Pascapenangkapan Wakil Ketua KPK, akademisi sibuk menulis opini, LBH sibuk membuat pembelaan, pekerja media sibuk koar-koar, dan mahasiswa sibuk update status. Saya tidak termasuk di antaranya, karena saat itu saya sedang berlibur di pantai yang miskin sinyal. Baru hari Sabtu, saya ditugaskan meliput aksi di Markas Besar Polda DIY. Massa dari mahasiswa tak banyak, hanya sekitar lima puluh orang. Kata salah satu peserta aksi, mahasiswa sedang berlibur jadi tidak ada pergerakan. Rombongan aksi bergerak pukul 11.00 membawa poster bertuliskan #Save KPK. Di tengah jalan, anak-anak SD yang sedang bergerombol membeli cimol di depan gerbang sekolah memandang kami heran –atau mungkin kagum. Satu di antara mereka bertanya pada saya, “Ikut Save KPK, mbak?” Ditanya seperti itu, saya jawab, “Bukan, Save Indonesia, dek!”.
Jawaban ini tentu bukan sekadar jawaban untuk memuaskan anak SD. Ini jawaban yang telah saya pikir masak-masak, paling tidak selama tiga hari ini. Pembelaan yang dilakukan oleh akademisi, LBH, mahasiswa dan rakyat belakangan ini menurut saya salah kaprah. Slogan dan pemberitaan media mengesankan bahwa perjuangan rakyat belakangan ini adalah usaha membela BW, KPK atau malah Jokowi. Harusnya, kita tidak sedang membela satu di antara mereka, tapi lebih dari itu: kita sedang membela Indonesia.
Alasan pertama, pembelaan kita yang berlebih pada KPK nampaknya justru menunjukkan bahwa kita telah terjebak strategi pengalihan isu. Sudah seminggu ini, kita berhenti melakukan pengawalan pada kasus Budi Gunawan. Kita memilih untuk mencari tahu siapa yang melaporkan BW ke pengadilan, apa latar belakangnya bahkan sampai mengungkit siapa mantan istrinya. Yang kita lakukan hanya memberi waktu bagi koruptor untuk mencari cara agar bisa dibebaskan.
Kedua, pembelaan kita juga tidak ditujukan pada Jokowi. Jokowi bukan anak kecil yang sedang dihadang preman. Jokowi juga bukan bapak kita yang harus diiyakan keputusannya. Jokowi, sebagaimana kita harus menghormatinya, adalah seorang Presiden yang memiliki wewenang tinggi untuk bersikap tegas dan menyelesaikan sengketa antar aparatur negaranya. Oleh karena itu, rakyat harus berani mengkritik Jokowi dan meminta ketegasannya. Bukan karena kita telah memilih dia menjadi Presiden lalu kita harus mengafirmasi setiap perkataannya toh?
Harus dicatat bahwa rakyat tidak perlu takut disebut mencla-mencle. Mengkritik Presiden yang kita pilih sendiri bukan berarti kita tidak berpendirian. Kita memilih Presiden dengan asumsi dia menjanjikan hal terbaik. Ketika janji itu tidak dipenuhi, ya harus ditagih. Saat rakyat menagih janji dan bukannya pasrah menjadi korban kampanye Presiden, saat itulah kesadaran politik telah berkembang di Indonesia. Tidak ada lagi budaya politik patrimonial seperti yang disinggung Clifford Geertz.
Oleh karena itu, apa yang rakyat Indonesia harus lakukan sekarang adalah berdikari. Rakyat harus menyadari bahwa kedudukannya bukanlah sebagai objek melainkan subjek dari sebuah negara. Sehingga, seperti kata Habermas, ketika negara tidak memenuhi keinginan rakyat, maka rakyat akan bergerak sendiri.[1]
Paling tidak ada dua macam respon yang diberikan rakyat ketika negara tak menjalankan fungsinya. Pertama, melawan. Kedua, melengkapi tugas negara. Mouffe yang tidak memercayai bahwa konsensus dan demokrasi akan memuaskan seluruh pihak memilih untuk mempertentangkan negara dan rakyat.[2] Konsep gerakan sosialnya mirip dengan Marx yang Gramsci yang menekankan pentingnya counter hegemony.[3] Point penting counter hegemony sebenarnya bukan tentang menjatuhkan negara. Tetapi bagaimana rakyat mampu menunjukkan eksistensinya yang coba ditiadakan oleh negara.[4] Marx dalam German Ideology mengatakan bahwa satu-satunya yang membedakan manusia dengan hewan adalah kemampuannya untuk mengkritik.[5] Sehingga, eksistensi rakyat hanya bisa ditunjukkan lewat kritik. Ini mengapa perlawanan rakyat tidak diharuskan untuk meniadakan Presiden, Polri atau partai. Justru yang terpenting adalah membuat rakyat bisa mengkritik negaranya sendiri dan bukannya pasrah pada situasi yang mengenai dirinya. Di titik ini, kita tak bisa membiarkan Menkopulhankam yang justru melihat keterlibatan rakyat sebagai pembelaan yang tidak jelas. Pernyataan ini dan juga pernyataan Presiden yang menyayangkan pergerakan massa di kantor KPK harus diwaspadai sebagai indikasi peniadaan rakyat. Bagaimanapun juga, rakyat harus berani melawan impunitas negara.
Selain menentang negara, rakyat juga dapat merespon dengan melengkapi tugas negara. Misalnya dengan mendirikan LSM atau epistemic community. Dalam konteks kasus BW, kita melihat akademisi di DIY menyatakan pembelaannya pada penegakan hukum di Indonesia, minggu (21/01) lalu. Mereka menuntut adanya tim independen yang diambil dari rakyat sendiri untuk mengusut kasus BW. Sementara itu, biarkan KPK terus melanjutkan investigasi kasus BG. Seperti yang disampaikan oleh Zaenal Arifin, korupsi adalah extraordinary crime, sehingga kasus korupsi harus didahulukan penanganannya dibanding kasus lainnya. Sedangkan kasus BW, baiknya diselesaikan oleh rakyat yang tidak punya kepentingan politik apapun. Hal ini menunjukkan adanya ketidakpercayaan rakyat pada institusi negara. Namun, berbeda dengan argumen Mouffe, yang mereka lakukan tidak hanya mengritik tapi juga berkomitmen untuk melengkapi tugas negara dalam menegakkan keadilan.
Tulisan ini akhirnya merekomendasikan kedua respon di atas untuk terus diusahakan dalam masyarakat. Untuk sekarang ini, masyarakat harus melepaskan diri dari atribut partai dan berdiri berjarak dari negara. Masyarakat harus berani mengkritik negaranya sendiri dan terus menginisiasi usaha untuk membenahi fungsi negara. Kritik ini tidak untuk membela KPK, BW atau Jokowi, kritik ini untuk membela kepentingan kolektif kita –kepentingan rakyat. Jika negara tak lagi sanggup memenuhi kebutuhan rakyatnya, maka rakyat yang akan memenuhi kebutuhannya sendiri. Mengutip celetukan salah satu peserta aksi Sabtu lalu, “Kalau negaranya tidak becus, ya sudah diganti anak pramuka saja.”
Ganesh Cintika Putri
Jurnalis cum Mahasiswa Jurusan Ilmu Hubungan Internasional
[1] Lih. Jurgen Habermas, Ruang Public: Sebuah Kajian tentang Kategori Masyarakat Borjuis, Yogyakarta: Kreasi Wacana, 2007.
[2] Lih. Chantal Mouffe, On Political: Thinking in Action, New York: Routledge, 2005.
[3] Lih. J.A. Buttigieg, ‘Gramsci on Civil Society’, Boundary 2, vol. 22, no. 3, 1995
[4] Negara dalam hal ini adalah sekelompok elit yang berkuasa di atas rakyat bukan negara sebagai lembaga yang terdiri dari pemerintah, wilayah dan rakyat.
[5] Lih. Marx, Engels, ‘Theses on Feuerbach’,The German Ideology 1845-1846, New York: Promotheus Books, 1998.