Selasa (8/12) sore, Gelanggang Mahasiswa kelihatan ramai. Hiruk-pikuk aktivitas mahasiswa terlihat di hampir setiap ruangan. Di sudut Gelanggang Mahasiswa, terlihat pintu sekretariat Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) Selam terbuka. Para pengurus di dalamnya tengah berbincang mengenai tantangan organisasi yang mereka hadapi. Satu hal yang dinilai sebagai tantangan krusial bagi UKM adalah permasalahan dana dari rektorat yang disinyalir berkurang alokasinya. “Ada penurunan dari tahun kemarin,” tutur Ahmad Sapahardi, pengurus UKM Selam.
Selain alokasinya berkurang, dana yang turun juga masih tidak sesuai dengan yang diharapkan oleh pihak UKM. “Kadang-kadang cuma sepuluh persen,” lanjut mahasiswa yang akrab disapa Hadi ini. Ia mengaku bahwa dana yang diterima UKM Selam berkisar di angka dua hingga tiga juta rupiah. Hal ini menyulitkan UKM dalam mengadakan kegiatan atau menyusun anggaran.
Walau banyak dikeluhkan oleh pengurus UKM, pihak Direktorat Kemahasiswaan (Dirmawa) UGM menganggap hal ini wajar dan sudah sesuai dengan peraturan. “Universitas memang tidak akan mendanai mereka total karena sistemnya subsidi,” terang Dr. Drs. Senawi, M.P, Direktur Dirmawa. Senawi mengaku bahwa mereka tidak akan mungkin mencukupi semua kebutuhan dana UKM. Oleh karena itu, UKM dihimbau untuk mandiri.
Hal ini menuai respons negatif dari pihak UKM Gama Cendekia. Lusi Nur Rahmawati, bendahara Gama Cendekia, mengeluhkan kurangnya bantuan dana dari UGM terhadap kegiatan mahasiswa khususnya UKM. Lusi menganggap bahwa hal ini kontradiktif dengan jumlah pemasukan keuangan UKM yang menurutnya besar. Selain itu, masalah keterbatasan dana juga menghambat kebebasan mereka untuk berkreasi. “Menurut saya harusnya bisa didukung penuh,” tambahnya.
Ketidakjelasan ini menimbulkan spekulasi, terutama mengenai alasan di balik berkurangnya alokasi dana UKM. “Kalau menurut saya pribadi karena pembayaran uang kuliah dengan sistem UKT,” terang Ni Nyoman Yudianti Mendra. Pegiat UKM Kelompok Mahasiswa Hindu Dharma (KMHD) ini juga menduga bahwa pembangunan di UGM ikut andil dalam berkurangnya alokasi dana.
Akan tetapi, anggapan ini dibantah oleh Dirmawa. Menurut Dirmawa, yang membedakan tahun ini dengan tahun 2013 adalah keberadaan Kartu Identitas Kendaraan (KIK). Saat KIK masih diberlakukan, universitas memiliki sumber dana tambahan untuk mengisi keuangan kampus. “UKT itu hal yang kecil, hanya sekian persen,” kilah Senawi.
Kondisi keuangan UKM yang seperti ini menimbulkan dampak yang variatif. Beberapa pegiat UKM mengaku program kerja (proker) mereka terganggu atau bahkan dibatalkan karena masalah turunnya dana ini. “Kami harus bekerja ekstra keras untuk menutupi kekurangan dana karena keputusan rektorat ini,” keluh Ni Nyoman. Ia juga mengaku bahwa KMHD terpaksa meminimalkan anggaran dan melakukan negosiasi dengan pihak terkait untuk menyiasati permasalahan keuangan.
Berbeda dengan UKM KMHD, turunnya anggaran ini tidak berdampak fatal pada UKM Gama Cendekia. Walau berimbas pada anggaran UKM, ternyata hal ini tidak selalu memengaruhi proker. “Untuk tahun ini, kegiatan Gama Cendekia masih berjalan baik walau sangat kekurangan dana,” ujar Lusi.
Hal ini dikarenakan tiap UKM memiliki pendekatan masing-masing dalam menyesuaikan kegiatan dengan minimnya keuangan. UKM Gama Cendekia, misalnya. Para pengurus tetap nekat melaksanakan proker walau harus kelimpungan mencari dana. Seringkali UKM harus mengurangi jumlah peserta dan menaikkan dana partisipasi anggota. Hal inilah yang dilakukan oleh UKM Selam. “Harusnya semua ikut, tapi akhirnya tinggal perwakilan saja yang diutamakan berangkat,” tutur Hadi.
Selain itu, persentase anggaran yang disetujui juga tidak pasti sama tiap UKM. Hal ini semakin menyulitkan UKM dalam menyusun anggaran kegiatan. Pasalnya, mereka tidak bisa memprediksi berapa dana yang mungkin diturunkan. UKM Teater Gadjah Mada mengaku bahwa rektorat pernah menyutujui anggaran mereka hingga 80% untuk acara Pekan Seni Mahasiswa. Namun, persentase dana yang mereka dapat bisa saja berbeda di proker selanjutnya.
Dirmawa sendiri tidak memberi tahu berapa persentase dana yang akan dikucurkan kepada tiap UKM. Kendati demikian, jenis kegiatan yang diajukan UKM menjadi pertimbangan serius bagi Dirmawa. Dirmawa memprioritaskan kegiatan yang bisa membesarkan nama UGM daripada kegiatan internal UKM. “Kegiatan yang akan kita dorong adalah yang berorientasi pada prestasi dan kompetisi,” tandas Senawi. Selain itu, Dirmawa juga memperhatikan tingkat produktivitas UKM.
Menyiasati kondisi ini, para pengurus UKM memutar otak mencari jalan untuk menutup anggaran agar proker bisa tetap berjalan. Berbagai cara diusahakan seperti dana usaha (danus) dan iuran wajib anggota. Seringkali UKM juga mendapatkan donasi dari alumni UKM dan menarik biaya partisipasi kepada anggota setiap mereka mengadakan acara. Lusi mengaku bahwa danus adalah salah satu sumber dana yang besar bagi Gama Cendekia. “Danus kita tahun ini cukup fantastis profitnya,” tandasnya puas.
Pun demikian, berbagai upaya untuk mengatasi dampak dari turunnya dana ini belum bisa mengakhiri persoalan. Tidak hanya berimbas pada ‘kesehatan’ keuangan dan proker UKM, dampaknya juga menyentuh produktivitas dan prestasi UKM. Hal ini karena dana dianggap vital bagi perkembangan UKM, terutama terkait usaha peningkatan prestasi. “Susah kalau dana tidak cukup untuk membangun prestasi,” aku Hadi. Ia mengatakan bahwa UKM Selam sering tidak mengikuti lomba karena terkendala dana.
Tidak hanya prestasi yang terhambat, Dian mengaku bahwa kondisi keuangan yang terbilang susah membuat produktivitas KMHD menurun. Hal ini disebabkan oleh menurunnya kualitas kegiatan yang bersifat internal dan berorientasi pada pengembangan anggota. “Produktivitas kami terganggu karena kendala dana membuat kami tidak bisa mengundang pembicara yang agak mahal,” jelas Ni Wayan.
Senawi sendiri tidak melihat adanya korelasi antara dana dari universitas dengan produktivitas UKM. Menurutnya, tingkat produktivitas UKM tidak ditentukan oleh besarnya bantuan dari universitas, melainkan tanggung jawab masing-masing pengurus. Senawi juga mengaku bahwa pihak universitas sudah memberikan beasiswa kepada para pengurus. Ia menilai bahwa bantuan dana maupun sarana prasarana dari rektorat sudah memadai bagi UKM untuk beroperasi. Ia tidak melihat alasan bagi UKM untuk tidak berkembang. “Tidak ada alasan orang yang berjuang itu mandek di tengah jalan,” tegas Senawi.
Hal ini tentu saja dinilai tidak ideal bagi hubungan antara UKM dengan UGM. Ni Wayan menilai seharusnya rektorat bisa memberikan alokasi dana yang adil proporsinya untuk pengembangan kreativitas mahasiswa. Mahasiswi Farmasi ini juga menunjukkan adanya keselarasan antara tujuan dari UKM dengan visi rektorat. UKM sejatinya juga selalu membawa nama UGM. “Saya yakin tiap UKM memiliki tujuan yang sama, yakni mengangkat nama UGM,” pungkasnya. [Anggita Triastiwi, Imtiyaz Karima]
1 komentar
Kunjungi juga website kami. mimbaruntan.com.
salam persma Indonesia