat peraturan tentang rokok,” lanjut Endang mengacu pada Peraturan Rektor No. 29/P/SK/HT/2009 tentang Kawasan Bebas Rokok. Khusus komersialisasi, pemerintah belum mengambil langkah tegas untuk memberikan batasan. Faktanya, 99,7% remaja pernah melihat iklan rokok di televisi, 86,7% di media iklan luar ruang, dan 81% pernah menghadiri acara yang disponsori industri rokok. “Harapannya, jam tayang iklan rokok di televisi dapat ditekan hingga paling tidak 1 jam per hari,” ujar Endang.
Dalam diskusi ini badan eksekutif dari beberapa fakultas turut menyampaikan pendapat terkait isu pertembakauan. Perwakilan dari BEM FEB dan Dema Faperta menyebutkan bahwa RUU Pertembakauan cenderung berpihak ke industri. Kebijakan peningkatan kuantitas produksi dan tidak adanya perlindungan hukum terhadap petani tembakau mendasari pernyataan tersebut. Petani tembakau sebagai pelaku tangan pertama semestinya bebas dari tengkulak dan eksploitasi industri.
Lain lagi dengan BEM FK. Melalui hasil kajiannya, BEM FK mengajukan beberapa rekomendasi terkait penanganan rokok dan tembakau. Rekomendasi kepada pemerintah adalah kebijakan penyediaan kawasan tanpa asap rokok yang diserahkan ke institusi terkait, mengurangi iklan rokok, dan mempertegas aturan Pictorial Health Warning (PHW) di kemasan rokok. Disebutkan pula bahwa jarak aman minimal dari perokok ke non perokok adalah 10 meter. BEM FK juga mengusulkan agar bentuk sosialisasi bahaya rokok perlu ditekankan ke isu ekonomi. Isu kesehatan dianggap kurang menarik masyarakat karena efeknya yang tidak langsung dapat dirasakan.
Di akhir diskusi, Triwidodo berpendapat bahwa masyarakat perlu selalu diingatkan mengenai isu tembakau dan permasalahan yang dibawanya. Senada dengan itu, Endang berharap agar seluruh elemen masyarakat tidak bosan menyuarakan upaya penanganan masalah rokok dan tembakau. “Australia butuh dua puluh tahun hingga sukses menangani permasalahan rokok di negaranya. Indonesia dengan keberagamannya perlu bersabar dan terus berusaha mengatasi ketergantungan terhadap industri rokok,” tutupnya. [Warih Aji Pamungkas, Dewi Wijayanti]