Sebuah aransemen kreatif antara tembang Jawa dan lagu Cina mengalun merdu saling bersahutan. Suara pesinden menghangatkan suasana yang dingin karena hujan malam itu (7/3). Sebuah perpaduan yang ciamik untuk mengawali kisah perseteruan sepasang kakak beradik yang terlahir dari ayah yang sama namun lain ibu. Sang adik memiliki ambisi untuk menguasai dunia dengan berbagai cara sedangkan kakaknya menginginkan kedamaian dunia. Setelah musik pengiring berhenti, layar lakon terbuka diiringi redupnya penerangan dalam Auditorium Fakultas Kedokteran UGM. Tak luput, bunyi suara ketukan suara khas gamelan mengiringi pertunjukan wayang kulit seorang dalang internasional.
Purbo Asmoro, dalang dibalik pertunjukkan Rahwana-Danapati malam itu. Purbo yang lebih dikenal sebagai Ki Purbo bukanlah sosok yang asing bagi penikmat wayang Indonesia. Namanya telah melejit di kancah dunia internasional karena jam terbangnya sudah tinggi. Tentunya, itu bukan pencapaian yang mudah. Dia bersama Mayangkara sebuah grup yang berada di bawah bimbingannya berhasil tampil di depan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada 2009 di Istana Negara. Namanya makin tenar di kalangan pecinta wayang, salah seorang wanita asal Amerika bernama Kitsie Emerson. Atas bantuan Kitsie Ki Purbo bersama Mayangkara terus melebarkan sayapnya ke luar negeri. “Kami berhasil melakukan pentas di luar negeri seperti Inggris, Austria, Yunani, Jepang, Thailand, Singapura, Amerika, Bolivia, dan beberapa universitas bergengsi seperti Cornell University atau Ohio University,” tutur Ki Purbo sapaan akrabnya. Binar matanya tak dapat dia sembunyikan karena semua tergambar jelas dalam air mukanya saat dia bertutur.
Kesuksesan yang dia raih tentunya tidak lepas dari faktor keluarga. Dia bergelut dalam dunia pedalangan karena terinspirasi dari ayahnya yang juga seorang dalang tetapi bukan hanya itu, jiwanya pun ikut terpanggil untuk melestarikan budaya yang sudah melekat dalam dirinya sejak kecil “Itu sebuah peninggalan kebudayaan yang sangat luar biasa karena UNESCO saja mengakui bahwa itu masterpiece kenapa kita harus menyingkirkan itu dan malu-malu untuk mempelajari itu?” tuturnya saat ditanya mengenai motivasinya menggeluti dunia wayang.
Wayang kulit merupakan salah satu dari sekian banyak warisan budaya leluhur yang memiliki nilai-nilai estetika karena mengndung pesan moral yang ingin disampaikan oleh dalang. Dalang merupakan pengatur utama dalam seni pertunjukkan keseian wayang kulit. Jika dianalogikan, “Seperti mobil dalang itu pengemudinya, seperti kapal laut dalang itu nahkodanya, seperti pesawat dalang itu pilotnya yang mengatur segalanya untuk menyajikan sei pertunjukkan wayang kulit yang menarik tu tergantung dalangnya” ujar Purbo Asmoro, S.Kar, M.Hum. saat ditemui di belakang panggung.
Wayang kulit yang penuh nilai moral dijadikan sebuah momentum oleh Fakultas Kedokteran UGM untuk mengadakan sebuah pementasan wayang. “Acara ini diselenggarakan untuk memperingati Dies Natalis FK UGM yang ke 59. Dalam rangkaian acaranya ada temu alumni FK UGM dan pementasan wayang,” jelas dr. Ibnu Purwanto, Sp.PD. K-HOM selaku Wakil Dekan Bidang Keuangan, Aset dan Sumber Daya Manusia.
Dalam pertunjukkannya, Ki Purbo menganut gaya Surakarta serta menggunakan wayang kulit purwo. Wayang kulit purwo merupakan wayang kulit yang paling eksis sampai sekarang. Padahal jika diteliti lebih lanjut, wayang kulit purwo memiliki bentuk yang paling besar dan tua. Perihal gaya, Ki Purbo memiliki alasan tersendiri mengapa ia memilih gaya Surakarta. “Gaya Surakarta lebih menasional dan menginternasional karena sudah terbukti hingga tingkat dunia. Yang ingin saya katakan adalah penyebaran gaya paling luas adalah Surakarta karena ia bisa dimainkan dimana saja dan sudah banyak memiliki penggemar,” terlihat aura kebanggaan saat Ki Purbo menjelaskan gaya Surakarta.
Selain itu, dari segi pertunjukkannya menarik, segi boneka wayangnya punya ciri khas sendiri pokoknya seperti tokoh-tokoh wayangnya,Yogyakarta wayangnya lebih gemuk-gemuk sedangkan solo tokoh wayangnya langsing. Sistem pertunjukkannya, jumlah perangkat instrument gamelannya lebih banyak dibandingkan dengan wayang beber yang hanya beberapa instrument, penataan panggungnya, pesinden-pesindennya, kemasan ceritanya cara mengemas cerita itu menjadi sebuah sajian yang estetik, “Tetapi perbedaan paling signifikan dari gaya Surakarta dan Yogyakarta terletak pada suara kepraknya –bunyi-bunyian yang di bunyikan oleh dalang untuk anu suara– Yogyakarta ting…ting..ting.. sedangkan Surakarta jrek…jrek.. jrek.. “terang Ki Purbo dengan penuh semangat.
Keistimewaan gaya Surakarta dalam pementasan wayang kali ini dimainkan Ki Purbo dengan sepenuh hati. Ketika Selembar wayang kulit dengan tubuh kecoklatan namun berwajah merah memasuki lakon dengan angkuhnya. Warna merah diwajahnya mengambarkan keberanian, sayangnya keberanian itu justru dia gunakan untuk menentang dunia. Dia adalah Raja Alengka Rahwana, aktor utama pada kisah wayang kulit kali ini. Wayang berperawakan gagah ini merupakan seorang yang sangat sakti mandraguna. Namun, kesaktiannya ini membutakan hatinya. Menjadikan dia sebagai seseorang yang menghalalkan segala cara demi mencapai cita-citanya, yaitu menguasai dunia. Apapun akan ia lakukan, bahkan menyerang para dewa sekalipun.
Setelahnya, tampil sesosok wayang berpostur lebih ramping. Wayang tersebut merupakan perwujudan dari Danapati, seorang raja bijaksana dari Kerajaan Loka Pala sekaligus kakak dari Rahwana. Danapati merasa apa yang dilakukan adiknya tidak benar. Kemudian, dia berencana meluruskan hal tersebut supaya perdamaian dunia dapat dicapai. Alih-alih mendapat dukungan dari adiknya atas apa yang dilakukan oleh Danapati, Rahwana malah menganggapnya sebagai genderang permusuhan. Rahwana marah dan menyerang Kerajaan Loka Pala. Danapati mengerahkan pasukannya untuk melawan Rahwana. Dia mengorbankan segalanya agar Rahwana bisa kembali ke jalan yang benar. Namun sayangnya, Danapati terbunuh dalam pertempuran itu.
Danapati kemudian diangkat sebagai pelengkap Caturlokapala, yaitu keempat dewa penguasa dunia karena kebajikan yang ia lakukan untuk manusia. Pencapaian tersebut dirasa wajar karena Danapati telah mengorbankan kerajaannya yang hancur diserang oleh Rahwana. Dia juga mengorbankan banyak pasukan dan bangsanya dalam pertempuran melawan adiknya. Bahkan dia juga mengorban kekasih yang sangat dia cintai untuk perdamaian dunia.
Uniknya di tengah pertunjukkan dalang meminta tiga orang untuk maju ke depan dua orang mahasiswa sastra Inggris Fakultas Ilmu Budaya (FIB) dan salah seorang bule bernama Charlotte. Tak disangka charlotte bisa melantunkan tembang jawa bak pesinden professional. Ternyata ini kali kedua dia menyaksikan pertunjukkan wayang Purbo dan saat melihat di negara asalnya dia ingin mempelajari wayang kulit.
Salah satu penggemar setia Ki Purbo adalah Bangkit Widiyatmo. “Saya menyukai sabetan –gerakan atau cara dalang dalam menyampaikan cerita– beliau saat pertunjukkan itu berlangsung. Jika memiliki waktu luang saya selalu menyempatkan diri untuk melihat pertunjukkan beliau,” ujar pengacara asal Surabaya ini. Selain penggemar lokal, Ki Purbo juga memiliki banyak penggemar internasional. Sebut saja Nicoleta, seorang gadis dari Rumania yang saat ini tengah mempelajari kesenian batik di Yogyakarta. “I like Indonesian cultures. I love to learn about different cultures and different habit from others. So, I attend here to see it and The Dalang is famous too,” ungkapnya senang dalam Bahasa Inggris yang fasih.
Beberapa mahasiswa yang menjadi bagian dari penonton acara tersebut mengaku senang menyaksikan pementasan tersebut. Bahkan beberapa dari mereka mengaku emosinya ikut teraduk, padahal tidak terlalu mengerti tentang dunia pewayangan. “Saya baru dua kali menyaksikan pertunjukkan wayang, tapi saya selalu larut dalam emosi pada cerita wayang yang saya tonton,” tutur Emhasib Sandi, mahasiswa semester dua Sastra Inggris. Hal berbeda dituturkan oleh Vallentina, “Bahasa Jawa yang digunakan adalah Kromo Inggil. Sehingga saya pun yang orang Jogja kurang mengerti print out cerita Loka Pala,” ungkap mahasiswi Sastra Inggris ini. [Farras Khalida, Siti Rohmah Megawangi]