Judul : The Act Of Killing
Durasi : 116 menit
Sutradara : Joshua Oppenhaimer
Tahun : 2012
“Biarkan sejarah berbicara tentang dirinya sendiri”, Leopod Von Ranke.
Pada 1965 terjadi peristiwa besar dalam panggung sejarah Indonesia. Peristiwa penculikan dan pembunuhan enam perwira tinggi dan satu perwira menengah Angkatan Darat. Angkatan Darat Yogyakarta tak luput dari bagian peristiwa ini, Komandan Korem dan Wakil Komandan Korem 207/Pamungkas pun menjadi korban. Pendapat terkuat jatuh pada PKI (Partai Komunis Indonesia) yang berada di balik kemudinya. Tujuan akhir mereka disinyalir mengubah ideologi Pancasila menjadi Komunisme. Kemudian, tak sedikit pihak yang merekonstruksikan dengan berbagai versi serta kerangka pikir masing-masing. Mulai dari pemberontakan, kudeta, gerakan hingga yang paling ekstrem yaitu pengkhianatan. Namun, keberagaman versi itu justru menyeret pada perdebatan yang sampai saat ini belum menemui titik terang. Sampai akhirnya sejarawan sampai pada kesimpulan dengan memakai istilah Tragedi 1965.
Patut kita ketahui sesungguhnya korban tragedi 1965 tidak hanya berasal dari mereka yang disebut pahlawan revolusi sekarang ini. Akan tetapi, setelah G 30 S (Gerakan 30 September) ratusan, ribuan bahkan menurut Jenderal Sarwi Edhi Wibowo mencapai dua juta orang. Massa PKI yang diraba menjadi dalang peristiwa itu dibunuh dan pada sumber lain menyebutkan mereka disembelih. Pemusnahan massal itu berlangsung dalam kurun waktu satu tahun. Tragedi pemusnahan massal orang yang diduga PKI disebut Malapetaka Sosiologis. Peristiwa itu terjadi hampir di seluruh pelosok Nusantara tak terkecuali di Sumatra, khususnya Provinsi Sumatra Utara.
The Act of Killing mengambil latar tempat di Sumatra Utara serta mendapuk Anwar Congo sebagai tokoh sentralnya. Ia adalah eksekutor (jagal) pembantaian orang-orang yang diindikasi PKI. Sebelum G 30 S meletus, Congo dulunya merupakan seorang free man di sebuah bioskop. Namanya melejit setelah dia dianggap berjasa dalam pemusnahan PKI.
Joshua Oppenheimer sebagai produser merangkap sutradara The Act of Killing, ingin mendokumentasikan sebuah simulasi tentang pembantaian PKI. Film ini menarasikan bagaimana setelah G 30 S meletus. Orang-orang yang diduga PKI dibantai dan dibunuh, keluarga mereka tak terkecuali. Joshua ingin menyajikan sebuah fakta historis dan faktor-faktor yang menyebabkan peristiwa itu terjadi. Lebih dari itu bahkan Joshua menggali sedetail mungkin bagaimana para jagal membunuh mereka yang diduga PKI.
Banyak faktor penyebab pembantaian orang yang diduga PKI, Indoktrinasi menjadi faktor paling dominan. Penanaman sebuah mindset yang menyebutkan bahwa PKI anti Tuhan yang mana merupakan antitesis dari golongan beragama. Bahkan, muncul statement yang menyebutkan bahwa membunuh PKI adalah boleh. Ironisnya, pembenaran ini justru berasal dari para tokoh agama. Perburuan dan pembunuhan orang PKI mendorong serta memunculkan banyak pahlawan baru. Mereka yang membunuh dielu-elukan dan di-pahlawan-kan. Golongan para free man agaknya yang mendapat kemujuran ini, Anwar Congo adalah salah satunya. Mereka dalam waktu singkat muncul ke permukaan sebagai seorang sosok yang berjasa. Situasi ini juga dianggap tepat sebagai sarana pembersih nama dan penaikan kasta.
Setelah G 30 S para free man merapatkan barisan di bawah payung sebuah organisasi bernama pemuda pancasila. Munculnya peran pemuda pancasila menjadi tombak baru dalam pembantaian PKI. Hal ini seolah menjadi angin segar dengan mengantongi legalisasi pembantaian di bawah naungan sebuah lembaga. Namun, kita perlu tahu bahwa A.H. Nasution adalah pengagas berdirinya pemuda pancasila. Dia adalah salah satu sasaran operasi G 30 S yang selamat. Alasan itulah yang seolah menjadi jembatan dan meyulut amarah pemuda pancasila untuk mengganyang PKI.
Pembahasan tentang pemuda pancasila juga tidak luput dari inti film The Act of Killing. Pemuda pancasila yang berjasa menumpas PKI, alumninya menjadi orang-orang besar di pemerintahan. Bahkan tidak sedikit yang menjabat sebagai anggota legislatif. Sumber dana organisasi pun mereka menjadi sorotan. Mereka mendapat dana dari berbagai bisnis gelap illegal. Awalnya adalah penggelapan, Klub malam, Judi, dan pungutan liar dengan alasan keamanan.
Tokoh utama Anwar Congo juga menjelaskan mengenai pengalamannya dalam membunuh orang PKI. Mula-mula orang yang terduga PKI diinterogasi terlebih dahulu. Apabila ia terbukti PKI maka lekas akan dihabisi. Ia bercerita bahwa cara membunuh ada bermacam-macam. Untuk menghindari banyaknya darah, ia menjerat leher korban dengan menggunakan kawat. Ada juga yang digantung. Lain kesempatan, ia langsung memenggal kepala korban. Ia juga pernah membunuh satu keluarga dan langsung menguburkan dalam satu liang. Karung goni mempunyai peran penting sebagai alat pembungkus mayat ketika akan dibuang. Nampaknya Joshua sangat berhasrat menggali fakta. Hingga sampai pada suatu titik dalam pembantaian PKI, para pelaku tak segan untuk memperkosa anak PKI, membakar rumah mereka serta menjarah. Agaknya hal inilah yang memunculkan para orang kaya baru dengan hasil jarahannya. Keluarga PKI yang selamat beserta anak keturunan mereka banyak yang diasingkan dan dibuang.
Alur selanjutnya The Act of Killing menampilkan cuplikan wawancara Congo beserta pemuda pancasila di stasiun TV nasional. Ia mengklaim bahwa dirinya menemukan cara yang effisien dalam membunuh PKI. Disambung dengan penegasan bahwa PKI adalah musuh bangsa dan merongrong NKRI. Pembantaian PKI merupakan harga mati. Pemuda pancasila siap menjadi tameng terdepan dalam melakukannya. Pembunuhan PKI malah dinilai sebagai suatu kebanggaan. Mereka juga menilai bahwa keluarga dan keturunan PKI tidak berani menuntut balas karena faktor belum adanya kesempatan.
The Act of Killing ditutup dengan pengakuan rasa bersalah Congo. Ia mengaku bersalah namun karena sebuah paksaan dan atmosfer saat itu yang seolah memunculkan semangat ganyang PKI. Congo bercerita kerap mendapat mimpi buruk dalam tidurnya. Para korban yang seakan menuntut balas kematiannya. Di lain pihak, orang berpendapat bahwa arwah orang PKI tidak diterima di sisi Tuhan. Namun dalam hati Congo ia sangat menyesal dan membayangkan bagaimana nasib istri dan anak-anak PKI. Kekhawatiran tentang masa depan mereka yang terenggut secara paksa. Tentang kehidupan mereka yang sengaja dirampas.
Untuk orang awam memang The Act of Killing menyajikan alur yang cenderung berantakan. Joshua ingin menunjukan bahwa film produksi Danish Film Institute ini lebih mengutamakan esensi dari pada framing. Maka dari itu butuh kemampuan khusus untuk memahaminya. Joshua berharap orang yang menonton akan menangkap sebuah esensi bukan kulit luarnya. Film yang berdurasi satu jam lima puluh enam menit ini mencoba memberikan gambaran baru bahwa citra masyarakat terhadap PKI harus diubah. Tidak semua PKI dicap sadis. Joshua ingin menegaskan malah pembantaian pasca 1965 lebih di luar perikemanusian.
Joshua ingin menggiring opini masyarakat bahwa mereka harus lepas dari legitimasi orde baru yang memang pondasi pemerintahannya dibangun dari peristiwa 1965. Sisi kemanusiaan adalah yang ditekankan disini. Bahwa peristiwa 1965 adalah post vactum yaitu berdampak panjang. Baik korban maupun pelaku menanggung beban yang sama besarnya. Trauma-trauma senantiasa membayanginya. Harapannya pembaca ketika menilai tidak serta merta berasal dari satu perspektif namun berbagai perspektif (multi dimensional). Tujuannya agar kita sama-sama belajar dan tidak terjadi peristiwa saling balas. Keharmonisan dan keselarasan adalah harapannya. [Bagus Zidni I.N]
1 komentar
Mas, bikin resensi buat di Indonesia kok nontonnnya versi pendek, 115 menit? Yang beredar di Indonesia itu versi panjang 159 menit alias dua jam 39 menit. Yang dibagi gratis di Indonesia ‘kan yang versi panjang. Versi yang lebih lengkap dan versi terbaik Jagal/The Act of Killing.
Lihat di sini, youtu.be/3tILiqotj7Y
Baca juga cara menonton Jagal/The Act of Killing di Indonesia http://on.fb.me/1mVW7aP