“Mahasiswa kini hanya terasah secara intelektual, tetapi tidak cukup menjalani tempaan moralitas dan leadership,” tutur H. Taufiq Kiemas, Ketua MPR RI. Berangkat dari kesadaran inilah, Dewan Perwakilan Mahasiswa UGM menggelar Stadium General bertajuk “Membedah dan Sosialisasi Pilar-Pilar NKRI dalam Membangun Kehidupan Bangsa” pada Sabtu (2/7) siang.
“Kami sengaja mendesain acara untuk mencetak kader-kader pemimpin yang berjiwa visioner dan berwawasan pancasilais,” tutur Sayyid Nur Nikmat, selaku ketua panitia. Acara yang diadakan di Auditorium Magister Manajemen UGM ini merupakan rangkaian Silaturahmi Nasional Lembaga Legislatif Mahasiswa yang diikuti utusan dari 50 Universitas se-Indonesia.
Menurut Taufik Kiemas, sebagai negara demokrasi terbesar ketiga di dunia, Indonesia butuh pendalaman demokrasi. Empat pilar kehidupan bangsa yang terdiri atas Pancasila, Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), Bhinneka Tunggal Ika, dan UUD ’45, harus menjadi penopang proses pendalaman tersebut. Untuk menuju proses demokrasi yang ideal, dibutuhkan pula sinergi yang harmonis dari civil society, para ulama, agamawan, wartawan, intelektual dan ilmuwan, serta kaum muda terdidik, khususnya mahasiswa. “Mereka harus merasa terpanggil untuk berjuang agar demokrasi kita sejalan dengan prinsip-prinsip empat pilar kebangsaan ini,” ungkap Taufik.
Pernyataan Taufik tersebut diamini oleh Hajriyanto Tohari. ”Rakyat jelas merindukan buah yang manis dari aplikasi empat pilar kebangsaan di atas,” ujar Wakil Ketua MPR tersebut. Akan tetapi, kenyataan yang dijumpai sekarang ini sangat paradoks dengan harapan masyarakat. Tohari mencontohkan rincian Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) yang jelas tak ada unsur keberpihakan kepada rakyat.” Dari total APBN 2011 sebesar 1300 triliun, 60% digunakan untuk anggaran rutin, 20% untuk membayar cicilan hutang, dan sisanya digunakan untuk perbaikan infrastruktur rakyat,” jelasnya. Hajriyanto mengutarakan, seharusnya masyarakat luas menggugat APBN. Mahasiswa diharapkan tidak hanya berdemo terus-terusan, tetapi juga beraksi dengan menggugat APBN ke Mahkamah Konstitusi. “Sebenarnya APBN terbuka luas untuk diuji oleh rakyat,” jelasnya.
Terkait isu penolakan Pancasila di beberapa komunitas, Hajriyanto menanggapi, ”Kelompok yang menolak Pancasila itu kecil dan tidak signifikan.” Hajriyanto menganalogikan kelompok tersebut sebagai orang-orang yang “sekrupnya sedikit kendor”. Isu penafian Pancasila yang notabene ada di komunitas Islam tersebut ditanggapi oleh Sarjono Kartosuwiryo. Menurut putra Sekarmadji Kartosuwiryo, ulama pemroklamir Negara Islam Indonesia (NII) 1949 ini, NII KW9 telah keluar dari pakem.
Walaupun menuai pro-kontra, Pancasila tetap menjadi landasan utama negara. Pengenalan Empat Pilar Kebangsaan akan menjadi batu loncatan dipahaminya kembali Pancasila sebagai ideologi dasar. “Ideologi dasar tersebut sudah seharusnya dipahami dan dijiwai oleh generasi muda, terutama dalam pendidikan dasar,” ujar Sigit Pamungkas, selaku moderator. Pengawalan ideologi dasar juga harus ada dalam UU pelaksana. “Jangan sampai UUD’45 terabaikan dan teramputasi oleh UU yang tidak memihak keadilan sosial,” tambahnya. Demokrasi juga membuka ruang bagi semua lapisan masyarakat untuk berpartisipasi dalam membentuk kebijakan dan mengritik UU yang tidak sejalan dengan UUD’45. “Semua orang berhak menggugat,” tutup Taufik. [Fransiska Mutiara Damarratri, Purnama Ayu Rizky]