Shalawat nabi membaur dalam udara basah di pesisir Glagah Sabtu malam itu (14/3). Ratusan petani yang tergabung dalam Wahana Tri Tunggal (WTT) melantunkannya dengan khusyuk. Di antara nada lembut, mereka rapalkan doa untuk mohon perlindungan Sang Kuasa dari musuh-musuhnya. Tak ada yang mengantuk. Tak ada yang kedinginan meski hujan mengguyur. Rintiknya malah dijadikan metronome untuk menjaga tempo mereka seirama.
Mujahaddah malam itu dikhususkan bagi empat petani lain yang sedang ditahan di Pengadilan Negeri Wates. Sudah lebih dari seminggu, mereka tak diijinkan pulang. Tepatnya pada 5 Maret 2015, kejaksaan mengeluarkan surat penahanan bagi Sarijo, Tri Marsudi, Wakidi dan Wasio. Sarijo dituduh melakukan pelanggaran terhadap pasal 160 KUHP karena telah melakukan provokasi. Sedangkan tiga petani lain dikenai pasal 170 KUHP karena diduga merusak fasilitas umum.
Tragedi ini berawal dari penolakan warga terhadap pembangunan bandara di lahan produktif Kulon Progo. Mereka menggabungkan diri di bawah WTT –organisasi yang kontra terhadap pembangunan bandara. Selama ini WTT menolak menghadiri konsultasi publik yang digelar pembangun bandara PT Angkasa Pura I. Konsultasi Publik berisi sosialisasi dari pihak pembangun bandara terhadap pemilik lahan yang akan digusur. Ini merupakan bagian dari proses pembangunan fasilitas umum seperti yang tertuang dalam UU no 2 tahun 2012. Purwinto, Ketua WTT demisioner, beralasan dengan menghadiri konsultasi publik artinya mereka menerima pembangunan bandara dengan syarat. Akhirnya, dua kali konsultasi publik warga WTT memilih tidak datang. “Kami tidak datang saat itu karena kami menolak sama sekali bukan ingin berkompromi,” tegas Hermanto, salah satu warga Paliyan, Kulon Progo.
Baru di konsultasi ketiga, pada 23 September 2014, setelah mendengar banyaknya kecurangan dan tipu muslihat di dalam konsultasi publik, mereka memutuskan untuk datang. Purwinto pun berkeluh, “Dari warga yang datang ke konsultasi publik, mereka mengaku diberi payung cantik dan uang dalam amplop. Lalu mereka digiring untuk menandatangani persetujuan pembangunan bandara.” Saat itu bahkan tersiar kabar bahwa yang tidak menghadiri konsultasi publik dianggap setuju terhadap pembangunan bandara. Warga WTT akhirnya memutuskan untuk menghadiri konsultasi publik bersama sambil membawa undangan yang sah. Berjarak seratus meter sebelum balai desa, warga justru dihadang oleh aparat keamanan. Tak ada satupun yang menjelaskan alasan penghadangan tersebut. Warga yang mendesak untuk masuk bahkan disemprot oleh watercanon dari polisi.
Purwinto seketika melakukan negosiasi dengan Kepala Satuan Intelijen dan Keamanan, Komandan Kodim dan Wakil Kepala Polres Kulon Progo. Ia dijanjikan untuk bertemu Bupati pada hari Kamis berikutnya. Kecewa karena Bupati masih belum bisa ditemui, pada 30 September warga menuju balai desa untuk mempertanyakan janji aparat pada Kepala Desa (Kades). Bukannya menjawab pertanyaan warga, Kades justru kabur dari kantornya. Menurut kesaksian Purwinto, Sarijo yang ketika itu melihat kemarahan warga langsung merangsek ke depan dan coba menenangkan warga. Saat itu juga dari belakang ada suara gaduh “Segel! Segel!” Warga secara spontan menyegel balai desa dengan bambu yang ada di sekitar balai. Namun, pukul 19.00 warga mulai membenahi balai desa seperti semula. “Kami ingin menyelesaikannya dengan musyawarah,” tutur Agus Humas WTT.
Semula, warga mengira permasalahan sudah selesai seiring diperbaikinya tembok balai desa. Tanpa dinyana, tujuh orang warga dipanggil ke Polres Wates sebagai saksi. Empat di antaranya lalu ditetapkan sebagai tersangka pada 28 November 2014. Namun, pada saat penyidikan penahanan mereka ditangguhkan dengan Purwinto sebagai penjamin. Mereka hanya diwajibkan lapor seminggu dua kali. Setelah melakukan wajib lapor selama empat bulan, kasus Sarijo dkk dilimpahkan ke Kejaksaan Negeri (Kejari) Wates. Menurut surat yang diberikan pada keluarga tersangka, Kejari khawatir bahwa empat tersangka akan melarikan diri.
Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Yogyakarta yang menjadi penasihat hukum empat tersangka menjelaskan bahwa kasus Sarijo dkk telah sampai pada tahap persidangan. Sidang pertama digelar pada 18 Maret 2015 dengan agenda pembacaan tuntutan. Menurut Hamzal Wahyudin, S.H., Kepala Departemen Advokasi LBH DIY, penahanan yang dilakukan Kejari terkesan mengada-ada. Kerusakan balai desa sudah diselesaikan pada hari yang sama dengan cara kekeluargaan. Sementara itu, alasan subjektif yang digunakan kejaksaan dinilai ganjil. Kejaksaan harusnya tak perlu khawatir sebab tersangka selama proses penyidikan bersikap kooperatif, yakni sudah menjalani wajib lapor pada kepolisian. “Kalau Kejaksaan sampai tak mempertimbangkan proses di Kepolisian, jangan-jangan ada intervensi,” duga Wahyudin.
Widodo, anggota Paguyuban Petani Lahan Pantai Kulon Progo yang ikut mendukung penolakan bandara mengatakan bahwa kasus ini memiliki pola yang sama dengan penangkapan petani Tukijo dalam kasus pasir besi Kulon Progo. Menurutnya, ada pihak-pihak yang berusaha melemahkan perjuangan petani. “Tapi petani tak usah takut, kita harus melawan mereka!” serunya mantap.
Mahaarum Kusuma Pertiwi, S.H., M. A., dosen Hukum dan HAM Fakultas Hukum UGM melihat bahwa petani tetap harus mengikuti prosedur hukum, meski ini adalah kriminalisasi. Ini karena kasus pidana yang telah sampai kejaksaan tidak dapat ditarik kembali. Sementara proses hukum terus berjalan, LBH, elemen masyarakat dan mahasiswa terus mendampingi perjuangan petani. Kemarin Siang (18/03), mereka mengadakan aksi unjuk rasa di depan Pengadilan Negeri Wates. Moti, Ketua Sekolah Bersama (Sekber) yang turut dalam aksi meminta petani untuk terus bertahan melawan kriminalisasi. “Petani tidak boleh takut! Hidup petani!” tandas Moti. [Ganesh Cintika Putri, Nuresti Tristya Astarina]
1 komentar
[…] Mengungkap Kriminalisasi… […]