PAGI HARI.
Udara dingin terasa menyelinap di bawah selimut dan menembus kulit. Semakin membuat badan Hana enggan beranjak dari tempat tidur. Alih-alih bangun dan segera mandi, Hana malah semakin meringkuk dengan selimut tebalnya.
Dengan sedikit menyipitkan mata, Hana mengintip jam yang ada di ponselnya. Seketika dia terperanjak dari kemalasan di pagi hari yang dingin. Jam analog di ponselnya menunjukkan angka enam lebih beberapa menit. Padahal ada kelas pertama di jam tujuh, beberapa tugas yang masih harus di-print, belum lagi kelas yang tempatnya sangat menyiksa kaki dan pernapasan, lantai tiga gedung tua tanpa eskalator. Setelah mengitung-hitung waktu yang dibutuhkan untuk mandi, ganti baju, print tugas, dan jalan menuju kampus, artinya Hana harus berolahraga menaiki gedung lantai tiga dengan durasi waktu kurang dari lima menit jika tidak ingin terlambat.
Dengan muka polos tanpa bedak sama sekali, seperti biasa, Hana membawa tas ransel dan beberapa kertas tugas yang harus dikumpulkan hari itu. Bagi anak-anak kos, pemandangan itu sudah biasa.
Saat melewati gerbang kos, muka tegang Hana karena tergesa-tega tiba-tiba berubah menjadi kaget. Kehadiran seseorang dengan motor gede dihadapannya membuat langkahnya terhenti.
“Kamu ngapain, Mi?” Hana bertanya pada Rumi dengan muka melongo. Nama seseorang itu adalah Rumi. Seseorang yang selama ini hanya bisa Hana sukai dari jauh.
“Hei, jangan marah, dong. Kan, kali ini bukan aku yang telat. Aku sudah menunggu sekitar lima belas menit di sini,” Rumi menjawab dengan sedikit mengeluh. Sepertinya jawaban Rumi masih belum memuaskan keheranan Hana. Sekarang Hana malah berbalik memerhatikan motor gede yang dinaiki Rumi. Keheranan Hana bertambah satu lagi.
“Iya, iya. Aku minta maaf juga. Aku tahu kamu enggak suka motor ini, tapi mau gimana lagi? Motor bebek yang biasanya ga ada. Maaf, ya,” Rumi malah menjawab dengan jawaban yang lagi-lagi tidak nyambung dengan maksud tatapan Hana.
Hana melihat jam di tangannya. Setelah berpikir sebentar, benar-benar sangat sebentar, akhirnya Hana memustuskan untuk ikut dengan Rumi. Dia tidak peduli dengan keanehan Rumi saat itu, itu urusan belakang saja.
“Ya sudah, aku ada kelas 10 menit lagi. Antar, ya? Tapi masih harus ke rental, ada laporan yang harus aku print,” Hana menutup keheranan pagi itu dengan menerima jemputan “aneh” Rumi. Lagi-lagi Rumi menjawab dengan aneh, “Oke. Siap, bos besar!”
***
Lima menit sebelum kelas Hana dimulai.
Mereka berdua sampai dengan selamat di parkiran kampus Hana. Karena waktu yang sudah sangat mepet, Hana tidak sempat berbasa-basi lagi. Setelah megucapkan terima kasih, dia langsung berlari menuju kelasnya. Tanpa banyak berkata-kata, Rumi hanya melihat Hana dengan tersenyum keheranan. Tapi senyum itu bukan senyum yang biasa Hana terima dari orang lain. Ada sesuatu di senyum Rumi, kasih sayang. Mata Rumi menyiratkan kasih sayang saat tersenyum pada Hana.
“Nanti aku jemput seperti biasa, ya!” Rumi mengucapkannya dengan setengah berteriak.
“Jemput seperti biasa? Memang dia pernah menjemputku?” batin Hana.
***
Pukul 15.30 waktu Jogjakarta.
Hana melihat Rumi di bangku-bangku yang ada di halaman kampusnya. “Dia benar-benar datang ternyata. Bagaimana ini? Aku kenapa ini? Kenapa aku deg-degan?” Hana menggumam sepanjang jalan mengahampiri Rumi di bangku hitam.
“Kamu tidak ada kelas, Mi? Kok sudah di sini?” Hana membuka percakapan kali ini.
“Kok kamu aneh hari ini, Han? Kan, biasanya memang aku jemput kamu jam segini? Hari ini aku nggak ada jadwal kuliah sama sekali,” Rumi balik bertanya pada Hana dengan dahi berkerut. Lalu dia lanjutkan dengan memegang dahi Hana, “Kamu sakit, Han? Habis kejedot? Amnesia? Lupa aku? Ini aku, Rumi. Ru-mi.”
Hana cemberut melihat kelakuan Rumi, “Ih, aku juga tahu kamu itu Rumi.”
“Lha, ya sudah. Ayo berangkat. Katanya mau benerin gitar. Aku harus belajar buat ujian Senin besok nih,” Rumi memasangkan helm Hana. Satu hal lagi yang aneh, helm itu berwarna abu-abu. Hana hanya punya satu helm dan itu berwarna hitam. Wajar saja muka Hana jadi melongo lagi, penuh tanda tanya.
“Kenapa? Amnesia lagi?” raut muka Rumi terlihat agak kesal dengan sikap Hana. Dengan polosnya Hana menggelengkan kepala seperti anak kecil yang takut pada ibunya, tidak mengiyakan tuduhan Rumi. Kali ini Hana memilih untuk menuruti rumi saja. Toh, tidak ada ruginya untuk Hana. Hana malah kegirangan setengah mati. Mungkin hanya ada satu masalah Hana, jantungnya terus berdegup kencang setiap kali ada di dekat Rumi.
***
Hana tidak bisa menyembunyikan betapa girangnya dia. Meskipun harus dibonceng dengan motor gede, yang notabene dia benci, dia tetap tidak bisa berhenti tersenyum. Tangannya berkali-kali mencoba untuk menutup mulut dan membuat mulutnya biasa saja. Tapi, tetap saja gagal, senyumnya lagi-lagi tersungging. Di tengah-tengah perjalanan Rumi beberapa kali mengajak Hana bicara. Karena Hana sedang tidak fokus karena perasaannya sendiri, dia hanya mengiyakan semua perkataan Rumi. Mungkin ini adalah perjalanan pulang menuju kos yang paling menyenangkan dan mendebarkan.
***
Motor gede Rumi sampai di depan toko gitar kecil di gang sempit dekat kampus Hana. Hana agak mengumpat sepanjang perjalanan menuju toko gitar karena jalan yang tidak mulus sama sekali, terlalu banyak polisi tidur. Keselamatan memang paling penting, tapi tidak harus membuat pengguna jalan tidak nyaman, kan?
Hana masuk toko dan langsung menemui pemilik toko, sekaligus penjaga, yang sama ketika dia membeli gitar akustiknya, “Mas, ini senarnya putus. Enaknya diganti yang putus saja atau semuanya, Mas?”
Mas bermata sipit itu menjawab dengan tersenyum, “Wah, kebetulan yang eceran lagi kosong, Mbak. Adanya yang satu set. Bagaimana?”
Hana memutuskan untuk mengganti semua senar gitarnya dengan satu set yang baru. Pemilik toko menyarankan Hana untuk sambil melakukan hal lain saja sembari menunggu perbaikan gitarnya. Karena butuh waktu yang cukup lama untuk melepas senar yang lama, memasang senar baru, dan men-stem senarnya.
Melihat raut muka Rumi yang sudah kelaparan, Hana menawari Rumi makan siang, atau lebih tepatnya makan sore, di warung murah langganan Hana. Rumi mengangguk dengan senyum khas anak kecil waktu mendengar tawaran Hana. Matanya menyipit dengan manisnya, hanya meninggalkan dua garis lucu di wajah.
Hampir saja Hana kehilangan kendali saat melihat Rumi. Dia cepat-cepat memakai helm abu-abunya untuk menutupi kegugupannya. Sekeras apapun usahanya untuk menutupi ekspresi wajahnya, dia tetap saja tidak bisa mnyembunyikan gejolak bahagia di hatinya. Sangking bahagianya, jantung Hana serasa akan melompat keluar.
“Mimpi apa aku kemarin? Kenapa hari ini jadi seperti ini? Aneh.Kenapa Rumi jadi begitu?
***
“Kamu ga makan?”
“Ga, Mi. Lagi ga laper.”
“Jangan-jangan kamu lagi diet, ya? Haha.” Tawa rumi terdengar sangat menyebalkan.
“Memang aku segendut apa sampai harus diet?” Hana terlihat kesal.
“Maaf, bos. Habis ini mau ke mana lagi?”
“Enggak ada. Langsung pulang saja, Mi.” Jawaban Hana sangat pendek.
Hana sedikit menyesali jawabannya. Kenapa ketus sekali? Inilah masalah hana yang lain. Saat dia salah tingkah, dia akan mengatakan hal-hal yang tidak enak didengar. Ditambah lagi dengan nada ketus.
***
Pukul 19.30 waktu Wisma Djayanti (Tempat Kos Hana)
Deredet deredet…
Ada pesan masuk. Hana membaca nama pengirim adalah “suam”.
“Han, keluar, dong. Malam minggu jam malam kosnya sampe jam 10, kan?”
“Ngapain, Mi? Katanya mau belajar? Ujian, Mi!”
“Pleaaaase, Han. Sumpek, nih. :’(“
Aduh, kenapa pakai ekspresi sedih, sih!
“Yaudah. Tungguin, ya.” Akhirnya Hana luluh juga.
***
Hana sibuk membenarkan helm untuk menghindari angin malam. Sementara Rumi tetap fokus mengendarai motornya. Rumi masih mengenakan baju yang sama dengan yang tadi siang ia pakai. Muncul pertanyaan iseng Hana, “Mi, kamu ga mandi, ya?”
Rumi tetap fokus mengendarai, “Ya mandilah, Han. Kenapa?”
“Kok bajunya ga ganti?” Cerewet Hana sudah kembali. Mungkin dia sudah mulai terbiasa dengan Rumi hari ini.
“Mandi, kok. Kenapa?”
“Gapapa. Mi?”
“Hem?”
“Kita mau ke mana?”
“Mau duduk-duduk di dekat patung gajah.”
“Mi, seriusan.”
“Iya, ini serius. Noh, patung gajahnya kelihatan, kan?” Rumi menunjuk patung gajah raksasa warna putih yang ada di ujung Jalan Malioboro.
Mereka berdua turun dari motor dan mencari tempat duduk kosong yang tidak terlalu ramai. Hampir lima menit mereka mencari-cari tempat yang agak sepi, tapi sepertinya usaha mereka sia-sia saja. Malam ini adalah malam tersibuk, karena malam ini adalah malam minggu.
“Mi, di sini banyak hantu-hantunya.” Muka Hana terlihat cemas. Tidak mungkin Rumi tidak tahu kalau Hana takut hantu.
“Ya, jangan dilihat hantunya. Hehe.” Cengiran Rumi tidak membantu Hana sama sekali. Hana masih sibuk dengan kecemasannya sendiri.
***
Hana dan Rumi duduk di bangku umum di pinggir jalan. Bukan tempat yang sepi dan romantis memang, karena banyak kendaraan berlalu lalang. Apalagi ini malam minggu, banyak pasangan yang keluar dengan kendaraan bermotor. Baik itu roda dua maupun roda empat. Pasangan-pasangan ini yang membuat jalanan jadi semakin macet dan berpolusi. Pasangan? Apakah Hana dan Rumi juga bisa dikatakan sebagai “pasangan”? Entahlah.
“Jam sepuluh pulang ya, Mi!” Hana melirik Rumi yang sedang duduk sqntai di sampingnya. Dia terlihat sangat lelah.
“Iya. Masih jam sembilan.” Rumi menjawab tanpa menengok ke arah Hana.
“Mi, kamu capek? Gara-gara tadi siang nganterin aku?”
“Enggak, kok. Lagi banyak pikiran saja.”
“Kenapa bawa aku ke sini kalau kamu lagi banyak pikiran?”
“Gapapa, Han. Cuma lagi pengen saja. Kamu jarang keluar juga, kan?”
“Iya juga, sih.” Percakapan malam itu ditutup dengan muka pasrah Hana. Benar-benar percakapan yang tidak menarik.
***
Sudah semakin malam. Tidak biasanya Hana mengantuk di jam seperti ini. Biasanya dia tidur dini hari. Dia sudah menguap berkali-kali. Matanya sudah sayu, seperti memberi peringatan bahwa pemilik mata sayu itu sudah sangat mengantuk. Jika sudah mengantuk Hana tidak bisa fokus sama sekali. Jalan agak sempoyongan, mata sudah tidak bisa melihat dengan jelas. Begitu pun malam itu.
Tanpa disadari, ada motor yang melaju dengan kencang di belakang Hana. Hana tidak mendengar suara klakson motor di belakangnya. Dengan cekatan dan agak kasar Rumi menarik lengan Hana saat motor itu hampir menghantam badan Hana dari belakang.
“Hati-hati, Han!” Sergah Rumi cemas.
Hana cuma bisa diam. Mata sayunya langsung terihat segar, tegang lebih tepatnya, karena kaget. Tangannya masih memegang lengan Rumi. Rumi merasakan tangan Hana agak gemetar. Rumi jadi cemas melihatnya.
“Kamu gapapa? Mau minum?” Rumi melihat muka Hana yang masih tegang dengan muka cemas.
“Gapapa, Mi. Cuma kaget saja, kok.” Hana mencoba tersenyum, tapi gagal. Kecemasannya mengalahkan senyumnya.
“Yasudah. Kita pulang saja, yuk!” Rumi memasangkan helm Hana.
***
Keesokan harinya.
Sudah setengah hari ini Hana mengecek ponselnya berulang-ulang. Berharap nama “suam” akan muncul. Tapi tidak ada pesan sama sekali, apalagi telpon.
Apa mungkin itu mimpi, ya?
Lalu Hana melihat sekeliling kamarnya sambil mengingat kejadian kemarin. Hana sering mempimpikan sesuatu yang terasa sangat nyata. Bahkan setelah bangun tidurmimpi itu masih terasa nyata. Hana mengira Rumi dan segala tingkah polanya kemarin adalah mimpi.
Namun, sangkaan itu seketika berubah ketika melihat helm abu-abu di sudut kamarnya. Ada dua helm di sana, warna abu-abu dan hitam.
Berarti kejadian kemarin itu bukan mimpi!
Lalu ada pesan masuk.
“Han, aku jemput sekarang. Anterin ke rumah sakit.” Pesan itu masuk dengan nama “Tika” di atas pesan itu.
***
Siang hari di rumah sakit.
Dua mahasiswi berbeda jurusan itu berjalan dengan langkah cepat di rumah sakit. Hana terlihat agak bingung mengikuti jalan Tika di depannya. Sejak dia menjemput Hana sampai sekarang Tika belum menberitahu siapa yang akan mereka jenguk.
“Tik, kita mau jenguk siapa?” Hana menyempatkan bertanya di sela-sela jalannya yang tergesa.
“Ikut saja, Han. Nanti kamu juga tahu.” Pertanyaan Hana belum bisa menjebol pertahanan Tika, dia masih bungkam.
Keduanya sampai di ruang UGD. Ternyata di sana sudah ada beberapa orang yang Hana dan Tika kenal. Saat itu Hana masih belum ada gambaran siapa yang sakit. Sampai dia masuk ke dalam ruangan dan mendapati sosok Rumi terbaring lemas di atas tempat tidur.
***
Hana tidak tahu harus bagaimana. Dia tidak tahu apakah dia harus menangis atau diam saja. Jika memang sedih, seharusnya dia menangis. Tapi, kenapa air matanya tidak bisa keluar?
Diantara semua kebingungan itu, satu yang terlihat jelas di wajah Hana, cemas. Wajah Hana terlihat sangat cemas dan khawatir. Dia semakin terlihat kacau karena cemas dan khawatir itu bercampur dengan ekspresi kaget.
Alhasil, Hana melampiaskan kekacauannya dengan menggenggam erat lengan Tika. Sepertinya Tika tahu tentang perasaan Hana, Tika membiarkannya saja. Keadaan seperti itu tetap bertahan selama beberapa menit. Tidak ada satu kata pun keluar dari mulut Hana.
“Kamu gapapa, Mi?” Pertanyaan Tika mengalihkan perhatian Hana sebentar.
“Iya. Biasa, kok. Cuma pingsan saja.” Rumi nyengir, tapi arahnya bukan ke Tika. Dia nyengir ke arah Hana. Sepertinya dia tahu Hana benar-benar mencemaskannya, meskipun Hana tidak mengatakan apa-apa.
Setelah mendengar jawaban Rumi, wajah Hana mulai terlihat santai. Dengan suara agak serak, seperti menahan sesuatu, dia berbicara, “Helm abu-abunya masih di kosan.”
“Itu punya kamu, kok. Ambil saja.” Karena melihat ekspresi cemas Hana, Rumi menjawabnya dengan santai. Ia ingin meyakinkan Hana kalau di abaik-baik saja.
“Maaf, ya. Kemarin aku sempat jutek.” Senyum Hana jadi terlihat aneh karena dipaksakan.
“Aku baik-baik aja, Han. Kok kayak mau perpsisahan saja, sih.” Rumi tetap berusaha meyakinkan Hana kalau di abaik-baik saja.
“Maaf juga karena udah bikin khawatir. Sudah, jangan khawatir lagi.” Kali ini muka Rumi terlihat serius.
Adegan ini memang berkhir dengan percakapan payah seperti itu. Jangan berharap mereka berdua akan seperti adegan dalam film. Hana menangis tersedu-sedu dan Rumi akan ikut menangis tersedu-sedu lalu mereka berpacaran. Tidak. Mereka tidak semurah itu. Hubungan mereka tidak sedangkal itu.
***
Sebulan kemudian.
Tin tiiin. Tin tiiiin.
“Haaaan! Rumi sudah dataaang!” Teriak salah satu anak kosan dari lantai bawah.
“Iya, iya. Sebentar!” Tangan Hana menyambar tas yang digantung di belakang pintu.
Sesampainya di lantai bawah Hana bertemu anak kos lanta bawah. “Jadian aja, napah?” Kata Dina, anak kos itu.
“Belum waktunya, Din.” Timpal Hana.
“Bye”
***
Sudah sebulan setelah peristiwa “sehari bersama Rumi” dan peristiwa rumah sakit itu, bagaimana dengan hubungan mereka berdua? Hubungan mereka baik-baik saja. Apakah mereka semakin dekat? Iya, mereka jadi semakin dekat. Kemana-mana selalu berdua. Kalau Hana ingin pergi ke suatu tempat, Rumi adalah orang pertama yang dia hubungi. Entah bagaimana mereka berdua saling mnejelaskan tentang peristiwa penting itu. Dua hari itu menjadi jalan bagi mereka berdua untuk bisa jadi sedekat ini.
Apakah mereka sudah resmi pacaran? Entahlah itu urusan mereka.
Iya, kan?
*) Siska Aprilia merupakan Pemenang III Lomba Cerpen yang diadakan dalam rangka HUT Balairung ke–29 pada 29 Oktober 2014.
2 komentar
hallo Balairung, saya Mutik mahasiswa keperawatan UGM, kalo saya ingin mengirim artikel atau jenis tulisan lain ke balairung ditujukan ke alamat apa dan bagaimana ketentuannya?
terimakasih
Halo Mutik! Silakan kirimkan opini / cerpenmu ke balairungpress@gmail.com dengan ketentuan berikut ya. Kami tunggu tulisanmu 🙂