“Dari kemarin kita disuguhi sebuah drama. Bukan hanya soal BW yang dizalimi, tetapi tentang pencideraan semangat anti korupsi!” teriak salah satu orator membuka aksi, Sabtu pagi (24/1). Ikut dalam aksi, perwakilan 30 lembaga berarak menuju Markas Besar Kepolisian Daerah (Mapolda) DIY. Mereka terdiri atas akademisi, mahasiswa, dan perwakilan kelompok profesi.
Aksi ini merupakan bagian dari rangkaian protes penangkapan BW, salah satu Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Ia ditangkap karena mendapat tuduhan pemaksaan pemberian keterangan palsu pada saksi sengketa Bupati Kotawaringin Barat (Kobar) tahun 2010. Menurut Sarli Zulhendra, perwakilan LBH Yogyakarta, penangkapan BW adalah usaha pelemahan KPK oleh Polri. Pasalnya, penangkapan ini menggangu kinerja KPK dalam mengusut kasus korupsi di Indonesia. Salah satunya adalah kasus gratifikasi yang melibatkan BG. Namun, Jokowi tidak segera mencabut pencalonannya sebagai Kapolri. Sarli juga mengungkapkan bahwa penangkapan BW hanya merupakan satu dari beberapa tuduhan yang menimpa beberapa petinggi KPK.
Pascapenetapan BG sebagai tersangka, sejumlah petinggi KPK mendapat tuduhan. Contohnya, penetapan BW sebagai tersangka yang memiliki beberapa kejanggalan. Selang empat hari setelah laporan masuk, BW ditangkap. Terlebih, menurut Laras Susanti, peneliti Pusat Studi Anti Korupsi (Pukat) UGM, penetapan BW sebagai tersangka tidak sesuai dengan prosedur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) dan menyalahi etika. “Anaknya bahkan sempat ikut dibawa Bareskrim, sangat tidak manusiawi,” ujar Laras, peneliti Pusat Studi Anti Korupsi (Pukat).
Laras menambahkan bahwa pasal 242 juncto 55 KUHP yang disangkakan pada BW tidak dapat diterapkan. Alasannya, BW hingga kini berstatus sebagai seorang penasihat hukum, bukan saksi. Sementara itu, keterangan saksi di hadapan persidangan Mahkamah Konstitusi disampaikan dalam keadaan bebas dari tekanan pihak manapun. Majelis hakim juga telah menguji keterangan yang disampaikan saksi. Indikasi pelanggaran terhadap pasal tersebut pun menjadi tidak tepat. “Terlalu mengada-ada. BW kan hanya seorang penasihat hukum, keterangan palsu hanya dituduhkan pada saksi,” tandas Laras.
Tak hanya itu, tuduhan penekanan terhadap saksi yang dijatuhkan pada BW tidak dapat masuk dalam kategori tindakan pidana. Dalam press release aksi, kasus Bupati Kobar pernah dibahas dalam fit and proper test di DPR yang meloloskan BW sebagai calon pimpinan KPK. Saat itu, BW menjelaskan upaya pendampingan hukum, termasuk di dalamnya briefing terhadap saksi yang bukan merupakan suatu tindak pidana. Ia menambahkan bahwa yang dilakukannya dalam briefing hanya sebatas menjelaskan proses persidangan di MK. “…Berdasarkan akal sehat, sama sekali tidak terdapat tindak pidana di dalamnya…,” tulis mereka dalam press release tersebut.
Selain orasi dan press release, pernyataan massa ditulis dalam surat protes yang ditujukan kepada PLT Kapolri/Wakapolri melalui Kapolda DIY. Surat ini berisi 5 sikap:
- Memrotes penggunaan wewenang Polri dalam penangkapan yang sangat tidak patut, berlebihan dan tidak professional.
- Meminta Wakapolri untuk meminta pada kabareskrim agar tidak melakukan penahanan kepada BW selama yang bersangkutan diperlukan.
- Meminta Wakapolri untuk mengadakan evaluasi mendesak dengan segera, untuk menkaji tindakan kriminalisasi terhadap BW.
- Segera menerbitkan Surat Penghentian Penyidikan atas perkara yang disangkakan pada BW.
- Meminta Kapolri untuk menegakkan wibawa Polri, tidak melakukan penangkapan sewenang-wenang, menghormati harkat dan martabat tersangka, terlebih kepada mereka yang dilindungi undang-undang dalam menjalankan tugas profesinya.
Ditemui selepas orasi, Ahmad Tahir, koordinator aksi dari UIN Sunan Kalijaga, mengatakan bahwa aksi tidak berhenti sampai disini. “Kami akan terus menuntut sampai ada ketegasan dari Kapolri,” tutur Tahir. Ia menambahkan bahwa rangkaian aksi dilanjutkan dengan pernyataan para rektor universitas se-DIY, Minggu (25/01) pukul 9.30 WIB di Balairung Rektorat UGM. Senada dengan Tahir, para perwakilan LBH menyatakan akan terus mengawal penegakan hukum oleh Polri. Pasalnya, menurut mereka, hukum yang dibuat untuk menegakkan keadilan tidak seharusnya dimanfaatkan segelintir orang yang berkuasa. “Hukum hanya dijadikan komoditas bagi mereka yang tak sepakat memberantas korupsi. Sadarlah, segera berbenah Polri!” pungkas Sarli. [Nuresti Tristya Astarina, Ganesh Cintika]
1 komentar
warga jakarta juga menolak acara pelemahan kpk