Enam puluh empat tahun merdeka, negeri muda ini belum tentu kemana arahnya. Ini belum selesai, Bung!!!
Revolusioner – revolusioner agung tergopoh-gopoh bersimbah darah berlarian menuju medan perang perubahan. Bekal untuk pasca perang terlupakan. Setelah kemenangan, jangankan pesta, hidup layak pun hanya angan. Revolusi, revolusi dan sepertinya belum bosan dengan kosakata itu. Revolusi hanya dipandang seperti ledakan bom atom yang seketika menghapus penghalang. Sering kali terlewatkan proses panjang dan sulit yang terjadi sebelumnya. Bahkan setelah main show, semua hanya terkagum dengan efek destruktifnya. Tidak tahu apa yang akan dilakukan selanjutnya. Asal hancur, asal berubah saja, perubahan yang asal.
Seperti itulah Max Lane menggambarkan perubahan dalam buku Unfinished Nation edisi terbaru tahun 2014 terbitan Djaman Baroe ini. Buku ini dibagi menjadi tiga pembahasan, pertama peran sejarah beserta elemen – elemen menuju terciptanya perubahan. Yang kedua, proses perubahan dan terakhir, kemungkinan – kemungkinan pasca perubahan. Perubahan di sini dititikberatkan pada reformasi tahun 1998 yang dikupas mendalam berdasar sejarah pergerakan massa sebelumnya.
Dalam bab 1 – 4 terangkum proses panjang sejarah Indonesia dalam menciptakan perubahan dengan aksi massa. Pada masa kolonial, pergerakan massa dipelopori oleh Sarekat Islam. Selanjutnya pergerakan massa diwariskan pada organisasi lain seperti PKI dan PNI sampai dengan gejolak politik di tahun 1965. Kemudian setelah Orde Baru berkuasa, pergerakan massa dibendung secara represif.
Kemudian pada bab 5 – 8, penulis memaparkan kebangkitan inisiator melawan otoritarianisme Orde Baru. Mereka yang tergabung dalam Partai Rakyat Demokratik (PRD) dan beberapa elemen lain melakukan inisiasi aksi massa. Puncaknya cita-cita Reformasi tercapai berkat kerja keras dan pergerakan semua rakyat.
Pada bab 9 dijelaskan kondisi sosial-ekonomi di masa akhir Orde Baru dan pasca Reformasi yang carut marut. Keadaan tersebut pada umumnya sering dianggap sebagai faktor utama yang meruntuhkan rezim Soeharto. Namun sebenarnya peran massa-lah yang akhirnya dapat mewujudkan aksi yang nyata dan tidak bisa dibendung oleh aparat.
Terakhir, pada bab 10 dipaparkan kontinuitas protes sosial pasca Reformasi. Reformasi yang dilakukan dengan sukses sayangnya tidak memiliki arah tujuan yang jelas. Silih berganti kepemimpinan tampaknya belum juga menuntaskan cita – cita reformasi Indonesia. Masih banyaknya masalah yang diwariskan oleh rezim – rezim sebelumnya menuntut rakyat untuk kembali bergerak menuntut hak dan keadilan.
Buku ini mencoba menempatkan sejarah Reformasi sebagai diskursus baru. Berpijak pada materialisme historis khas Marxisme, reformasi tampil setelah proses yang panjang. Reformasi dibidani oleh gerakan pelopor dengan mobilisasi dan aksi massanya. Penulis menyuguhkan aksi massa yang sering tersisihkan sebagai bagian yang tak terpisahkan sejarah Indonesia. Sangat jarang peran massa diangkat dalam karya sejarah, apalagi dengan perspektif kritis.
Buku ini disusun dengan metode dialektika dan observasi partisipatif. Dengan berdasarkan riset mendalam dan keterlibatan langsung penulis bersama tokoh sejarah perubahan, Pramoedya dan Rendra. Meskipun sebagai buah pengalaman bersama, karya ini tidak menghilangkan sisi kritisnya terhadap para tokoh perubahan. Pengaruh kedekatan dengan dua tokoh tersebut justru memberi unsur sastra pada karya ini. Unsur sastra tersebut tidak hanya sebagai penghias seperti karya sejarah lainnya, namun sebaliknya ia hadir sebagai tubuh dan data penopangnya. Dan hal – hal inilah yang menjadikan buku ini berbeda dengan karya – karya sejarah lainnya.
Selain hal-hal tersebut, fisik buku ini tidak terlalu besar dan tebal namun isinya mudah dipahami. Sayangnya kecenderungan bahasan dalam buku ini membawa ketimpangan peran antar golongan dalam sejarah Indonesia.
Pada akhirnya, karya ini adalah rujukan yang bagus untuk melihat sejarah Indonesia dengan cara yang berbeda. Sasaran buku ini tidak hanya sejarawan dan akademisi, melainkan siapapun yang peduli dengan sejarah Indonesia. [Kristian Dwi Nugraha]