Jumat (20/5) pagi di lingkungan kafetaria, sejumlah mahasiswa terlihat aktif keluar masuk ke berbagai ruangan yang ada. Suara instrumen musik orkestra yang dimainkan terdengar ketika sebagian lain begitu asik bersendau gurau dengan rekan satu UKM. Terdapat pula mahasiswa yang semangat berlatih bela diri sementara di sudut lain sekelompok mahasiswa berdiskusi dengan alot. Deka Penawan salah satu diantaranya berpendapat, mengikuti UKM adalah sesuatu yang bermanfaat. “Jadi mahasiswa tidak menyia-nyiakan peluang selama berada dikampus ini,” ungkapnya yang tergabung dalam BEM KM UGM.
Antusiasme mahasiswa dalam mengikuti kegiatan berbagai UKM tersebut mendapat perhatian pihak UGM untuk mengembangkan program baru. Program baru tersebut diterapkan untuk setiap mahasiswa yang masuk pada tahun ajaran 2014 mendatang. Langkah ini merupakan penambahan Sistem Kredit Semester (SKS) yang diperoleh mahasiswa. Penambahan SKS ini akan diperoleh mahasiswa melalui Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) yang diikuti di kampus. “Program ini bertujuan agar lulusan UGM nantinya tidak hanya menonjol di bidang akademik tapi juga non-akademik” beber Dr. Drs. Senawi, M. P, Direktur Direktorat Kemahasiswaan (Dirmawa).
Rencananya bidang akademik dan non-akademik menjadi syarat untuk mendapatkan gelar sarjana UGM. Nilai non-akademik yang diperoleh akan disesuaikan dengan prestasi di tingkat regional, nasional, dan internasional. Program penilaian tersebut dikembangkan pada mahasiswa guna meningkatkan karakter kepemimpinan dan kemampuan di luar ajaran akademik. Senawi juga memaparkan segala kegiatan mahasiswa yang membawa nama universitas, fakultas atau nama pribadi nanti akan memberikan nilai sebagai pendukung program baru tersebut. “Mahasiswa nanti akan menerima transkip penilaian secara akademik dan non akademik saat wisuda”, tambahnya.
Pihak Direktorat Kemahasiswaan menyatakan bahwa ini masih dalam tahap perencanaan. Senawi menjelaskan dalam pelaksanaan program diawali dengan registrasi calon mahasiswa. Keberadaan nilai ukm sebagai sks merupakan prasyarat registrasi disetiap semester. Artinya, mahasiswa tidak mengikuti UKM maka tidak akan bisa melakukan registrasi untuk semester berikutnya. “Nanti, saat registrasi di setiap semester apa saja UKM yang dilakukan,” ungkap Senawi.
Sebelum dilakukan registrasi calon mahasiswa, Senawi melanjutkan, setiap calon mahasiswa pada awal masuk juga diminta untuk mengisi kompetensi yang pernah diikuti ketika SMA. Sebelum masuk UGM, kami sudah meminta setiap mahasiswa untuk mengisi data pribadi tentang kegiatan ekstrakulikuler dari sejak SMU,” ungkapnya. Melalui pendataan ini, UGM dapat mendata peta pengembangan mahasiswa yang memiliki kebutuhan khusus. Hal ini bertujuan untuk mengetahui minat bakat yang ingin dikembangkan selama menjalani perkuliahan, sehingga potensi mahasiswa berkembang secara maksimal.
Program yang masih dalam pengembangan ini mendapat sambutan positif. “Bagus, orang jadi sadar akan pentingnya partisipasi di organisasi,” ungkap Deka. Ia juga mengatakan itu akan membuat mahasiswa lebih memahami, terdapat banyak manfaat yang dapat dipetik. Menurutnya, organisasi sangat membantu mahasiswa dalam menghadapi lingkungan masyarakat luas setelah lulus dari universitas. Ia menambahkan jika program ini benar-benar akan dilaksanakan maka mahasiswa yang akan mengikuti UKM akan bertambah.
Akan tetapi Deka khawatir kebijakan ini berdampak pada organisasi karena anggota UKM kurang berkomitmen dengan program kerja yang ada. “Seolah-olah hanya untuk mengejar SKS saja daripada bekerja untuk organisasi” imbuhnya. Kekurangan lain dari program ini juga diungkapkan Wisnu, Fakultas Teknik ‘08 atas ketidaksetujuannya dengan program ini. Ia menyatakan, banyak kegiatan di luar UKM saja yang lebih bermanfaat selain dalam lingkup UKM Universitas. Jika hal ini diterapkan, maka pihak UGM terkesan memaksa mahasiswanya untuk mengikuti UKM. “Dengan adanya program semacam ini, pihak universitas mengekang kebebasan setiap orang untuk berekspresi” tegasnya.
Berbeda dengan tanggapan negatif tersebut, Senawi memandang faedah dari kebijakan ini. Ia menandaskan, pengembangan program ini juga menjadi harapan UGM agar mahasiswanya dapat meraih predikat Mahasiswa Berprestasi (Mapres) tingkat nasional. Senawi mengakui, mahasiswa UGM selama ini belum pernah meraih predikat mapres tingkat nasional bukan karena Indeks Penilaian Komulatif (IPK) yang buruk. “Penilaian mapres tidak hanya dinilai dari IPK, namun juga dengan kegiatan yang lain seperti kemampuan bahasa, karya ilmiah, dan prestasi ekstrakulikuler,” ungkapnya.
Terkait banyaknya opini negatif yang disinggung, Prof. Dr. Amitya Kumara, MS menepis hal tersebut. Ia yang menjabat Wakil Dekan Bidang Akademik dan Kemahasiswaan Fakultas Psikologi tidak menyetui terkait opini Wisnu. UGM memang berambisi dengan diterapkannya program ini, namun ambisi yang lebih baik. “Bukan ambisi UGM itu, tetapi kehendak untuk pencapaian prestasi itu kan bisa dimaknai ambisi untuk bekerja lebih baik?” dalihnya. Terkait pro dan kontra program ini, ia melanjutkan, pihak yang merasa dirugikan dengan adanya ini belum tahu saja manfaatnya.
Walau begitu, Amitya mengakui bahwa ini masih jauh dari penerapan langsung pada mahasiswa. Proses yang dilakukan masih panjang, yakni harus dirancang, dimatangkan konsepnya, disosialisasi ke pengurus masukan, dan disempurnakan. Pihak UGM mengantisipasi protes dari pihak mahasiswa. Hingga saat ini, program yang ambisius tersebut belum dimulai. Ke depannya, pihak UGM berharap program ini akan memberikan manfaat lebih pada mahasiswa itu sendiri. “Jadi selama menjalani kuliah mahasiswa tidak hanya sekedar kupu-kupu mati, kuliah pulang kuliah pulang makan tidur” ujar Senawi.
Meski terkesan baik untuk mahasiswa maupun pihak UGM sendiri, Wisnu menolak jika program ini diterapkan. Wisnu menjelaskan bahwa tidak semua mahasiswa yang tidak mengikuti UKM itu karena malas untuk berpartisipasi. Mahasiswa pun di luar kuliah ada yang bekerja paruh waktu atau berbisnis. Ia juga mempertanyakan sikap UGM yang terkesan bermuka dua, di satu sisi ingin mahasiswanya cepat lulus dengan berbagai regulasi, disisi lain ingin mahasiswanya lebih aktif. Padahal fakta di lapangan tidak semua orang suka berorganisasi dan bisa membagi waktu. “Mungkin UGM berambisi meraih sesuatu dengan program ini,” simpulnya. [Shohieb Ahmad Nasruddin, Surohman Nowianto, Hidayatmi]