“UGM belum akan menerapkan regulasi ini dalam waktu dekat,” terang Wakil Rektor Bidang Akademik dan Kemahasiswaan UGM, Iwan Dwi P, yang dikutip Balkon pada edisi Agustus 2014 (baca Balkon 146: Disharmoni Peraturan Baru Perguruan Tinggi). Kemudian, pada awal Mei Rektor UGM, Dwikorita Karnawati juga menyatakan bahwa regulasi kuliah lima tahun belum akan disentuh bagi mahasiswa baru UGM tahun 2015 (Satria Triputra, 2015).
Kenyataan berkata lain, entah siapa yang menyusun Surat Pernyataan untuk mahasiswa baru (Form 1-1/UGM/DPP/2015). Form tersebut menuai banyak persoalan, salah satu poin yang paling menggelikan adalah poin 3b yang berbunyi, Saya akan mengundurkan diri sebagai mahasiswa Universitas Gadjah Mada apabila: (b) dalam waktu 10 (sepuluh) semester masa aktif studi pada jenjang Sarjana tidak dapat menyelesaikan studi yang telah ditentukan oleh Universitas Gadjah Mada.
Pertanyaannya, mengapa pembatasan kuliah 5 tahun ini perlu dipersoalkan? Saya sering berdiskusi bersama dengan beberapa teman-teman dari lintas kluster di UGM. Beberapa diantara mereka mengatakan bahwa lulus kuliah di program studi mereka di bawah 5 tahun adalah hal yang hampir mustahil. Atau bisa dikatakan, hanya sedikit sekali dalam satu angkatan yang dapat lulus tidak melebihi 5 tahun. Biasanya, hal ini terjadi pada program-program studi sains teknik dan agro. Misalnya adalah Program Studi Teknik Arsitektur, Program Studi Mikrobiologi, dll.
Bahkan menurut Wakil Rektor Bidang Akademik dan Kemahasiswaan, implementasi batasan kuliah 5 tahun dalam Permendikbud 49 dapat dilakukan dengan asumsi seorang dosen dapat membimbing maksimal 10 mahasiswa. Kondisinya saat ini jumlah dosen sarjana di UGM hanya berjumlah sekitar 3000, sedangkan jumlah mahasiswa S1 sekitar 56000 mahasiswa. Jumlah tersebut tentu saja masih jauh dari kata ideal.
Masih rendahnya rasio jumlah dosen dan mahasiswa, menjadi salah satu penyebab rata-rata lama studi sarjana di UGM masih berkisar pada 5 tahun 3 bulan. Jikalah rata-rata kelulusan di UGM saja selama itu, dapat kita asumsikan bahwa lebih dari 50% mahasiswa sarjana di UGM lulus lebih dari lima tahun. Tidak dapat kita bayangkan jika regulasi lima tahun ini akan diberlakukan, sedangkan tidak ada jaminan perubahan kurikulum dan perbaikan rasio jumlah dosen terhadap mahasiswa.
Pembatasan kuliah 5 tahun, tentunya dapat berpengaruh terhadap kualitas lulusan dari perguruan tinggi. Sebab, banyak fasilitas yang dapat diperoleh seseorang dengan hanya statusnya sebagai mahasiswa. Contohnya mulai dari mengembangkan kompetensi, berkreasi dan berkontribusi melalui UKM, BSO, lembaga studi, maupun lembaga eksekutif, mengikuti conference, exchange, berbagai kompetisi, PKM, program wirausaha, magang, KKN, atau bahkan menjadi Presiden Mahasiswa atau Anggota Senat di KM UGM—-yang selalu diperebutkan beberapa mahasiswa di pemilwa akhir tahun. Adanya regulasi ini, tentunya mempersempit ruang waktu mahasiswa untuk mengeksplorasi lebih jauh program-program tersebut. Sebab, pada beberapa program studi saja, untuk fokus kuliah dan lulus 5 tahun tidaklah mudah bagi semua mahasiswa.
Regulasi ini juga dapat berdampak pada menurunnya kualitas tugas akhir atau skripsi mahasiswa. Bayangkan jika seorang mahasiswa baru menyelesaikan teori pada tahun keempat atau ketika hendak memasuki tahun kelima. Tentunya, kondisi ini akan menyulitkan mahasiswa yang hendak membuat
skripsi yang, untuk risetnya saja, membutuhkan waktu enam hingga dua belas bulan, atau bahkan lebih. Ketika “injury time” mahasiswa hendak memasuki batas akhir, mahasiswa, dosen pembimbing, dan program studi, tentunya lebih memprioritaskan tercapainya lulus 5 tahun, bukan kualitas skripsi. Bisa dibayangkan nantinya akan kita temukan banyak skripsi yang hanya mengulang penelitian-penelitian sebelumnya.
Kebijakan tanpa Pelibatan dan Transparansi
Pihak Rektorat UGM yang sejak sebelumnya mengatakan belum akan menerapkan aturan kuliah lima tahun, tentunya mengagetkan kita ketika hal tersebut langsung dibebankan kepada gamada 2015. Hal tersebut terjadi tanpa ada komunikasi sama sekali dengan pihak mahasiswa, baik lembaga eksekutif maupun entitas mahasiswa manapun. Tentu saja ini menjadi persoalan tersendiri, karena kuliah lima tahun merupakan peraturan yang sangat penting bagi mahasiswa. Namun sayangnya, jangankan adanya pelibatan dalam pembuatan kebijakan, pemberitahuan sedikitpun tidak ada. Mahasiswa pada dasarnya tidak meminta dilibatkan dalam setiap kebijakan kampus, soal siapa pejabat rektorat yang akan dipilih dan dilantik, itu urusan rektor. Namun, soal berapa batas waktu maksimal untuk kelulusan mahasiswa, apa susahnya toh untuk berkomunikasi dan melibatkan mahasiswa?
Sangatlah disesalkan ketika penerapan kebijakan ini hanya dilakukan dengan instrumen surat pernyataan mahasiswa baru. Padahal sebelumnya, belum ada SK Rektor maupun kurikulum di UGM yang telah menetapkan aturan ini. Sangatlah menggelikan, ketika mahasiswa baru yang masih polos dan menggemaskan, tiba-tiba diwajibkan mengisi surat pernyataan yang mereka sendiri belum memahami betul konsekuensi ke depannya. Sekarang pertanyaannya: apakah UGM akan memperbaiki kebijakan ini? Atau, justru akan tetap berdiri dan berkilah pada kesemrawutan ini?
Umar Abdul Aziz
Mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial dan Politik 2012