Puluhan mahasiswa yang tergabung dalam Ikatan Pelajar Mahasiswa Papua (IPMA) menyuarakan pembelaan terhadap kasus penembakan masyarakat sipil yang terjadi di Bumi Cendrawasih. Selasa (9/12) siang, IPMA memulai aksi dengan mendatangi kampus UGM untuk menemui Presiden Jokowi yang sedang mengisi kuliah umum di Balai Senat UGM. Mulanya para demonstran berkumpul dan berorasi di depan pintu gerbang utama UGM. Polisi pun dengan sigap berkumpul untuk mencegah terjadinya kericuhan.
Setelah orasi berlangsung selama beberapa menit, kericuhan mulai terjadi. Demonstran mulai bergerak untuk memasuki kampus. Tak ayal, polisi menutup portal untuk mencegah para demonstran memasuki wilayah UGM. Melihat portal ditutup, para demonstran mendesak untuk masuk. Mereka merapatkan barisan dan berusaha menerjang portal yang sudah dijaga belasan polisi di belakangnya. Aksi dorong-mendorong pun terjadi. Teriakan “Satu komando satu barisan” makin membakar semangat para demonstran.
Di tengah aksi dorong-mendorong, kericuhan lain menyusul. Keuletan para demonstran menerobos portal membuat beberapa polisi naik pitam. “Berhenti! Berhenti tidak!! Tangkap koordinator lapangan !! Tangkap !!” teriak salah satu polisi. Teriakan tersebut berhasil memancing amarah beberapa demonstran. Perkelahian antara polisi dan demonstran hampir saja terjadi, untunglah koordinator lapangan dari pihak demonstran berhasil menenangkan rekan-rekannya. Mikael Tegege salaku jurubicara IPMA merasa kecewa karena harapan mereka untuk bertemu Jokowi dihalangi oleh Polisi.
Mikael menjelaskan aksi ini bukan semata-mata menuntut pengusutan kasus penembakan yang terjadi di Kabupaten Paniai saja. Ia menceritakan bahwa selama ini warga Papua merasa mengalami diskriminasi oleh negara. Seperti kasus pembunuhan orang Papua di titik Nol Kilometer. Akan tetapi hal yang terjadi polisi seperti enggan menulusuri kasus tersebut. “Padahal di Nol Kilometer sudah ada CCTV-nya,” keluhnya.
Kasus diskriminasi orang Papua tidak hanya menyangkut hal-hal yang menyangkut masalah nyawa saja. Permasalahan sepele seperti mencari kos-kosan masih sering saja terjadi. Hal ini diungkapkan oleh Matius, salah satu peserta aksi. “Kebanyakan dari kami yang merantau ke Yogya untuk belajar mengalami hal seperti ini, hanya karena kami orang Papua!” kritiknya.
Menjelang sore, suasana kembali memanas ketika massa mulai bergerak menahan laju kendaraan dari Jalan Colombo dan Jalan Cik Di Tiro. Setelah itu, para demonstran duduk membentuk lingkaran dan salah seorang dari mereka membakar ban bekas sembari melakukan orasi.
Setelah puas melakukan aksi, massa lalu membubarkan diri pada pukul 16.30 setelah menyampaikan enam tuntutan. Tuntutan tersebut adalah: Presiden Republik Indonesia, Ir. H. Joko Widodo harus menuntaskan tindak kekerasan yang dilakukan oleh aparat keamanan dengan menewaskan 5 warga sipil di Paniai, Komnas HAM RI segera mengidentifikasi kasus kekerasan di Pinai dan menyampaikan fakta ke publik mengenai fakta peristiwa terutama dalam mengungkapakan pelaku kekerasan yang menewaskan beberapa warga sipil, Negara segera merehabilitasi keluarga korban yang telah kelhilangan anggota keluarganya akibat dihabisi nyawanya dengan menggunakan alat negara, DPR dan MPR segera mengawal kasus kekerasan di Paniai dalam proses mengungkapkan pelaku hingga diadili di Pengadilan Sipil agar keadilan bagi keluarga korban dapat ditegakkan dalam proses hukum, Bupati dan Ketua DPRD Paniai segera melakukan negosiasi dengan Pimpinan Timsus 753 agar anggotanya ditarik dari Paniai, karena Painai bukan Daerah Operasi Militar (DOM) dan bukan pula Darurat Militer, Negara segera menjamin Hak Hidup Masyarakat Asi Papuadengan mengurangi jumlah TNI/POLRI di Papua.
Di sela-sela pembubaran diri, salah satu demonstran berteriak, “Jangan kalian pikir masyarakat Papua bodoh, kami akan selalu menuntut segala perlakuan diskriminasi ini !!.” [Dimas Syibli Muhammad Haikal, Thoriq Ziyad]